Ketuhanan dan Kemanusiaan
Yudi Latif, PEMIKIR KEAGAMAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 08 November 2011
Ketuhanan dan kemanusiaan harus disebut dalam satu tarikan napas. Setiap kali nama Tuhan diseru, saat itu pula kemuliaan manusia harus diingat. Tuhan tidak bisa kita dekati tanpa kesediaan menghampiri sesama manusia. Mencintai segala makhluk di bumi menjadi kunci mendapatkan cinta dari langit.
Qurban itu artinya ’pendekatan’. Dalam bahasa Arab, istilah itu serumpun dengan kata qarib (karib), yang dalam bahasa Indonesia sering digunakan dalam ungkapan ’sahabat karib’. Pesan moral Idul Adha (Idul Qurban) kira-kira ingin mengingatkan bahwa setiap tetes kebaikan yang kita dermakan di jalan kemanusiaan, satu lompatan lebih dekat dengan Tuhan. Jalan mendekati Tuhan adalah jalan bersambung rasa dengan sesama. Itulah sebabnya, dalam ritual haji, ”Rumah Tuhan” hanya bisa dimasuki setelah manusia menanggalkan segala atribut perbedaan dengan mengenakan kain berwarna sama tanpa jahitan.
Saat hewan kurban disembelih, yang harus dikenang adalah tingginya nilai nyawa manusia. Bahkan, ketika nyawa anak Ibrahim minta dikorbankan atas nama Tuhan, kemuliaan manusia ”mendorong” Tuhan menggantinya dengan nyawa binatang. Di mata Tuhan, membunuh seorang manusia seolah sama dengan membunuh kemanusiaan seluruhnya.
Pesan moral Idul Adha itu penting ketika darah manusia di negeri ini masih murah tertumpah. Penyembelihan hewan tidak dimaknai sebagai penebusan atas nyawa manusia karena nyawa manusia pun sama nilainya dengan nyawa binatang. Padahal, darah binatang pun tak bisa ditumpahkan semena-mena. Di sini, nama Tuhan kerap diseru seraya membiarkan letusan senjata untuk menghabisi sesama. Terutama saat ini di Papua, nyawa manusia pun terancam dikorbankan.
Dalam ungkapan getir seorang teolog Papua, Benny Giay, dikatakan bahwa nada dasar dari semua teriakan Papua bermula dari kenyataan bahwa untuk waktu yang panjang, ”Kami dinilai bukan manusia.” Selama ini, ”Papua hanyalah obyek: obyek kebijakan politik, obyek operasi militer, obyek pengembangan ekonomi, obyek turisme, dan sebagainya.”
Sebagai obyek, warga Papua sejak lama dibesarkan dalam ingatan traumatis yang disebut teolog Johann Baptist Metz sebagai memoria passionis (ingatan pedih). Mereka tidak saja mengalami penderitaan lahir rangkaian pembunuhan, penyiksaan, dan kemelaratan ekonomi, tetapi juga penderitaan batin berupa pelecehan terhadap identitas dan pandangan hidup lokal. Ibarat magma, ingatan pedih tersebut tersembunyi di relung kalbu, tetapi menyimpan energi dahsyat yang tanpa kanalisasi bisa menimbulkan ledakan.
Rezim era reformasi mencoba mendinginkan potensi ledakan itu dengan uluran otonomi khusus Papua. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam dan ketulusan hati, kebijakan Jakarta itu berpotensi menjadi uluran yang mematikan. Tentang hal ini, seorang warga Papua bertamsil tentang banjir besar yang menghanyutkan ikan dan satwa. Seekor kera ikut terseret, tetapi ia bisa menyelamatkan diri dengan menggapai batang pohon. Begitu selamat, terlihat olehnya seekor ikan jumpalitan tersapu arus. Ia berusaha menyelamatkannya dengan menarik ikan ke dahan. Kala banjir reda, ia dapati ikan yang ditolongnya mati sia-sia.
Uluran tangan saja tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan. Uluran tangan tanpa pemahaman yang dalam bisa membawa malapetaka yang lebih gawat. Dalam benak pragmatisme ”Jakarta”, akar keresahan dan pembangkangan lokal itu sering direduksi sekadar perkara ”uang”. Atas dasar itu, kerangka penyelesaian masalah ditawarkan dalam bentuk angka. Semua nilai, ingatan penderitaan, dan marwah kemanusiaan sepertinya bisa dikonversi ke dalam angka.
Memang ada pihak-pihak yang bersemangat menyambut skema penyelesaian seperti itu, yakni mereka yang oleh warga setempat dinisbatkan sebagai tipe ”mentalitas raja kecil”. Mereka terutama terdiri atas pemuka-pemuka formal yang sejak lama diuntungkan oleh sistem korup dalam skema otonomi khusus. Pejabat formal seperti inilah yang menjalin hubungan mutualistis dengan aparatur ”keamanan” negara demi kesejahteraan bersama penguasa.
Dengan keuangan daerah yang lebih gemuk dan otonomi luas dalam ”mengatur” anggaran, pejabat lokal lebih leluasa mengembangkan ”kreativitas” pembukuannya. Adapun bagi aparatur ”keamanan”, limpahan ”angin surga” (windfall) keuangan lokal itu bisa merangsang hasrat untuk mengukuhkan status quo mereka di daerah dengan menciptakan isu gangguan keamanan.
Bisa dipahami jika pada akhirnya banyak pihak yang menolak skema otonomi khusus.
Jadi, solusi atas persoalan Papua tak bisa diselesaikan hanya dengan tawaran angka, tetapi memahami kedalaman dan kompleksitas permasalahan dengan menjalin komunikasi secara tulus dan terbuka. Dengan menerobos sumber-sumber informasi resmi, akan segera disadari bahwa persoalannya lebih dari sekadar uang, tetapi menyangkut multidimensi hasrat kemanusiaan yang dihinakan. Sumbatan komunikasi hanya bisa dibuka dengan bahasa hati yang membuka diri penuh cinta untuk sesama.
Dalam menyelesaikan masalah Papua, kita bisa berpegang pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, ”yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar