Jumat, 10 Mei 2013

Ronaldo, Mangrove, dan Aceh


Ronaldo, Mangrove, dan Aceh
Nyoto Santoso ;  Dosen Fakultas Kehutanan/Kepala Pusat Kajian Biodiversitas dan 
Rehabilitasi Hutan Tropika, IPB, Bogor
KORAN SINDO, 10 Mei 2013
  

Masyarakat peduli hutan mangrove (bakau) dan waspada tsunami bersukacita. Pasalnya, Cristiano Ronaldo—terkenal dengan julukan CR7—sudah menyatakan siap menjadi Duta Mangrove Indonesia (DMI). 

Jika tak ada aral melintang, Mei 2013 nanti, bintang Real Madrid ini akan diresmikan sebagai The Ambassador of Mangrove di Bali. Menyambut kesediaannya sebagai DMI, sambil tersenyum CR7 menyuguhkan kampanye yang amat indah, Save Mangrove, Save Earth! Bagi Indonesia, tema kampanye tersebut sangat berarti. Maklumlah, dari luas mangrove di muka bumi (18.107.700 ha), 4.542.100 ha atau 25% berada di Indonesia. 

Dari jumlah itu, 75 persennya rusak. Kita masih ingat, 8 tahun lalu (11 Juni 2005) , CR7 datang menjenguk korban tsunami raksasa Aceh di Banda Aceh. Ketika itu Ronaldo memberikan telepon genggam kepada Martunis, bocah laki-laki kecil korban yang selamat dari terjangan tsunami yang saat ditolong memakai kaos nomor 7, ciri khas mantan bintang MU (Manchester United) itu. 

Mungkinkah ada keterkaitan antara kenangan CR7 di Aceh dan kesiapannya menjadi duta mangrove? Entahlah, tapi ada satu hal yang jelas: meski kenangan pedih tsunami di Aceh (Desember 2004) masih tetap membayang di mata bangsa Indonesia, kepedulian ‘negeri cincin api rawan gempa’ itu terhadap mangrove masih tetap minim. Alih-alih masyarakat Aceh menanam mangrove untuk meminimalkan terjangan tsunami yang mungkin saja akan muncul lagi kelak, yang terjadi justru mangrove di Bumi Rencong makin rusak. 

Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan sepanjang pantai Sumatera—pulau yang rawan gempa tektonik— hutan mangrove merana. Jika tidak dibabat untuk tambak udang, kayunya ditebang untuk bahan baku arang. Ya, arang mangrove itulah salah satu perusak utama hutan mangrove saat ini. Kenapa persoalan arang mangrove penting? Karena saat ini, pembuatan arang adalah penyebab utama kerusakan mangrove. 

Jika kerusakan hutan bakau akibat pembuatan tambak udang kini bisa diatasi dengan konsep tambak silvofishery— menggabungkan tambak dan mangrove –penggantian pembuatan arang dari bakau masih sulit diterapkan. Alternatif pembuatan arang dari tempurung kelapa, misalnya, sulit dilakukan karena arangnya memang beda dengan arang bakau. Arang mangrove itu unik, dipakai untuk kebutuhan masakan tertentu sehingga disukai orang-orang Jepang, Singapura, dan Taiwan yang “rewel” dengan racikan kuliner. 

Itulah sebabnya bisnis arang mangrove menjanjikan karenabahanbakunyaada, pembelinya antre. Karena itu jangan heran jika di beberapa daerah yang masih kaya hutan mangrove seperti Kabupaten Batam, Bengkalis, Cilacap, dan Kubu Raya (Kalimantan Barat), bisnis arang bakau cukup ramai. Hasilnya: hutan mangrove rusak, nelayan mangkrak! Lain halnya dengan tambak. 

Di Karawang, Brebes, dan Gresik, konsep tambak silvofishery mulai diterapkan dan berhasil baik. Bahkan perusahaan dari Jepang, YL Invest Co Ltd, telah menerapkan sistem tambak silvofishery di Pulau Bintan dengan hasil udang yang bagus. Direktur YL Invest Naoto Akune mengatakan, pengembangan tambak udang dengan sistem silvofishery atau mereformasi lingkungan dengan menanam bakau di dalam tambak udang, merupakan upaya efektif untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pesisir tentang pentingnya melestarikan mangrove. Dengan demikian, mangrove bukan lagi musuh petambak, tapi teman yang baik. 

Adakah yang memikirkan bagaimana menggantikan arang kayu mangrove dengan arang kayu lain? Tak mudah memang. Itulah tantangan pencinta mangrove. CR7 tampaknya perlu bekerja lebih keras untuk memikirkan alternatif pengganti arang bakau ini. Secara historis, pengusahaan arang bakau oleh rakyat Aceh, khususnya Aceh Timur yang pernah saya teliti, mulai ramai pada 1980-an. Saat itu pemanfaatan hutan mangrove untuk kebutuhan arang ditandai dengan dikeluarkannya izin hak pengusahaan hutan (HPH) bakau oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh kepada PT Selat Malaka dan PT Kabindo. 

Pada tahun 1980, hak konsesi kedua HPH tersebut habis. Setelah itu masyarakat memanfaatkan areal hutan bakau bekas dua perusahaan tadi untuk usaha pembuatan arang. Agar kelihatan resmi, mereka mendirikan persatuan pengusaha arang bakau dengan nama Koperasi Flora Potensi. Sejak itulah perambahan hutan mangrove untuk bahan baku arang meluas ke mana-mana. Bagaimana besarnya bisnis arang itu, misalnya, bisa dilihat dari jumlah panglong–semacam tungku untuk membuat arang—di Kabupaten Aceh Timur. 

Sampai Juni 2008, misalnya, di Aceh Timur tercatat ada 475 unit panglong yang terdiri atas tiga kategori: panglong arang dengan kapasitas produksi 1,50 ton, kapasitas 1 ton, dan kapasitas 0,50 ton. Itu baru di Aceh Timur. Belum di kabupaten lainnya. Yang lebih dahsyat terjadi di Bengkalis dan Batam. Di kedua tempat ini, pembuatan arang mangrove sudah berjalan sejak 1940-an. 

Sampai saat ini produksi arang itu terus berlanjut. Jika sekarang kondisi hutan mangrove di Bengkalis dan Batam rusak, sejak dulu pun sudah rusak karena pembuatan arang tadi. Pada 1941, lantaran melihat kerusakan hutan mangrove, Verstecgh, ilmuwan Belanda, membuat rancangan peraturan perusahaan untuk hutan mangrove di Bengkalis agar sustainabilitasnya terjamin. 

Aturan penebangan versi Verstecgh didasarkan pada luasan dan kepadatan pohon (volume pohon). Setiap blok hutan mangrove dibagi menjadi blok-blok kecil, sekitar 120 ha, sesuai dengan kemampuan pemantauan. Panglong pun diatur. Denhof pada tahun 1946 membuat peraturan untuk mengasimilasikan panglong dengan kondisi alami hutan mangrove sehingga setiap panglong mempunyai data dan seri penebangan yang berguna untuk pemantauan. Mangrove adalah pohon unik. 

Ekosistemnya juga unik karena berada di daerah peralihan antara lautan dan daratan. Inilah yang menyebabkan ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis. Kompleksitasnya terjadi karena ekosistem bakau meliputi berbagai jenis biota, baik yang berasal dari daratan, lautan, maupun peralihan (satwa yang bisa hidup di darat dan laut). Dalam ekosistem tersebut ada kera, burung, ular, katak biawak, dan macam-macam ikan, udang, kepiting, dan lain-lain. 

Semua itu muncul berkat ekosistem yang tercipta dari sistem jaring-jaring perakarannya yang mampu menyerap polutan; ditambah luruhan dedaunannya di pantai yang memperkaya unsur hara dan makanan ikan. Sebagai ekosistem peralihan yang bisa mencegah intrusi air laut ke daratan, hutan mangrove pun berperan dalam ‘menyelamatkan’ penduduk pantai, baik dari terjangan angin laut yang kencang, badai, maupun tsunami. Ketika terjadi tsunami di Aceh, misalnya, penduduk di beberapa wilayah Asia Selatan seperti pantai Ceylon dan Sri Lanka yang terkena gulungan ombak raksasa selamat karena hutan mangrove. 

Belajar dari peristiwa itu, mestinya yang pertama direhabilitasi pascatsunami Aceh dan terus-menerus dikembangkan sampai sekarang adalah hutan mangrove. Hutan mangrove harusnya menjadi obsesi Aceh yang rawan tsunami itu. Ingat, jika tumbuh di tempat yang baik, apalagi dipelihara, pohon mangrove bisa mencapai tinggi puluhan meter dengan diameter sampai 75 sentimeter—tidak hanya sebesar kempol dengan tinggi beberapa meter seperti yang terlihat di Muara Angke dan Kepulaun Seribu. 

Rimbunan pohon mangrove yang tinggi dengan jaring-jaring akar nafasnya yang kompleks seperti terlihat di beberapa pantai Papua, misalnya, niscaya sangat efektif menangkal terjangan gelombang raksasa tsunami. Walhasil, bagaimana menumbuhkan dan merehabilitasi hutan mangrove di sepanjang pantai Aceh itulah yang seharusnya jadi obsesi dan pikiran bersama untuk menghadapi tsunami yang sewaktu-waktu datang tanpa permisi.

Bukan sebaliknya, obsesi dan meributkan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tak akan bisa menyelamatkan penduduk jika muncul tsunami lagi! Percayalah, tanpa hutan mangrove, Bumi Rencong tidak akan aman. Jadi benar apa kata CR7, ‘Save Mangrove, Save Earth!’ Save Aceh! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar