Senin, 20 Mei 2013

Kerakyatan yang Membunuh Rakyat


Kerakyatan yang Membunuh Rakyat
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 20 Mei 2013

“Siapa yang mengatakan suara rakyat itu suara Tuhan?” “Orang-orang yang memuliakan rakyat di dalam politik agar rakyat tidak lagi diinjak-injak para tiran, yang berkuasa sesuka hati tanpa mengindahkan hak-hak rakyat.” “Siapakah para tiran itu?” 

“Di zaman dahulu mereka itu para kaisar, para raja diraja yang membikin kekuasaannya merajalela tanpa batas.” “Di manakah para kaisar itu sekarang?” “Mereka sudah mati.” “Apakah dengan demikian kini tiba saatnya rakyat yang ganti berkuasa, dan memegang kedaulatan di dalam kehidupan kenegaraan?” “Tidak otomatis seperti itu.” “Maksudnya?” “Tidak otomatis begitu karena sekarang—di negeri kita ini—bermunculan kaisar-kaisar baru yang kekuasaannya tak bisa dibatasi.” 

“Itu di zaman Orba dulu. Ini sudah zaman baru, ketika segala hal sudah direformasi. Tatanan sudah berubah. Rakyat kini menjadi raja, bukan?” “Raja kita bukan rakyat. Tapi wakil-wakil rakyat.” “Kurang ajar. Bagaimana bisa begitu?” “Begini kisahnya. Teorinya ya, rakyat yang memegang kedaulatan. Tapi, di negeri kita ini penguasa sebenarnya bukan rakyat, melainkan orang-orang partai. 

Orang-orang itu terbagi dua: satu, menempati posisi pelaksana tata pemerintahan, namanya eksekutif, dua, mereka yang berperan sebagai kekuatan kontrol, parlemen, yang merangkap pelaksana juga. Kekuasaan mereka mirip Kaisar Nero. Bedanya hanya sedikit: mereka tak punya ‘gladiator’. 

Tapi, diam-diam mereka suka punya pengawal. Ini ‘gladiator’ kecil-kecilan, merangkap asisten, staf ahli, atau konsultan.” “Apa makna suara rakyat suara Tuhan itu jadinya?” “ Itu aspirasi. Kenyataan politik berkata lain: suara rakyat ya suara rakyat. Suara kaum tertindas, yang tak punya pelindung, tak punya pengayom. Rakyat di negeri ini anak yatim piatu.” 

Yatim Piatu yang Dibunuh 

Pada mulanya, kita menjunjung tinggi prinsip berdemokrasi yang bukan asal demokrasi, melainkan demokrasi yang dipimpin oleh “hikmah kebijaksanaan”. Dengan kata lain, kehidupan demokrasi berkembang secara leluasa, dan sehat, seperti rerumputan yang hijau segar di suatu padang rumput maha luas karena dipimpin oleh watak, oleh sifat, dan sekaligus sikap “bijaksana” yang penuh “hikmah”. 

Watak, sifat, dan sekaligus sikap “bijaksana” yang penuh “hikmah” itu berbeda secara mencolok, dari demokrasi asal demokrasi, seperti yang kita laksanakan sekarang ini. Sekarang kita tak punya watak “bijaksana” dan sikap penuh “hikmah” macam itu karena kehidupan kita dipimpin oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang mengabaikan kepentingan “rakyat” dalam arti sebenarnya. 

Rakyat sudah dibunuh di meja judi politik yang kejam. Politik kita penuh keserakahan tak terbatas. Akibatnya rakyat yang tertindas terus-menerus. Tiap saat kita lihat keserakahan berhadapan dengan keserakahan yang lain, dan kehidupan politik kita menjadi sejenis papan catur sempit yang dikuasai para pembesar yang siap untuk saling membunuh. Di sana suara dan aspirasi rakyat tak terdengar dan tak boleh terdengar. Kelihatannya jelas bagi kita bahwa “demokrasi” hanya sebuah filsafat, dan aspirasi demi aspirasi, yang hanya berisi katakata. 

Aspirasi rakyat menjadi tidak relevan. Para penguasa tak pernah peduli apa itu aspirasi rakyat? Hak-hak rakyat telah dirampok oleh para wakil yang diberi hak untuk berkuasa. Hampir tak terasa, kehidupan bergulir begitu rupa, dengan kecepatan yang tak kita sadari, kedaulatan beralih ke tangan penguasa, untuk kepentingan penguasa sendiri. Rakyat—sekali lagi—anak yatim piatu yang telah dibunuh. 

Tak pernah ada yang menaruh peduli pada mereka. Apalagi dengan sungguh-sungguh memberi mereka perlindungan hukum dan politik agar mereka hidup dengan layak sebagai warga negara. Tidak ada satu pihak pun di dalam masyarakat yang menganggap hilangnya kepedulian itu sebagai ironi kehidupan politik. Ini dianggap perkara biasa dan sudah semestinya. Inilah tata pemerintahan yang bersandar pada kekuatan “kerakyatan” yang membunuh rakyat. 

Tiap pihak bicara mengenai ihwal ideal yang kelihatan hebat dan mulia dalam politik. Tiap pihak mengaku pembelaan demokrasi dan kepentingan rakyat. Ketika diam-diam sedang bersekongkol untuk melakukan tindak pidana korupsi, suatu “extra ordinary crime against humanity” pun, dengan wajah tanpa dosa masih bicara demokrasi dan hak-hak rakyat. Ini jenis democrat tulen? 

Atau tuyul berdarah dingin, pembunuh demokrasi dengan senyum, dan perasaan tanpa dosa? Mungkin banyak di antara para tokoh politik kita yang sebenarnya sakit, yang tak tahu, dan tak menyadari, bahwa diri merekasakit. Setidaknya mereka mungkin mengidap—sekali lagi tanpa menyadarinya— gejala “double personality” yang sudah akut. Di atas panggung, secara resmi, mereka bicara sebagai politisi yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. 

Tiap saat ukuran-ukuran tingkah lakunya berkiblat pada kepentingan bangsa. Sebentar-sebentar kepentingan bangsa. Dikiranya kebohongannya tak diketahui publik. Kebohongan itu dalam waktu pendek sudah terbuka. Boleh saja pura-pura saleh, pura-pura lembut dan sopan, dan gaya bicaranya dibuat— mungkin dibuat-buat—seolah dirinya suci dari banyak dosa politik. 

Tapi, sepandai-pandainyaorang membungkus, barang busuk tetap berbau dan ketahuan oleh publik, yang sudah tidak kaget lagi. Kita kehilangan kearifan politik yang bisa memberi rasa damai bagi semua pihak. Dulu setiap keputusan yang diambil di dalam setiap musyawarah selalu dipimpin oleh “hikmah kebijaksanaan”. Hikmah itu sudah mati. Kebijaksanaan pun sudah mati. 

Tapi, gantinya lebih anggun, lebih mendalam, dan adil tidak ada. Keputusan penting dan sensitif diambil berdasarkan kekuasaan orang-orang serakah. Kepentingan demi kepentingan yang tampil. Di balik tiap kepentingan itu muncul para tiran berwajah dingin dan kejam. Kerakyatan mati merana seperti tanaman dalam pot yang sengaja tak dipelihara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar