Pemimpin Milik
Bersama
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 07 September 2012
DUA
minggu lagi kita sudah akan tahu siapa tokoh DKI-1. Menjelang saat itu, kita
boleh adu argumentasi tentang siapa yang sepantasnya memenangi jabatan itu.
Mudah-mudahan pertarungan berjalan jujur. Bila tidak, ada ungkapan bahasa Jawa,
‘Menang orang kondang, yen kalah
ngisin-isini’--menang tidak
mengherankan, tapi bila kalah memalukan. Pada akhirnya, pemenang yang tidak
jujur boleh jadi akan kehilangan wibawa dan rasa percaya warga yang mungkin
merasa dikelabui.
Kalau
toh ada asumsi ketidakjujuran dalam pemilu kada Jakarta, mungkin
permasalahannya, antara lain, karena akhir-akhir ini cenderung ada keterkaitan
antara persaingan untuk jabatan publik dan politik praktis. Partai-partai
politik berlomba menyatakan dukungan untuk calon yang diperkirakan bisa menang;
tentunya dengan asumsi bahwa sang calon apabila menang akan menjalankan
ideologi sesuai yang dianut partai. Bahkan lebih dari itu, mungkin saja dia
diharapkan mendukung program partai. Maka, persaingan untuk pemilu kada bukan
lagi terjadi antarindividu, tetapi antarpartai. Kita tidak sepenuhnya tahu,
siapa memanfaatkan siapa. Boleh jadi mereka saling memanfaatkan.
Pertanyaannya,
bagaimana calon-calon yang akan diadu? Apakah mereka memiliki kemampuan dan
keterampilan yang diharapkan masyarakat umumnya? Apakah mereka bersikap
merakyat dan mampu memotivasi warga Jakarta? Foke sendiri pernah menyatakan,
bila ingin menghapuskan ‘kumis’ (kekumuhan dan kemiskinan, red) hendaknya dikerjakan bersama oleh pemimpin dan warga.
Program
apa pun hanya mungkin berjalan bila warga mendukung. Bukan tugas pemimpin
semata.
Perspektif Demokratis vs Perspektif Radikal
Keresahan akibat serangkaian kebakaran di Jakarta maupun kebakaran
gudang milik Jokowi dan ledakan teror di Solo akhir-akhir ini banyak dikaitkan
dengan pemilu kada DKI
putaran kedua. Benar tidaknya masih harus dibuktikan. Namun, kalau kekacauan
Bank Century, Wisma Atlet, Hambalang dan lain-lain tidak kunjung tuntas,
apalagi kekacauan yang begitu luas cakupannya hingga tidak jelas tujuan
akhirnya. Nantinya paling-paling situasinya akan berjalan seakan-akan tidak ada
masalah. Namun, apa pun sebab dan tujuan kekacauan itu dikobarkan, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa dari dugaan dan kecurigaan yang beredar, terbukti
bahwa kita gagal menggalang kerukunan dan rasa saling percaya.
Menurut
Society Today (1971), dalam masyarakat
demokrasi (bukan konservatif), kalangan elite/terdidik seharusnya bertindak
sebagai perantara, bukan penguasa. Idealnya kelompok-kelompok yang mereka
bangun, semisal lewat partai-partai politik, menjadi saluran-saluran komunikasi
yang saling bersaing, dan antara rakyat dengan pemerintah. Demokrasi menjamin
keindahan perbedaan dalam kelompok-kelompok sosial dan menjamin
terselenggaranya kebebasan politik dan sipil. Perubahan sosial akan berjalan
dengan penyesuaian di antara segenap elemen secara damai, yakni antara berbagai
golongan masyarakat, elite, partai-partai politik, dan aparat pemerintah; semua
mengikuti koridor hukum dan adat kebiasaan. Orientasinya lebih kepada memenuhi
kebutuhan masyarakat akan perubahan, bukan untuk mempertahankan cara pandang kuno
atau utopis.
Dalam
kerangka itu, yang patut kita waspadai ialah sikap radikal dari kelompok kiri
maupun kanan. Kalangan radikal menolak asumsi bahwa kita bisa mencapai
konsensus sosial tentang cita-cita suatu sistem politik. Misalnya, mereka tidak
rela menerima sistem Pancasila dalam politik kita. Kaum radikal melihat
pemerintahan sebagai alat dominasi, bukan alat konsiliasi. Mereka melihatnya
sebagai sarana kelompok tertentu untuk menguasai kelompok lain. Maka dalam
perspektif radikal, ada dua tujuan yang saling bertentangan dalam arena
politik: tujuan yang berkuasa untuk mempertahankan dominasinya, dan tujuan
pihak-pihak yang kalah untuk ikut mengambil bagian dalam kekuasaan, yang pada
akhirnya untuk menggulingkan kekuasaan yang ada. Perspektif radikal menganggap
selalu ada persaingan antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Keindahaan dalam Perbedaan
Semakin
hangatnya persaingan untuk mencapai posisi DKI-1 menegaskan bahwa kompetisi
antarindividu untuk kepemimpinan dan kompetisi antarorganisasi politik untuk
menguasai mesin pemerintahan merupakan bukti bahwa mekanisme untuk mencegah
tumbuhnya tirani--yakni akumulasi kekuasaan oleh salah satu kelompok--masih
berjalan. Situasi politik yang kompetitif semacam itu sering disebut
pluralisme. Berbagai studi kemasyarakatan menunjukkan situasi politik yang
pluralistis itu bisa dipertahankan apabila tingkat pendidikan formal para kader
dalam sistem kepartaian selalu diperhatikan.
Sehubungan
dengan itu, wajar apabila kita seyogianya mencermati perkembangan partai-partai
politik dengan memperhatikan organisasi dan keuangan partai, fungsinya, para
kader dan jajaran pemimpinnya, dan bagaimana mereka mengambil keputusan. Dengan
demikian, partai-partai politik jangan hanya untuk mengerahkan massa, tetapi
hendaknya dianggap sarana pengumpul suara cerdas demi masa depan yang lebih
baik.
Sering
dikatakan, penduduk DKI yang berhak memilih bukanlah orang-orang naif. Apabila
asumsi itu benar, kita tidak perlu cemas. Warga Jakarta tentu tahu
perubahan-perubahan yang mereka inginkan dan sosok pemimpin seperti apa yang
dibutuhkan untuk mewujudkannya--tanpa memandang SARA atau atribut-atribut
primordial lain yang menyesatkan. Sebab, pemimpin pada akhirnya harus menjadi
milik bersama; bukan milik suku, ras, agama, golongan atau partai politik
tertentu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar