Mengkritisi
RAPBN 2013
Latif Adam ; Peneliti pada Pusat Penelitian
Ekonomi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
SINDO
, 05 September 2012
Untuk yang ketujuh kalinya, PresidenSusilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 di
depan Sidang Paripurna DPR. Beberapa asumsi dalam RAPBN 2013 adalah sebagai
berikut.
Pertumbuhan ekonomi 6,8%, tingkat inflasi 4,9%, nilai tukar rupiah
Rp9.300 per USD, suku bunga SPN 3 bulan rata-rata 5,0%, harga minyak (ICP)
USD100 per barel, dan lifting minyak 900.000 barel per hari (BPH). Pendapatan
negara dan hibah pada RAPBN 2013 direncanakan sebesar Rp1.507,7 triliun,
meningkat Rp149,5 triliun dari APBN-P 2012 (11%),sedangkan belanja negara
mencapai Rp1.139 triliun, naik hanya Rp69.5 triliun dari APBN-P 2009
(6,5%).Dengandemikian,defisit RAPBN 2010 mencapai Rp150,2 triliun (1,62% dari
PDB).
Subsidi dan Belanja Pegawai
Di tengah ancaman krisis global, tadinya kita berharap RAPBN 2013 akan berperan secara optimal sebagai penguat fundamentalperekonomian.Kita berharap RAPBN 2013 tidak saja berkontribusi secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, melalui perannya untuk memfasilitasi pergerakan konsumsi domestik, investasi, dan perdagangan luar negeri. Sayangnya, postur RAPBN 2013 ternyata tidak cukup meyakinkan untuk bisa membangun fundamental per-ekonomian yang kuat.
Alih-alih menyediakan fundamental yang kuat agar konsumsi domestik, investasi,dan perdagangan luar negeri bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, terdapat indikasi bahwa belanja pada RAPBN 2013 cenderung bersifat populis. Salah satu indikasi bahwa pertimbangan populis dalam RAPBN 2013 lebih mengemuka daripada pertimbangan fundamentalis, tercermin dari tingginya alokasi belanja subsidi energi dan melonjaknya belanja rutin pegawai.
Di satu sisi,belanja subsidi energi dialokasikan Rp274,7 triliun (subsidi BBM 193,8 triliun dan listrik Rp80,9 triliun), meningkat 35,7% dari belanja subsidi yang dialokasikan dalam APBN P 2012 (Rp202,4 triliun). Di sisi yang lain, belanja pegawai meningkat 13,6% dari Rp212,6 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp241,1 triliun (RAPBN 2013).Dengan demikian, pada RAPBN 2013, belanja subsidi energi dan belanja pegawai menghabiskan 45,3% dari total belanja pemerintah, meningkat dari semula 38,8% dalam APBNP 2012.
Peningkatan subsidi energi dan belanja pegawai bisa diterjemahkan sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Dengan mampu menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memandang tidak akan mengalami kesulitan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8% melalui jalur konsumsi domestik. Namun, peningkatan subsidi energi dan belanja pegawai tidak akan efektif untuk menjagadaya belimasyarakattanpa dibarengi dengan upaya untuk mengatasi akar permasalahan mendasar yang sering mendorong naiknya tingkat inflasi.
Lebih dari itu,mengalokasikan anggaran yang besar untuk subsidi energi dan belanja pegawai akan membuat APBN menjadi tidak sehat dan memiliki peran yang marginal dalam perekonomian. Kalau ingin meningkatkan peran dan kesehatan APBN, pemerintah seharusnya mengalokasikan belanja pembangunan yang lebih tinggi, khususnya untuk infrastruktur. Pembenahan infrastruktur akan memperlancar arus barang dan jasa yang kemudian akan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menjaga inflasi,mempertahankan daya beli masyarakat,dan mendorong konsumsi domestik.
Pembenahan infrastruktur juga akan bisa menekan cost of doing business sehingga Indonesia bisa lebih menarik sebagai negara tujuan investasi. Demikian halnya, pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis yang efektif untuk meningkatkan daya saing produk kita baik di pasar domestik ataupun internasional. Sayangnya, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur hanya naik dengan 7,7% atau meningkat dari Rp174,9 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp188,4 triliun (RAPBN 2013).
Dengan asumsi tahun 2013 perekonomian tumbuh dengan 6,8%,maka secara nominal PDB Indonesia padatahun2013akanmencapai Rp9.270 triliun. Ini berarti bahwa rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB pada tahun 2013 hanya akan mencapai 2,03%, relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan rasio pada tahun 2012 (2,04%), masih jauh dari level ideal sebesar 5% dari PDB,dan lebih rendah dibandingkan dengan rasio di beberapa negara, seperti Vietnam (10%), China (9%),dan India (8%).
Transfer ke Daerah
RAPBN 2013 juga terbebani dengan besarnya dana yang ditransfer ke daerah.Transfer danake daerah meningkat8,4% (Rp40,1 triliun) dari Rp478,8 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp518,9 triliun (RAPBN 2013). Sayangnya, terdapat indikasi bahwa peningkatan transfer itu tidak akan signifikan mempengaruhi pembangunan ekonomi daerah. Ini terjadi karena seperti APBN, APBD habis terkuras untuk belanja rutin, khususnya belanja pegawai yang biasanya menghabiskan 50% lebih dari total belanja pemerintah daerah.
Sementara itu, pemerintah daerah ratarata hanya mengalokasikan belanja modal kurang dari 10%, bahkan di beberapa daerah ada yang mengalokasikan belanja modal hanya 5% dari total belanja. Keinginan pemerintah pusat untuk merevisi UU No 32 dan 33 Tahun 2004 patut mendapat apresiasi. Melalui revisi kedua UU itu, terbuka kesempatan bagi pemerintah pusat untuk mengatur dan menetapkan belanja pegawai maksimal 50% dan belanja modal minimal 20% dari total belanja pemerintah daerah.
Namun demikian, sebelum merevisi kedua UU itu, pemerintah pusat juga dituntut merealokasi struktur anggarannya untuk meningkatkan belanja modal dari yang saat ini dianggarkan dalam RAPBN 2013 sebesar 17% (Rp193,8 triliun) ke level mendekati 20%-an (R- 227,8 triliun). Peningkatan porsi belanja modal yang dilakukan pemerintah pusat akan menjadi contoh baik yang akan menginspirasi pemerintah daerah. Jika tidak, boleh jadi pemerintah daerah akan resisten terhadap upaya untuk merevisi kedua UU itu. ●
Subsidi dan Belanja Pegawai
Di tengah ancaman krisis global, tadinya kita berharap RAPBN 2013 akan berperan secara optimal sebagai penguat fundamentalperekonomian.Kita berharap RAPBN 2013 tidak saja berkontribusi secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, melalui perannya untuk memfasilitasi pergerakan konsumsi domestik, investasi, dan perdagangan luar negeri. Sayangnya, postur RAPBN 2013 ternyata tidak cukup meyakinkan untuk bisa membangun fundamental per-ekonomian yang kuat.
Alih-alih menyediakan fundamental yang kuat agar konsumsi domestik, investasi,dan perdagangan luar negeri bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, terdapat indikasi bahwa belanja pada RAPBN 2013 cenderung bersifat populis. Salah satu indikasi bahwa pertimbangan populis dalam RAPBN 2013 lebih mengemuka daripada pertimbangan fundamentalis, tercermin dari tingginya alokasi belanja subsidi energi dan melonjaknya belanja rutin pegawai.
Di satu sisi,belanja subsidi energi dialokasikan Rp274,7 triliun (subsidi BBM 193,8 triliun dan listrik Rp80,9 triliun), meningkat 35,7% dari belanja subsidi yang dialokasikan dalam APBN P 2012 (Rp202,4 triliun). Di sisi yang lain, belanja pegawai meningkat 13,6% dari Rp212,6 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp241,1 triliun (RAPBN 2013).Dengan demikian, pada RAPBN 2013, belanja subsidi energi dan belanja pegawai menghabiskan 45,3% dari total belanja pemerintah, meningkat dari semula 38,8% dalam APBNP 2012.
Peningkatan subsidi energi dan belanja pegawai bisa diterjemahkan sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Dengan mampu menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memandang tidak akan mengalami kesulitan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8% melalui jalur konsumsi domestik. Namun, peningkatan subsidi energi dan belanja pegawai tidak akan efektif untuk menjagadaya belimasyarakattanpa dibarengi dengan upaya untuk mengatasi akar permasalahan mendasar yang sering mendorong naiknya tingkat inflasi.
Lebih dari itu,mengalokasikan anggaran yang besar untuk subsidi energi dan belanja pegawai akan membuat APBN menjadi tidak sehat dan memiliki peran yang marginal dalam perekonomian. Kalau ingin meningkatkan peran dan kesehatan APBN, pemerintah seharusnya mengalokasikan belanja pembangunan yang lebih tinggi, khususnya untuk infrastruktur. Pembenahan infrastruktur akan memperlancar arus barang dan jasa yang kemudian akan meningkatkan kemampuan pemerintah dalam menjaga inflasi,mempertahankan daya beli masyarakat,dan mendorong konsumsi domestik.
Pembenahan infrastruktur juga akan bisa menekan cost of doing business sehingga Indonesia bisa lebih menarik sebagai negara tujuan investasi. Demikian halnya, pembangunan infrastruktur akan menjadi katalis yang efektif untuk meningkatkan daya saing produk kita baik di pasar domestik ataupun internasional. Sayangnya, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur hanya naik dengan 7,7% atau meningkat dari Rp174,9 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp188,4 triliun (RAPBN 2013).
Dengan asumsi tahun 2013 perekonomian tumbuh dengan 6,8%,maka secara nominal PDB Indonesia padatahun2013akanmencapai Rp9.270 triliun. Ini berarti bahwa rasio anggaran infrastruktur terhadap PDB pada tahun 2013 hanya akan mencapai 2,03%, relatif tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan rasio pada tahun 2012 (2,04%), masih jauh dari level ideal sebesar 5% dari PDB,dan lebih rendah dibandingkan dengan rasio di beberapa negara, seperti Vietnam (10%), China (9%),dan India (8%).
Transfer ke Daerah
RAPBN 2013 juga terbebani dengan besarnya dana yang ditransfer ke daerah.Transfer danake daerah meningkat8,4% (Rp40,1 triliun) dari Rp478,8 triliun (APBNP 2012) menjadi Rp518,9 triliun (RAPBN 2013). Sayangnya, terdapat indikasi bahwa peningkatan transfer itu tidak akan signifikan mempengaruhi pembangunan ekonomi daerah. Ini terjadi karena seperti APBN, APBD habis terkuras untuk belanja rutin, khususnya belanja pegawai yang biasanya menghabiskan 50% lebih dari total belanja pemerintah daerah.
Sementara itu, pemerintah daerah ratarata hanya mengalokasikan belanja modal kurang dari 10%, bahkan di beberapa daerah ada yang mengalokasikan belanja modal hanya 5% dari total belanja. Keinginan pemerintah pusat untuk merevisi UU No 32 dan 33 Tahun 2004 patut mendapat apresiasi. Melalui revisi kedua UU itu, terbuka kesempatan bagi pemerintah pusat untuk mengatur dan menetapkan belanja pegawai maksimal 50% dan belanja modal minimal 20% dari total belanja pemerintah daerah.
Namun demikian, sebelum merevisi kedua UU itu, pemerintah pusat juga dituntut merealokasi struktur anggarannya untuk meningkatkan belanja modal dari yang saat ini dianggarkan dalam RAPBN 2013 sebesar 17% (Rp193,8 triliun) ke level mendekati 20%-an (R- 227,8 triliun). Peningkatan porsi belanja modal yang dilakukan pemerintah pusat akan menjadi contoh baik yang akan menginspirasi pemerintah daerah. Jika tidak, boleh jadi pemerintah daerah akan resisten terhadap upaya untuk merevisi kedua UU itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar