Sabtu, 15 September 2012

KPU Melukai Perempuan


KPU Melukai Perempuan
Nindita Paramastuti ;  Program Officer Partnership for
Governance Reform (Kemitraan) 
SINDO, 15 September 2012


Pasal 16 ayat 2 Peraturan KPU No.12 Tahun 2012 ditentang banyak pihak. Pasal tersebut mewajibkan partai politik untuk membuat surat pernyataan jika tidak mampu memenuhi 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai di level provinsi dan kabupaten/kota. 

Salah satu organisasi yang menentang kebijakan baru ini adalah Kelompok Kerja (Pokja) Keterwakilan Perempuan.Kelompok yang terdiri dari individu- individu yang selama ini aktif memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam politik ini menganggap bahwa pasal tersebut menyalahi prinsip 30% keterwakilan perempuan dan melukai perempuan.

Pokja Keterwakilan Perempuan menuntut KPU untuk tidak meloloskan partai politik yang tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan di semua level kepengurusan partai. Kelompok lain yang menentang adalah organisasi perempuan sayap partai Nasional Demokrat (NasDem).Partai yang baru dibentuk itu menganggap bahwa kebijakan tersebut telah mencederai perjuangan para perempuan yang selama ini mengucurkan keringat untuk berjuang.

Aturan KPU juga dianggap memberikan unequal treatment (perlakuan berbeda) terhadap partai yang tidak memenuhi syarat keterwakilan, ini bertentangan dengan prinsip perlakuan adil dan sama di hadapan hukum, serta melanggar UUD 1945 Pasal 28H ayat (2) dan merupakan bentuk pembenaran politik patriarki, domestifikasi perempuan, serta bentuk pelecehan perjuangan politik perempuan (SINDO,9 September 2012). Peraturan ini merupakan perubahan atas Peraturan KPU No.8 Tahun 2012 yang awalnya mewajibkan 30% keterwakilan perempuan di semua tingkat kepengurusan partai politik.

Menyulitkan Diri Sendiri 

Sangat disayangkan perubahan sikap KPU tersebut. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU seharusnya berperan sebagai garda terdepan dalam memastikan terciptanya keterwakilan perempuan melalui peraturan KPU yang mengakomodasi kebijakan afirmasi. Namun, kenyataannya justru KPU “mengkhianati” kebijakan afirmasi yang diamanatkan oleh UU Pemilu Legislatif, UU Partai Politik dan UU Penyelenggara Pemilu.

Peraturan yang tidak mewajibkan partai memenuhi kepengurusan perempuan di semua level justru akan menjauhkan partai dari “kewajiban” mendukung perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya. Di sisi lain,jika peraturan ini tidak segera diubah,maka KPU akan menyulitkan diri sendiri. Salah satu yang menyulitkan KPU ke depan adalah protes dari partai yang merasa dirugikan karena melengkapi persyaratan kuota perempuan di pusat maupun daerah.

Terdapat beberapa kelemahan dalam peraturan tersebut,di antaranya: Pertama,suratpernyataan yang dimaksud dalam peraturan KPU hanya berisi sejauh mana upaya yang telah partai lakukan untuk memenuhi 30% keterwakilan perempuan di provinsi dan kabupaten/kota,serta hambatan yang dihadapi dalam memenuhi aturan tersebut. Kebijakan ini tentunya akan mempermudah partai, tidak menutup kemungkinan partaipartai akan lebih memilih mengisi surat daripada repot-repot memastikan keterwakilan perempuan di semua level kepengurusan.

Langkah ini akan menghemat waktu dan sumber daya partai karena tidak harus bersusah payah mencari perempuan untuk menjadi pengurus. Kedua, indikator untuk menilai surat pernyataan tidak tercantum dalam peraturan KPU. Bagaimana cara pemberian bobot penilaian untuk parpol yang tidak mampu memenuhi 30% perempuan di level kepengurusan? KPU juga tidak mengatur mekanisme klarifikasi atas upaya-upaya partai untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di daerah seperti yang tertulis dalam surat pernyataan.

Apakah KPU akan menerima saja semua alasan yang parpol tulis dalam upaya yang telah mereka lakukan? Klarifikasi macam apa yang akan dilakukan KPU untuk memastikan bahwa upaya-upaya tersebut benar- benar telah partai lakukan? Kelemahan ini ditakutkan akan berpotensi untuk diselewengkan oleh partai maupun KPU sendiri.Mereka bisa saja melakukan perjanjian politik karena tidak ada mekanisme keterlibatan publik untuk mengawasi proses verifikasi partai.

Seharusnya KPU konsisten dengan peraturan sebelumnya yang menyatakan bahwa partai yang tidak memasukan 30% keterwakilan perempuan di semua level kepengurusan. KPU periode sekarang juga diharapkan tidak mengulangi kesalahan seperti yang dilakukan oleh periode sebelumnya. Salah satu dosa KPU periode sebelumnya yang cukup melukai perempuan adalah menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan secara nasional,bukan setiap daerah pemilihan (dapil). Untuk itu, peraturan KPU terkait pencalonan harus memiliki ketegasan untuk menerapkan 30% calon perempuan di setiap dapil.

Mengapa Penting? 

Sudah lama perempuan di Indonesia menjadi warga kelas dua. Selama ini 49,83% jumlah perempuan dari total populasi penduduk Indonesia (BPS, 2010) belum mampu terefleksikan secara seimbang dalam keterwakilan perempuan. Meningkatnya jumlah penduduk perempuan justru diiringi dengan banyaknya kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan.

Kuota 30% keterwakilan perempuan dalam politik yang merupakan bagian dari prinsip afirmasi harus diyakini sebagai tindakan khusus “sementara” dengan tujuan untuk mengejar ketertinggalan perempuan dari laki-laki dalam politik. Tujuan akhir dari afirmasi adalah menyetarakan hak-hak perempuan dengan laki-laki (gender mainstreaming). Sebagai salah satu pilar demokrasi, peranan partai politik sangat besar.

Jika kuota perempuan di internal partai saja tidak terpenuhi, bagaimana mungkin perempuan dapat memperjuangkan hak-haknya melalui legislasi? Posisi-posisi strategis di partai akan semakin terkooptasi pada laki-laki, sedangkan perempuan mendominasi pada posisi supporting. Maka, bisa dipastikan bahwa partai yang menjadi mesin demokrasi dikuasai oleh laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar