Minggu, 16 September 2012

Gabung Daerah Otonom yang Gagal


Gabung Daerah Otonom yang Gagal
( Wawancara )
Robert Endi Jaweng ;  Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KOMPAS, 15 September 2012


Ikhtiar mendasar diambilnya kebijakan otonomi daerah adalah membangun harapan terbukanya struktur kesempatan yang baru. Struktur baru itu membuat relasi pemerintah pusat dan daerah, juga relasi pemerintah dengan masyarakat dan pelaku ekonomi, berjalan lebih seimbang.

Otonomi daerah (otda) yang diberlakukan di Indonesia merupakan antitesis dari pola hubungan Orde Baru, yakni dominasi dan sentralisasi kebijakan pusat terhadap daerah terasa kuat.

Bagi Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, otda sejatinya merupakan medan interaksi baru untuk penataan ulang hubungan. Namun, setelah 12 tahun, otda belum beranjak dari tempat semula dan masih berada di zona transisi. Berikut wawancara dengan Endi di kantornya di Jakarta, Kamis (13/9).

Bagaimana evaluasi pelaksanaan otda sejauh ini?

Kalau melihat perjalanan 12 tahun ini, sejumlah capaian patut diapresiasi. Namun, masih banyak sumbatan besar. Hingga hari ini, dominasi pemerintah pusat atas daerah masih kuat dan membuat hubungan pusat dan daerah bermasalah.

Pusat tidak percaya kepada daerah dan menganggap daerah kebablasan mempraktikkan otda. Daerah tidak percaya pusat yang menerapkan otonomi setengah hati. Melepas kepala tapi memegang ekornya. Distrust (ketidakpercayaan) pusat dan daerah masih terjadi hingga sekarang dan membuat kita selalu mengubah regulasi. Kepercayaan pusat-daerah belum terbangun solid.

Otda sebenarnya mengandung dua tahapan, yakni transisi desentralisasi dan konsolidasi desentralisasi. Tahapan transisi adalah masa bongkar pasang aturan dengan agenda penguatan kelembagaan, pengaturan kewenangan, hubungan kewenangan, dan pemekaran. Normalnya, setelah 10 tahun, transisi selesai. Tahun 2010 ke sini, kita seharusnya tidak bicara banyak soal ini. Tapi nyatanya, di tahun 2012, kita masih bicara soal penataan kelembagaan, hubungan kewenangan, dan merevisi undang-undang pemerintah daerah. Kita sebenarnya masih macet di zona transisi. Tidak bergerak ke mana-mana. Kita masih sibuk dengan agenda transisi yang instrumentalis.

Muara otonomi untuk sejahterakan rakyat belum tercapai?

Harus diakui otonomi yang berlaku saat ini masih otonomi pemerintahan, belum sampai pada otonomi masyarakat atau daerahnya. Muara otonomi adalah demokratisasi dan kesejahteraan. Kalau berbicara soal itu, rasanya masih jauh panggang dari api. Publik belum merasakan manfaat otda dan bahkan masyarakat malah terpinggirkan. Patut dipertanyakan apakah otda pas untuk mencapai demokrasi dan kesejahteraan. Problem yang dihadapi relatif sama dengan sebelum otda.

Ada peningkatan dari sebelumnya, itu pasti. Tapi, otda sebagai pilihan seharusnya menjanjikan hasil yang lebih tinggi. Perlu diingat, anggaran yang dikerahkan ke daerah cukup besar, sekitar 31 persen dari anggaran atau sekitar Rp 518 triliun di tahun 2012. Idealnya, otda memberdayakan warga. Tapi yang terjadi, demokrasi dibajak elite lokal, bahkan muncul oligarki kekuasaan di daerah.

Terkait persoalan distrust, bagaimana solusinya?

Otonomi itu pilihan politik yang dibangun berdasarkan konsensus. Tidak bisa pemerintah pusat menjalankan tata kelola seperti sekarang dan bekerja sepihak. Otonomi seakan-akan merupakan kebaikan hati pemerintah pusat sehingga tidak ada dialog. Contoh kasus, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak yang menuai penolakan sejumlah daerah menarik dikaji. Cara pemerintah pusat mengelola kebijakan masih sama dengan zaman Orba yang sentralistis dan sepihak.

Distrust menjadi problem mendasar dalam perjalanan 12 tahun otda. Kita mau berotonomi, tapi cara yang dilakukan masih sama, sentralistis. Pusat dan daerah perlu membangun kepercayaan. Kedua belah pihak harus sama-sama sadar, pilihan otonomi itu merupakan pilihan yang harus dibangun atas dasar konsensus bersama. Memang sumber kewenangan itu pusat, tetapi tidak lantas pusat merancang kebijakan sepihak dan menugaskan daerah untuk melaksanakan.

NKRI memang simpulnya. Tetapi, dalam memanajemen pemerintahan selalu ada cara untuk membangun relasi yang lebih berkeseimbangan dan setara dengan dasar kepercayaan. Selain itu, perlu konsistensi, koordinasi, dan sinkronisasi. Momentum revisi UU Pemda harus jadi titik tolak untuk konsisten pada pilihan.

Solusi berikutnya adalah kepemimpinan. Dalam otonomi, yang lebih mengemuka Menteri Dalam Negeri ketimbang Presiden. Padahal, ini kebijakan nasional yang dimandatkan sebagai agenda penting reformasi. Agenda itu menuntut penanganan di posisi puncak, yakni Presiden. Ketegasan Presiden mengoordinasi berbagai pihak yang ada, terutama instansi horizontal di pusat, jelas diperlukan. Kalau kepemimpinannya kuat, dia bisa memerintahkan menteri duduk bersama menyelesaikan tumpang tindih aturan dalam otda.

Apa solusi bagi persoalan relasi pemda dengan masyarakat?

Ketika desentralisasi masih sebatas pengalihan kewenangan pusat ke daerah, pemda merasa mempunyai kekuasaan besar juga. Pemda budayanya masih sama, budaya kekuasaan. Pemda masih memersepsikan diri sebagai penguasa ketimbang pelayan publik. Yang terjadi relasi yang timpang.

Pemda memiliki kapasitas pendanaan yang kuat, tetapi fiskal terbagi habis untuk anggaran birokrasi. Belanja modal sedikit. Sejak awal perencanaan, libatkan pemangku kepentingan. Beralih dari cara pandang penguasa ke pelayan publik.

Bagaimana melihat pemekaran dengan hasil 524 daerah?

Pemekaran daerah telah dievaluasi pusat. Namun, hasil evaluasi itu belum dimanfaatkan untuk dasar pengambilan kebijakan. Tidak jelas juga daerah-daerah di zona gagal itu mau diapakan. Jika masih bisa diberi penguatan, berikan pendampingan intensif. Namun, jika tidak bisa diapa-apakan lagi karena memang daerah itu sulit hidup, ya dilikuidasi, penggabungan.

Penggabungan itu perlu untuk memberi pesan ke daerah, pemekaran itu tidak bebas. Daerah tetap dalam pengawasan sehingga kalau gagal bukan tidak mungkin akan dilikuidasi dan digabungkan. Pusat dan daerah tidak boleh main-main dengan usulan pemekaran.

Sebenarnya kita punya momentum, yakni sejak 2009 tidak ada pemekaran karena ada moratorium. Namun, kita tidak mampu memanfaatkan moratorium untuk menata daerah yang gagal. Moratorium lewat begitu saja dan sekarang 19 daerah sudah antre diproses lagi.

Ke depan, harus selektif betul dalam membuka keran pemekaran daerah baru. Pusat berhitung benar, kalau mau mekar pertimbangkan dampaknya ke depan. Usulan pemekaran lakukan satu pintu melalui filter Kementerian Dalam Negeri. Jangan seperti sekarang di tiga pintu, yakni DPD, DPR, dan Kemendagri.

Daerah yang dianggap berhasil silakan dilanjutkan menjadi daerah otonom baru, daerah yang belum berhasil difasilitasi secara intensif agar maju, dan daerah yang setelah 3-5 tahun tidak bergerak ke mana-mana langsung dilikuidasi. Dengan daerah transisi ini, ongkos sosial dan politiknya jauh lebih kecil ketimbang daerah langsung otonom dan di kemudian hari mesti dilikuidasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar