Gabung
Daerah Otonom yang Gagal
(
Wawancara )
Robert Endi Jaweng ; Direktur
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
|
KOMPAS, 15 September 2012
Ikhtiar mendasar diambilnya kebijakan otonomi
daerah adalah membangun harapan terbukanya struktur kesempatan yang baru.
Struktur baru itu membuat relasi pemerintah pusat dan daerah, juga relasi
pemerintah dengan masyarakat dan pelaku ekonomi, berjalan lebih seimbang.
Otonomi daerah (otda) yang diberlakukan di
Indonesia merupakan antitesis dari pola hubungan Orde Baru, yakni dominasi dan sentralisasi
kebijakan pusat terhadap daerah terasa kuat.
Bagi Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, otda sejatinya merupakan medan interaksi
baru untuk penataan ulang hubungan. Namun, setelah 12 tahun, otda belum
beranjak dari tempat semula dan masih berada di zona transisi. Berikut
wawancara dengan Endi di kantornya di Jakarta, Kamis (13/9).
Bagaimana evaluasi pelaksanaan otda sejauh
ini?
Kalau melihat perjalanan 12 tahun ini,
sejumlah capaian patut diapresiasi. Namun, masih banyak sumbatan besar. Hingga
hari ini, dominasi pemerintah pusat atas daerah masih kuat dan membuat hubungan
pusat dan daerah bermasalah.
Pusat tidak percaya kepada daerah dan
menganggap daerah kebablasan mempraktikkan otda. Daerah tidak percaya pusat
yang menerapkan otonomi setengah hati. Melepas kepala tapi memegang ekornya. Distrust (ketidakpercayaan) pusat dan
daerah masih terjadi hingga sekarang dan membuat kita selalu mengubah regulasi.
Kepercayaan pusat-daerah belum terbangun solid.
Otda sebenarnya mengandung dua tahapan, yakni
transisi desentralisasi dan konsolidasi desentralisasi. Tahapan transisi adalah
masa bongkar pasang aturan dengan agenda penguatan kelembagaan, pengaturan
kewenangan, hubungan kewenangan, dan pemekaran. Normalnya, setelah 10 tahun,
transisi selesai. Tahun 2010 ke sini, kita seharusnya tidak bicara banyak soal
ini. Tapi nyatanya, di tahun 2012, kita masih bicara soal penataan kelembagaan,
hubungan kewenangan, dan merevisi undang-undang pemerintah daerah. Kita sebenarnya
masih macet di zona transisi. Tidak bergerak ke mana-mana. Kita masih sibuk
dengan agenda transisi yang instrumentalis.
Muara otonomi untuk sejahterakan rakyat belum
tercapai?
Harus diakui otonomi yang berlaku saat ini
masih otonomi pemerintahan, belum sampai pada otonomi masyarakat atau
daerahnya. Muara otonomi adalah demokratisasi dan kesejahteraan. Kalau
berbicara soal itu, rasanya masih jauh panggang dari api. Publik belum
merasakan manfaat otda dan bahkan masyarakat malah terpinggirkan. Patut dipertanyakan
apakah otda pas untuk mencapai demokrasi dan kesejahteraan. Problem yang
dihadapi relatif sama dengan sebelum otda.
Ada peningkatan dari sebelumnya, itu pasti.
Tapi, otda sebagai pilihan seharusnya menjanjikan hasil yang lebih tinggi.
Perlu diingat, anggaran yang dikerahkan ke daerah cukup besar, sekitar 31
persen dari anggaran atau sekitar Rp 518 triliun di tahun 2012. Idealnya, otda
memberdayakan warga. Tapi yang terjadi, demokrasi dibajak elite lokal, bahkan
muncul oligarki kekuasaan di daerah.
Terkait persoalan distrust,
bagaimana solusinya?
Otonomi itu pilihan politik yang dibangun
berdasarkan konsensus. Tidak bisa pemerintah pusat menjalankan tata kelola
seperti sekarang dan bekerja sepihak. Otonomi seakan-akan merupakan kebaikan
hati pemerintah pusat sehingga tidak ada dialog. Contoh kasus, rencana kenaikan
harga bahan bakar minyak yang menuai penolakan sejumlah daerah menarik dikaji.
Cara pemerintah pusat mengelola kebijakan masih sama dengan zaman Orba yang
sentralistis dan sepihak.
Distrust menjadi
problem mendasar dalam perjalanan 12 tahun otda. Kita mau berotonomi, tapi cara
yang dilakukan masih sama, sentralistis. Pusat dan daerah perlu membangun
kepercayaan. Kedua belah pihak harus sama-sama sadar, pilihan otonomi itu
merupakan pilihan yang harus dibangun atas dasar konsensus bersama. Memang
sumber kewenangan itu pusat, tetapi tidak lantas pusat merancang kebijakan
sepihak dan menugaskan daerah untuk melaksanakan.
NKRI memang simpulnya. Tetapi, dalam
memanajemen pemerintahan selalu ada cara untuk membangun relasi yang lebih
berkeseimbangan dan setara dengan dasar kepercayaan. Selain itu, perlu
konsistensi, koordinasi, dan sinkronisasi. Momentum revisi UU Pemda harus jadi
titik tolak untuk konsisten pada pilihan.
Solusi berikutnya adalah kepemimpinan. Dalam
otonomi, yang lebih mengemuka Menteri Dalam Negeri ketimbang Presiden. Padahal,
ini kebijakan nasional yang dimandatkan sebagai agenda penting reformasi.
Agenda itu menuntut penanganan di posisi puncak, yakni Presiden. Ketegasan
Presiden mengoordinasi berbagai pihak yang ada, terutama instansi horizontal di
pusat, jelas diperlukan. Kalau kepemimpinannya kuat, dia bisa memerintahkan
menteri duduk bersama menyelesaikan tumpang tindih aturan dalam otda.
Apa solusi bagi persoalan relasi pemda dengan
masyarakat?
Ketika desentralisasi masih sebatas
pengalihan kewenangan pusat ke daerah, pemda merasa mempunyai kekuasaan besar
juga. Pemda budayanya masih sama, budaya kekuasaan. Pemda masih memersepsikan
diri sebagai penguasa ketimbang pelayan publik. Yang terjadi relasi yang
timpang.
Pemda memiliki kapasitas pendanaan yang kuat,
tetapi fiskal terbagi habis untuk anggaran birokrasi. Belanja modal sedikit.
Sejak awal perencanaan, libatkan pemangku kepentingan. Beralih dari cara
pandang penguasa ke pelayan publik.
Bagaimana melihat pemekaran dengan hasil 524
daerah?
Pemekaran daerah telah dievaluasi pusat.
Namun, hasil evaluasi itu belum dimanfaatkan untuk dasar pengambilan kebijakan.
Tidak jelas juga daerah-daerah di zona gagal itu mau diapakan. Jika masih bisa
diberi penguatan, berikan pendampingan intensif. Namun, jika tidak bisa
diapa-apakan lagi karena memang daerah itu sulit hidup, ya dilikuidasi,
penggabungan.
Penggabungan itu perlu untuk memberi pesan ke
daerah, pemekaran itu tidak bebas. Daerah tetap dalam pengawasan sehingga kalau
gagal bukan tidak mungkin akan dilikuidasi dan digabungkan. Pusat dan daerah
tidak boleh main-main dengan usulan pemekaran.
Sebenarnya kita punya momentum, yakni sejak
2009 tidak ada pemekaran karena ada moratorium. Namun, kita tidak mampu
memanfaatkan moratorium untuk menata daerah yang gagal. Moratorium lewat begitu
saja dan sekarang 19 daerah sudah antre diproses lagi.
Ke depan, harus selektif betul dalam membuka
keran pemekaran daerah baru. Pusat berhitung benar, kalau mau mekar
pertimbangkan dampaknya ke depan. Usulan pemekaran lakukan satu pintu melalui
filter Kementerian Dalam Negeri. Jangan seperti sekarang di tiga pintu, yakni
DPD, DPR, dan Kemendagri.
Daerah yang dianggap berhasil silakan
dilanjutkan menjadi daerah otonom baru, daerah yang belum berhasil difasilitasi
secara intensif agar maju, dan daerah yang setelah 3-5 tahun tidak bergerak ke
mana-mana langsung dilikuidasi. Dengan daerah transisi ini, ongkos sosial dan
politiknya jauh lebih kecil ketimbang daerah langsung otonom dan di kemudian
hari mesti dilikuidasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar