Fakultas
Ambil Hikmahnya
Iqbal Aji Daryono ; Esais, tinggal di Bantul
|
DETIKNEWS,
20 Maret
2018
Saya
rasa, salah satu jamu kuat yang membuat umat manusia mampu bertahan hidup
lebih panjang adalah kalimat suci: "Sudahlah, ambil saja
hikmahnya." Betapa kalimat itu serupa stok oksigen tambahan, atau setrum
kejut yang memompa kehidupan ulang.
Saya
mengetik kalimat-kalimat awal ini di ruang tunggu depan laboratorium RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Anak saya yang besar kena demam, sudah masuk hari
keenam. Ini barusan dia dicoblos lagi tangannya, diambil darahnya, untuk
memantau konstelasi politik mutakhir dalam sistem darah di tubuhnya.
Yang
jelas, dalam lima hari berturut-turut kemarin, trombositnya terus merosot.
Infeksi virus? Demam berdarah? Belum ada jawaban. Ketika saya googling dengan
kata kunci beberapa keluhan di badannya, yang muncul malah tautan-tautan
dengan deskripsi mengerikan dan membuat pikiran buruk berdatangan. Ya Tuhan.
Kondisi
fisiknya yang tanpa rencana ini mengacaukan banyak hal. Anak saya itu jadi
gagal mengikuti dua program di sekolahnya yang sangat ia tunggu. Salah
satunya adalah field trip di desa entah mana, tempat ia bisa bebas bermain
lumpur dan aneka kegiatan outbond lainnya.
Selain
tentang kegiatannya di sekolah, kegiatan kami yang sudah kami nanti-nanti
juga gagal. Sebab niatnya besok pagi kami sekeluarga meluncur ke Malang,
untuk menjalankan ritual middle-class-wanna-be: liburan.
Sekolah
anak saya libur mulai Rabu besok sampai akhir pekan. Ini waktu cantik.
Sekolah-sekolah lainnya nggak libur, dan artinya jalanan di Malang-kota juara
macet nomor tiga se-Indonesia itu-tak akan sehoror yang ditakutkan. Ditambah
lagi untuk rencana trip kali ini sudah ada seorang teman baik yang menawarkan
kamar hotel miliknya di dekat Batu untuk kami inapi sepuasnya. Kurang apa,
coba?
Liburan
memang selalu kami tetapkan sebagai instrumen mahapenting untuk menjaga
kohesi sosial dalam lingkup kecil keluarga kami. Setiap tahun kami pasti
menjalankannya. Kadang kalau pas longgar kami pergi agak jauh cari tiket
promo dari gerobak udara yang Now Everyone Can Fly itu, atau kalau pas tidak
memungkinkan ya pakai gerobak darat pun tak jadi soal. Ini bukan lagi perkara
leissure, tapi sudah kebutuhan yang kami tetapkan secara primer.
Jadi,
kekecewaan kami atas gagalnya rencana liburan itu bisa-bisa lima atau tujuh
kali lipat lebih besar daripada kekecewaan Anda untuk jenis kegagalan yang
sama!
***
Di
tengah rasa bete karena gagal jalan-jalan, tiba-tiba datang malaikat yang
menjelma dalam wujud emak saya. "Yo uwis, dijupuk hikmahe wae. Ya sudah,
diambil hikmahnya saja." Dhuerr!
Hikmah?
Apa hikmahnya? Dari mana kami tahu kalau musibah kecil ini membawa hikmah?
"Iya
ding, Mak. Siapa tahu kalau kami jadi jalan, nanti anak wedok malah sakitnya
di perjalanan. Bisa lebih berabe." Saya menjawab emak saya sekadar untuk
ngasih semacam gong. Harapannya tentu agar dia sedikit percaya bahwa anak
lelakinya memiliki sejenis kualitas spiritual tertentu, kecanggihan yang
bersifat adimanusia dalam bidang menjumputi sari-sari hikmah.
Sudah
pasti Emak langsung manggut-manggut mengiyakan. "Oh, anakku memang arif
dan bijaksana," begitu mungkin yang tertanam di benaknya. Wajahnya
segera penuh rasa syukur, meski di bawah dagunya tidak serta-merta muncul
caption kutipan ayat "Maka nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?"
Padahal
saya pikir-pikir lagi, dari mana nongolnya dugaan bahwa penyakit anak saya
akan muncul di perjalanan kalau kami jadi bepergian? Dari mana datangnya
keyakinan bahwa memang lebih baik kami tetap tinggal di rumah, menyuapkan ke
mulut anak saya sirup parasetamol tiga kali sehari, menjejalkan dengan
setengah paksa bergelas-gelas jus guava dan bersendok-sendok sari kurma,
ketimbang jalan-jalan keliling Jatim Park, Secret Zoo, atau kopdar dengan
kawan-kawan Facebook di Universitas Brawijaya?
Ha
embuh. Tidak ada yang tahu. Anda tahu?
Rata-rata,
orang bicara tentang hikmah dengan mekanisme post-factum. Kita bisa
mengatakan "Nah kan, untung kita nggak jadi pergi. Tuh, nyatanya di
Jalan Anu tadi ada truk tangki solar meledak. Coba kalau kita jalan, boleh
jadi kita yang ikut hangus bersamanya. Alhamdulillah, sekarang kita tahu
hikmahnya."
Lihat,
metode pengambilan hikmah itu ditempuh dengan mencari-cari sesuatu selepas
kejadian, dalam hal itu adalah kejadian meledaknya truk solar. Dengan sedikit
cocoklogi dan taburan iman secukupnya, jadilah itu barang. Tapi sekali lagi,
itu selepas kejadian. Sementara, yang kasus saya ini beda. Asumsi hikmah yang
saya tawarkan kepada Emak terkait sakitnya anak saya ini tidak bisa
"dibuktikan" sama sekali meski secara post-factum sekalipun!
Namun,
ah, apa perlu sejauh itu saya merenung-renung? Mungkin ya memang tidak perlu.
Toh yang penting konsep hikmah tersebut bisa cukup menenteramkan, mengurangi
kekecewaan, menjadikan hidup kita terasa tak kurang suatu apa, dan membawa
hati kita merasa segalanya sempurna dan jauh lebih baik ketimbang sekadar
"baik-baik saja".
Adapun
tentang realitas yang sebenarnya, apakah sejatinya hidup kita beneran
baik-baik saja, dan apakah betul-betul kerugian kecil kita merupakan cara Tuhan
untuk menghindarkan kita dari kerugian yang lebih besar, itu pun hanya di
Hari Akhir nanti kita bisa membuktikannya.
Kalau
sudah begini, lantas adakah teori yang manfaat kemanusiaannya bisa
mengalahkan Teori Hikmah? Saya kok ragu.
***
Saya
mengetik paragraf-paragraf terakhir ini di rumah, bukan lagi di rumah sakit.
Anak saya akhirnya positif kena demam berdarah, dan harus opname. Ibunya
sekarang menjaganya, malam nanti giliran saya.
Di
depan meja kecil tempat saya mengetik ini ada dua buku baru. Keduanya
oleh-oleh dari sahabat saya Markaban Anwar, direktur Penerbit Insist Press,
yang kemarin sore mampir ke rumah. Buku pertama berjudul Sekolah Itu Candu,
buku klasik legendaris magnum opus-nya Pak Roem Topatimasang. Yang kedua
berjudul Berebut Makan: Politik Baru Pangan, karya Paul McMahon.
Memandang
kedua buku itu, sembari memikirkan ilmu hikmah dan segenap absurditasnya,
saya jadi teringat obrolan kemarin.
"Ini
buku Si Paul ini yang milih ya Pak Roem. Tahu sendiri kan, kalau pilihan Pak
Roem, sudah pasti buku bagus."
Saya
manggut-manggut menyimak Anwar. Pak Roem Topatimasang memang kondang mumpuni,
dan jelas perspektifnya dalam soal-soal ideologi.
"Jadi,
Paul ini kan semacam desertirnya FAO, lembaga pangannya PBB itu," Anwar
menambahkan. "Selepas minggat dari FAO, dia membocorkan ke publik
segudang data dari dapur lembaga itu. Intinya, 30% kebutuhan pangan dunia
sekarang ini yang menyuplai adalah Amerika. Padahal, petani di Amerika
sendiri cuma 3% dari jumlah penduduk. Ngeri, kan?"
Saya
bergidik. Betapa rapuhnya ketahanan pangan kita. Lihat tempe saja. Kita tiap
hari makan tempe, makanan yang so-called makanan asli Indonesia, tapi
kedelainya dari Amerika. Kalau dibikin mendoan, pakainya tepung terigu,
terigunya juga barangkali kiriman dari Amerika.
Bayangan
saya berlanjut. Jika entah sebab apa 3% petani Amerika itu ditahan oleh
pemerintah Amerika untuk membuat kita sakaw tempe, apa jadinya? Apa jadinya
ribuan warung angkringan yang menjadikan tempe sebagai komoditas andalannya
dalam menemani nasi sambal teri? Apa jadinya kaum mahasiswa jelata yang
menyandarkan nasib nyawanya kepada gerobak-gerobak angkringan dari Klaten,
selain kepada warung-warung burjo Putra Sunda?
Lalu
saya menatap ke luar. Ada rumah besar sedang dibangun, persis di depan rumah
saya. Pemiliknya barusan membeli tanah itu dari Mbah Widi, tetangga saya.
Ini
membuat hati saya terluka berbulan-bulan lamanya. Kenapa? Sebab sebelum rumah
itu mulai berdiri, saya bisa bebas memandangi hamparan sawah dengan latar
Gunung Merapi. Aduhai, ini indie mooi, kemewahan yang jarang-jarang
didapatkan bahkan oleh orang kaya Jakarta pemborong tanah di Jogja sekalipun.
Yang
lebih membuat saya sakit hati, ternyata belakangan saya sadar bahwa nenek
saya masih punya sepetak sawah yang rencananya kelak buat saya. Coba, kenapa
sawah itu tidak saya jual saja, lalu uang hasil penjualannya saya belikan
sepetak kecil di depan rumah saya? Dengan begitu, saya bisa menyelamatkan
Gunung Merapi, dan penampakannya bisa saya privatisasi dengan rakusnya setiap
pagi!
Terus
terang kepedihan karena gagal menyelamatkan tanah di depan saya itu berjalan
berlarut-larut. Hingga sore ini saya teringat percakapan dengan Markaban
Anwar, teringat Paul McMahon, dan teringat ancaman lenyapnya tempe dari
meja-meja makan kita.
Dari
situ tiba-tiba saya mensyukuri kegagalan dalam menyelamatkan Gunung Merapi.
Sebab kelak, sawah pemberian nenek saya itu akan saya tanami kedelai super.
Di saat kalian semua tak lagi bisa makan tempe, saya akan menikmatinya
sendirian dari hasil saya bertani. Lihat, hanya dengan buku Berebut Makan
yang belum saya baca satu kalimat pun di dalamnya, saya berhasil menemukan
hikmah agung dari kegagalan saya! Keren, kan?
Lalu
bagaimana dengan kalian yang tak lagi bisa makan tempe di Akhir Zaman nanti,
sementara saya di sini mengunyah mendoan dengan nikmat setiap hari? Jangan
khawatir, carilah hikmahnya sendiri-sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar