Melompat
Jadi Negara Maju
Indroyono Soesilo ; Perekayasa Utama Kehormatan,
Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT)
|
KOMPAS,
23 April
2018
“Rp 24.9 triliun anggaran penelitian
per tahun, mana hasilnya?” Demikian
pertanyaan Presiden Jokowi saat memberikan pengantar pada Sidang Kabinet
Paripurna, 9 April 2018.
Pertanyaan Presiden tadi langsung
ditindaklanjuti oleh Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan mengkaji
lembaga-lembaga litbang di kementerian/lembaga yang tidak memberikan
kontribusi untuk digabungkan, atau bahkan dihapuskan saja. Di lain pihak,
komunitas litbang di Tanah Air mengeluh atas kecilnya dana penelitian di
Indonesia yang hanya 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),
dibandingkan Malaysia 1,25 persen, China 2,0 persen, Singapura 2,20 persen,
Jerman 2,90 persen dan Amerika Serikat yang 2,75 persen dari PDB.
Belum lagi, kebijakan pemerintah
yang mengharuskan peneliti di jenjang Peneliti Madya untuk pensiun dini di
usia 58-60 tahun dari yang biasanya 65 tahun.
Bagi para peneliti dan perekayasa—yang telah menghabiskan sebagian
besar usia produktifnya di dunia iptek dan inovasi, ini benar-benar pukulan
telak dua kali, :”Sudah jatuh tertimpa tangga”. Tentu pertanyaannya: ”Di mana salahnya dan
harus mengadu ke siapa?”.
Pertama, sepertinya kita harus
sepakat dahulu bahwa apabila Indonesia akan menjadi kekuatan sepuluh besar
ekonomi dunia pada 2030, dan kekuatan empat besar dunia di 2045, maka
penopang utamanya adalah iptek dan inovasi. Pengalaman negara-negara di dunia
yang berhasil melompat dari kelompok negara berpendapatan menengah (middle
income countries) seperti Indonesia sekarang, menjadi negara maju, atau
developed countries, mereka mengandalkan iptek dan inovasi. Contohnya negara-negara di Asia Timur.
Bila tidak bisa melompat, maka
Indonesia akan terjerumus ke kubangan middle income trap, yaitu negara yang
pertumbuhan ekonominya biasa-biasa saja, yang hanya dipakai untuk konsumsi
saja, tidak untuk investasi lebih besar lagi, dan gagal menjadi negara
maju. Contohnya, negara-negara di
Amerika Latin.
Kelembagaan
dan SDM
Tentu kita sepakat akan pilihan
yang kita ambil. Lalu bagaimana? Perlu disiapkan kelembagaan dan sumber daya
manusia (SDM)-nya untuk menjawab tantangan iptek dan inovasi ini dengan
memerhatikan lingkungan strategis masa kini, termasuk era industri 4.0.
Pembangunan iptek dan inovasi di
Tanah Air melejit pada dekade 1980-an dan 1990-an, dilaksanakan secara rinci
dan terukur. Kala itu, Indonesia siap
“tinggal landas” menuju negara industri.
Apabila kita perhatikan,
karya-karya inovasi mutakhir anak bangsa seperti Pesawat N-219 Nurtanio,
Panser Anoa, Tank Kaplan, Kendaraan Taktis Komodo, kapal induk mini jenis Landing Platform
Dock (LPD) yang sudah di ekspor ke Filipina ataupun kapal perusak kawal
berpeluru kendali modern kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity
Approach), sebenarnya itu adalah sisa sisa kemampuan karya anak bangsa yang dibangun
di era 1990-an.
Artinya, saat ini modal
kelembagaan dan SDM unggul Indonesia telah tersedia. Sekarang tinggal merevitalisasi dan mengoptimalkan potensi yang sudah kita
miliki, bukan berarti harus menambah dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), melainkan lebih kepada kebijakan pemerintah yang bisa memicu
aliran dana non-APBN untuk kegiatan penelitian, pengembangan dan
inovasi. Ibaratnya, dengan anggaran Rp
24,9 triliun, para ilmuwan, insinyur dan peneliti Indonesia bisa berkarya dan
bisa menghasilkan produk seharga Rp 50
triliun, atau dua kalinya, baik itu karya ilmiah hulu, ataupun hasil-hasil
pengkajian dan penerapan teknologi di hilirnya. Di sinilah diperlukan seorang scientific
manager.
Dengan keanekaragaman hayati darat
dan laut Nusantara serta kekayaan sumber daya ilmiah non-hayati seperti
volkanologi, oseanografi, arkeologi, antropologi dan multikultural yang
dimiliki Indonesia, maka dengan sangat mudah Indonesia bisa bekerja sama
dengan mitra-mitra lembaga riset top di seluruh dunia tanpa harus menyediakan
biaya, tinggal mengatur kebijakannya saja. Misalnya: kerja sama riset harus
melibatkan ilmuwan Indonesia, karya ilmiah hasil riset harus diterbitkan di
jurnal internasional terakreditasi dan nama penulis pertamanya adalah nama
ilmuwan Indonesia, sedang nama penulis kedua dan seterusnya barulah nama
penulis mitra asing, sehingga apabila karya ilmiahnya disitir oleh ilmuwan
dunia, maka nama yang muncul adalah nama ilmuwan Indonesia.
Lalu, setiap data ilmiah yang
dihimpun dan dianalisis haruslah menghasilkan tesis master ataupun disertasi
doktor ilmuwan Indonesia. Apabila lembaga-lembaga Internasional tidak mau
mengikuti prasyarat yang dibuat oleh Indonesia tadi, maka kolaborasi riset
tidak perlu dilakukan.
Berdasarkan pengalaman,
mitra-mitra internasional mau berkolaborasi dengan pola seperti ini dan kita
akan menyaksikan ratusan karya ilmiah ilmuwan Indonesia yang muncul di
jurnal-jurnal internasional unggul dan disitir oleh banyak ahli dunia. Belum lagi, akan banyak lahir doktor-doktor
ilmu dasar orang Indonesia yang kelas dunia. Kesemuanya ini tidak harus
dengan menambah dana APBN. Untuk ini,
sekali lagi, diperlukan Scientific Manager.
Hilirisasi
riset
Lalu, bagaimana dengan hilirisasi
riset? Inilah yang ditanyakan Presiden
Jokowi: ”Hasilnya apa?” Perlu kita
bagi dua upaya hilirisasi riset. Yang pertama menyangkut upaya individual
peneliti dan perekayasa, serta kedua berkaitan dengan program nasional. Kita tahu bahwa setiap tahun ratusan karya
riset dan inovasi dihasilkan oleh para peneliti dan perekayasa.
Sebut saja beberapa: benih padi
unggul Inpari-42, IR-64, Janger, Logawa, ataupun benih ikan unggul Nila
Gesit, Nila GMT, Nila GMT dan Nila Larasati, ataupun kapsul obat dari rumput
laut yang dijamin halal, belum lagi magot dan ulat hasil pembiakan di sampah
organik untuk campuran pakan ikan, juga aspal siap sebar serta peralatan
mekanisasi pertanian produk anak bangsa, dan masih banyak lagi.
Pola hilirisasi hasil riset di
Balitbang Pertanian perlu di contoh dengan memasukkan hasil-hasil riset ke
dalam e-katalog LKPP dengan harga yang resmi dan pasti sehingga dapat dibeli
tanpa lelang. Keuntungannya dibagi 40 persen untuk sang peneliti, 20 persen
untuk pusat penelitiannya dan 20 persennya lagi untuk Balitbang Pertanian.
Dengan cara seperti ini,
Kementerian Pertanian bisa langsung membeli seribu traktor tangan karya anak
bangsa secara cepat dengan harga pasti dan tanpa lelang melalui e-katalog
LKPP ini. Di lain pihak, peneliti Balitbang Pertanian bisa terus berkarya
dengan dana cukup. Sedang sang
“scientific manager”, tinggal mengatur administrasi dan mempromosikannya.
Sekarang, bagaimana memasukkan
kemampuan riset dan inovasi anak bangsa ke dalam program-program nasional?
Saat ini terdapat 222 Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai Rp 4.100
triliun, mencakup pembangkit listrik, bandara, pelabuhan, irigasi, jalan tol,
kereta cepat, kereta ringan dan lain-lain.
Setiap proyek selalu ada tahapan studi kelayakan dan tahapan rancang-bangun
rincinya. Biasanya ini menyerap 2-5
persen biaya proyek, namun dampaknya bisa
hingga 80 persen dari nilai proyek.
Untuk mudahnya, biasanya kegiatan studi kelayakan dan rancang-bangun
diserahkan kepada pihak asing yang membawa dana dengan alasan ilmuwan dan
perekayasa Indonesia tidak mampu.
Celakanya, sesuai hasil studi
kelayakan tadi maka sebagian besar komponen proyek, hingga 80 persen, akhirnya didatangkan dari luar negeri,
karena Indonesia dinilai tidak mampu.
Memang, akhirnya kita berhasil membangun pembangkit listrik 35.000 MW,
misalnya, namun pabrik pembuat boiler seperti Barata dan Boma Bisma Indra
ataupun pembuat turbin listrik seperti Nusantara Turbine dan Pindad tidak
mendapatkan bagian dan tidak ada alih teknologi serta peningkatan nilai
tambah di dalam negeri.
Sebenarnya, inilah salah satu
peran badan litbang di kementerian yang amat penting, yaitu memberikan
rekomendasi dalam alih teknologi, pemberian nilai tambah dan peningkatan
kandungan lokal dalam suatu proyek di kementerian tersebut. Ada tiga contoh program nasional yang patut
diacungi jempol dalam alih teknologi, pemberian nilai tambah dan peningkatan
kandungan lokal.
Yang pertama, penggunaan Radar
ADS-B BPPT untuk sistem navigasi via satelit di 320-an bandara-bandara
Nusantara tanpa radar bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan
Airnav. Lalu, program kerja sama
Indonesia – Korea untuk pembangunan Kapal Induk Mini Landing Platform Dock
(LPD) di mana dua LPD di bangun di Korea melalui program alih teknologi dan
dua LPD lain sukses dibangun di Surabaya.
Kemudian, Indonesia maju bersaing dan menang tender Internasional
pembangunan dua LPD versi AL Filipina yang beralih nama menjadi Strategic
Sealift Vessel (SSV).
Yang ketiga, dalam pengadaan 11
unit pesawat tempur Sukhoi SU-35 TNI-AU sebesar 1,14 miliar dollar AS, yang
pembayarannya dibagi menjadi tiga pola, yaitu 570 juta dollar AS (50 persen)
dalam bentuk ekspor produk komoditas Indonesia ke Rusia, 35 persen dalam
bentuk offset sehingga Indonesia bisa mendapatkan kontrak untuk membuat
komponen-komponen Sukhoi dalam skema alih teknologi, sedang yang 15 persen
dalam bentuk tunai. Dengan pola seperti ini, PT Dirgantara Indonesia, yang
memang sudah memiliki kemampuan offset, bisa menikmati kue proyek 35 persen.
Masih banyak lagi program-program
nasional yang bisa melibatkan para ilmuwan, insinyur dan inovator Indonesia
ini dengan produk High Quality, Competitive
Cost dan On-time Delivery (QCD). Namun sekali lagi, nampaknya perlu
seorang scientific manager. Hanya dengan cara seperti ini Indonesia bisa
“melompat” menjadi negara maju dan lembaga – lembaga litbang bukanlah sebuah
lembaga yang “Sulit Berkembang”, ataupun “Pelit dan Sumbang”, namun menjadi
sebuah lembaga yang “Elit dan Membanggakan”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar