Jumat, 27 April 2018

Melompat Jadi Negara Maju
Indroyono Soesilo ;  Perekayasa Utama Kehormatan,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
                                                         KOMPAS, 23 April 2018



                                                           
“Rp 24.9 triliun anggaran penelitian per tahun, mana hasilnya?”  Demikian pertanyaan Presiden Jokowi saat memberikan pengantar pada Sidang Kabinet Paripurna, 9 April 2018.

Pertanyaan Presiden tadi langsung ditindaklanjuti oleh  Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dengan mengkaji lembaga-lembaga litbang di kementerian/lembaga yang tidak memberikan kontribusi untuk digabungkan, atau bahkan dihapuskan saja. Di lain pihak, komunitas litbang di Tanah Air mengeluh atas kecilnya dana penelitian di Indonesia yang hanya 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dibandingkan Malaysia 1,25 persen, China 2,0 persen, Singapura 2,20 persen, Jerman 2,90 persen dan Amerika Serikat yang 2,75 persen dari PDB.


Belum lagi, kebijakan pemerintah yang mengharuskan peneliti di jenjang Peneliti Madya untuk pensiun dini di usia 58-60 tahun dari yang biasanya 65 tahun.  Bagi para peneliti dan perekayasa—yang telah menghabiskan sebagian besar usia produktifnya di dunia iptek dan inovasi, ini benar-benar pukulan telak dua kali, :”Sudah jatuh tertimpa tangga”.  Tentu pertanyaannya: ”Di mana salahnya dan harus mengadu ke siapa?”.

Pertama, sepertinya kita harus sepakat dahulu bahwa apabila Indonesia akan menjadi kekuatan sepuluh besar ekonomi dunia pada 2030, dan kekuatan empat besar dunia di 2045, maka penopang utamanya adalah iptek dan inovasi. Pengalaman negara-negara di dunia yang berhasil melompat dari kelompok negara berpendapatan menengah (middle income countries) seperti Indonesia sekarang, menjadi negara maju, atau developed countries, mereka mengandalkan iptek dan inovasi. Contohnya  negara-negara di Asia Timur.

Bila tidak bisa melompat, maka Indonesia akan terjerumus ke kubangan middle income trap, yaitu negara yang pertumbuhan ekonominya biasa-biasa saja, yang hanya dipakai untuk konsumsi saja, tidak untuk investasi lebih besar lagi, dan gagal menjadi negara maju.  Contohnya, negara-negara di Amerika Latin.

Kelembagaan dan SDM

Tentu kita sepakat akan pilihan yang kita ambil. Lalu bagaimana? Perlu disiapkan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM)-nya untuk menjawab tantangan iptek dan inovasi ini dengan memerhatikan lingkungan strategis masa kini, termasuk era industri 4.0.

Pembangunan iptek dan inovasi di Tanah Air melejit pada dekade 1980-an dan 1990-an, dilaksanakan secara rinci dan terukur.  Kala itu, Indonesia siap “tinggal landas” menuju negara industri.

Apabila kita perhatikan, karya-karya inovasi mutakhir anak bangsa seperti Pesawat N-219 Nurtanio, Panser Anoa, Tank Kaplan, Kendaraan Taktis Komodo,  kapal induk mini jenis Landing Platform Dock (LPD) yang sudah di ekspor ke Filipina ataupun kapal perusak kawal berpeluru kendali modern kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach), sebenarnya itu adalah sisa sisa kemampuan karya anak bangsa yang dibangun di era 1990-an.

Artinya, saat ini modal kelembagaan dan SDM unggul Indonesia telah tersedia.  Sekarang tinggal merevitalisasi dan  mengoptimalkan potensi yang sudah kita miliki, bukan berarti harus menambah dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan lebih kepada kebijakan pemerintah yang bisa memicu aliran dana non-APBN untuk kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi.  Ibaratnya, dengan anggaran Rp 24,9 triliun, para ilmuwan, insinyur dan peneliti Indonesia bisa berkarya dan bisa menghasilkan produk  seharga Rp 50 triliun, atau dua kalinya, baik itu karya ilmiah hulu, ataupun hasil-hasil pengkajian dan penerapan teknologi di hilirnya.   Di sinilah diperlukan seorang scientific manager.

Dengan keanekaragaman hayati darat dan laut Nusantara serta kekayaan sumber daya ilmiah non-hayati seperti volkanologi, oseanografi, arkeologi, antropologi dan multikultural yang dimiliki Indonesia, maka dengan sangat mudah Indonesia bisa bekerja sama dengan mitra-mitra lembaga riset top di seluruh dunia tanpa harus menyediakan biaya, tinggal mengatur kebijakannya saja. Misalnya: kerja sama riset harus melibatkan ilmuwan Indonesia, karya ilmiah hasil riset harus diterbitkan di jurnal internasional terakreditasi dan nama penulis pertamanya adalah nama ilmuwan Indonesia, sedang nama penulis kedua dan seterusnya barulah nama penulis mitra asing, sehingga apabila karya ilmiahnya disitir oleh ilmuwan dunia, maka nama yang muncul adalah nama ilmuwan Indonesia.

Lalu, setiap data ilmiah yang dihimpun dan dianalisis haruslah menghasilkan tesis master ataupun disertasi doktor ilmuwan Indonesia. Apabila lembaga-lembaga Internasional tidak mau mengikuti prasyarat yang dibuat oleh Indonesia tadi, maka kolaborasi riset tidak perlu dilakukan.

Berdasarkan pengalaman, mitra-mitra internasional mau berkolaborasi dengan pola seperti ini dan kita akan menyaksikan ratusan karya ilmiah ilmuwan Indonesia yang muncul di jurnal-jurnal internasional unggul dan disitir oleh banyak ahli dunia.  Belum lagi, akan banyak lahir doktor-doktor ilmu dasar orang Indonesia yang kelas dunia. Kesemuanya ini tidak harus dengan menambah dana APBN.  Untuk ini, sekali lagi, diperlukan Scientific Manager.

Hilirisasi riset

Lalu, bagaimana dengan hilirisasi riset?  Inilah yang ditanyakan Presiden Jokowi: ”Hasilnya apa?”  Perlu kita bagi dua upaya hilirisasi riset. Yang pertama menyangkut upaya individual peneliti dan perekayasa, serta kedua berkaitan dengan program nasional.  Kita tahu bahwa setiap tahun ratusan karya riset dan inovasi dihasilkan oleh para peneliti dan perekayasa.

Sebut saja beberapa: benih padi unggul Inpari-42, IR-64, Janger, Logawa, ataupun benih ikan unggul Nila Gesit, Nila GMT, Nila GMT dan Nila Larasati, ataupun kapsul obat dari rumput laut yang dijamin halal, belum lagi magot dan ulat hasil pembiakan di sampah organik untuk campuran pakan ikan, juga aspal siap sebar serta peralatan mekanisasi pertanian produk anak bangsa, dan masih banyak lagi.

Pola hilirisasi hasil riset di Balitbang Pertanian perlu di contoh dengan memasukkan hasil-hasil riset ke dalam e-katalog LKPP dengan harga yang resmi dan pasti sehingga dapat dibeli tanpa lelang. Keuntungannya dibagi 40 persen untuk sang peneliti, 20 persen untuk pusat penelitiannya dan 20 persennya lagi untuk Balitbang Pertanian.

Dengan cara seperti ini, Kementerian Pertanian bisa langsung membeli seribu traktor tangan karya anak bangsa secara cepat dengan harga pasti dan tanpa lelang melalui e-katalog LKPP ini. Di lain pihak, peneliti Balitbang Pertanian bisa terus berkarya dengan dana cukup.  Sedang sang “scientific manager”, tinggal mengatur administrasi dan mempromosikannya.

Sekarang, bagaimana memasukkan kemampuan riset dan inovasi anak bangsa ke dalam program-program nasional? Saat ini terdapat 222 Proyek Strategis Nasional (PSN) senilai Rp 4.100 triliun, mencakup pembangkit listrik, bandara, pelabuhan, irigasi, jalan tol, kereta cepat, kereta ringan dan lain-lain.  Setiap proyek selalu ada tahapan studi kelayakan dan tahapan rancang-bangun rincinya.  Biasanya ini menyerap 2-5 persen biaya proyek, namun dampaknya bisa  hingga 80 persen dari nilai proyek.  Untuk mudahnya, biasanya kegiatan studi kelayakan dan rancang-bangun diserahkan kepada pihak asing yang membawa dana dengan alasan ilmuwan dan perekayasa Indonesia tidak mampu.

Celakanya, sesuai hasil studi kelayakan tadi maka sebagian besar komponen proyek, hingga 80 persen,  akhirnya didatangkan dari luar negeri, karena Indonesia dinilai tidak mampu.  Memang, akhirnya kita berhasil membangun pembangkit listrik 35.000 MW, misalnya, namun pabrik pembuat boiler seperti Barata dan Boma Bisma Indra ataupun pembuat turbin listrik seperti Nusantara Turbine dan Pindad tidak mendapatkan bagian dan tidak ada alih teknologi serta peningkatan nilai tambah di dalam negeri.

Sebenarnya, inilah salah satu peran badan litbang di kementerian yang amat penting, yaitu memberikan rekomendasi dalam alih teknologi, pemberian nilai tambah dan peningkatan kandungan lokal dalam suatu proyek di kementerian tersebut.  Ada tiga contoh program nasional yang patut diacungi jempol dalam alih teknologi, pemberian nilai tambah dan peningkatan kandungan lokal.

Yang pertama, penggunaan Radar ADS-B BPPT untuk sistem navigasi via satelit di 320-an bandara-bandara Nusantara tanpa radar bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan Airnav.  Lalu, program kerja sama Indonesia – Korea untuk pembangunan Kapal Induk Mini Landing Platform Dock (LPD) di mana dua LPD di bangun di Korea melalui program alih teknologi dan dua LPD lain sukses dibangun di Surabaya.  Kemudian, Indonesia maju bersaing dan menang tender Internasional pembangunan dua LPD versi AL Filipina yang beralih nama menjadi Strategic Sealift Vessel (SSV).

Yang ketiga, dalam pengadaan 11 unit pesawat tempur Sukhoi SU-35 TNI-AU sebesar 1,14 miliar dollar AS, yang pembayarannya dibagi menjadi tiga pola, yaitu 570 juta dollar AS (50 persen) dalam bentuk ekspor produk komoditas Indonesia ke Rusia, 35 persen dalam bentuk offset sehingga Indonesia bisa mendapatkan kontrak untuk membuat komponen-komponen Sukhoi dalam skema alih teknologi, sedang yang 15 persen dalam bentuk tunai. Dengan pola seperti ini, PT Dirgantara Indonesia, yang memang sudah memiliki kemampuan offset, bisa menikmati kue proyek 35 persen.

Masih banyak lagi program-program nasional yang bisa melibatkan para ilmuwan, insinyur dan inovator Indonesia ini dengan produk High Quality, Competitive  Cost dan On-time Delivery (QCD). Namun sekali lagi, nampaknya perlu seorang scientific manager. Hanya dengan cara seperti ini Indonesia bisa “melompat” menjadi negara maju dan lembaga – lembaga litbang bukanlah sebuah lembaga yang “Sulit Berkembang”, ataupun “Pelit dan Sumbang”, namun menjadi sebuah lembaga yang “Elit dan Membanggakan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar