Reorientasi
Otonomi Daerah
Cakra Arbas ; Dosen Pascasarjana UMSU PNS Pemkab Aceh Tamiang
|
MEDIA
INDONESIA, 24 April 2018
BERDASARKAN amanat Menteri Dalam
Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi Daerah XXII ialah
Mewujudkan Nawa Cita melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan
demokratis. Pemilihan tema dimaksud mengindikasikan bahwa otonomi daerah saat
ini sudah begitu banyak menyemai manfaat dan kebaikan bagi seluruh rakyat.
Bangsa Indonesia semakin dewasa
dalam menyadari bahwa cara utama yang paling efektif mewujudkan kesejahteraan
rakyat ialah melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan
demokratis. Pada kesempatan yang sama, memaknai penyelenggaraan otonomi
daerah yang bersih dan demokratis, antara lain meningkatkan kesadaran
kolektif tentang implementasi otonomi daerah dengan menjunjung aspek
kelembagaan, bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu.
Mewujudkan Nawa Cita sama artinya
dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat di setiap jengkal Tanah Air kita.
Mewujudkan kesejahteraan akan menjadi sebuah keniscayaan jika otonomi daerah
diselenggarakan secara akuntabel, transparan, berkepastian hukum, dan
partisipatif.
Tidak dapat dimungkiri selama 20
implementasi otonomi daerah, telah begitu banyak hal positif yang dirasakan
rakyat, baik pembangunan sarana maupun prasarana yang semakin menggeliat.
Juga menstimulasi proses pengambilan keputusan publik yang lebih partisipatif
serta demokratisasi mekanisme pemilihan kepala daerah.
Reorientasi
otonomi daerah
Belakangan ini mulai terdengar
nada sumbang yang diekspresikan rakyat daerah otonom sembari mengkritisi
otonomi daerah hanya berorientasi melahirkan berbagai 'raja kecil di daerah'.
Tidak dapat dihindari pada beberapa daerah tertentu, besarnya naluri untuk
menjadi raja kecil berdampak adanya konflik horizontal, baik dalam proses
demokrasi maupun berbagai upaya untuk melahirkan daerah-daerah otonom yang
baru.
Sudah saatnya perlu digagas
kembali tentang demokratisasi dari bentuk mekanisme pemilihan kepala daerah.
Setidak-tidaknya dengan merefleksikan falsafah hidup bangsa Indonesia yang
diabstraksikan founding fathers, sebagaimana yang terangkum melalui rumusan
sila ke-4 yang berbunyi 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan'.
Walaupun UUD RI Tahun 1945 melalui
pasal 1 (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar, rumusan norma berikutnya
mengetengahkan tentang otonomi daerah, khususnya melalui pasal 18 (4)
berbunyi 'gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala
pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis'.
Tentu benar bahwa tidak disebutkan
secara tegas tentang sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Namun,
dalam hal ini, kedaulatan rakyat ialah prinsipnya dan wujudnya adalah
demokrasi, sedangkan implementasinya dewasa ini menurut M Solly Lubis (2007)
dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu pertama, demokrasi yang mempunyai
sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung.
Menyelisik demokrasi Indonesia,
founding fathers menyebutkan demokrasi asli Indonesia setidak-tidaknya
terdiri atas beberapa unsur, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, dan hak
menyatakan protes. Dalam konteks politik, itu dilaksanakan melalui sistem
perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah dan berdasarkan kepentingan umum.
(Moh Hatta, 2002)
Khazanah demokrasi yang telah
disemai dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah sudah barang tentu
terdapat plus dan minus. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian apakah
selama ini lebih banyak sisi maslahatnya, atau jangan-jangan patut diduga
bahwa hanya berdampak mudarat bagi segenap tumpah darah rakyat daerah otonom?
Elok kiranya becermin kembali
dalam berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, di antaranya dapat
dianalisis berdasarkan; demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk
pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan,
yang memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda.
(Plato,2005).
Dengan demikian, lewat demokrasi,
dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan pemimpin akan memiliki kedudukan
yang egaliter. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui adanya rakyat yang
bertingkah laku mirip dengan pemimpin dan terdapat pula pemimpin yang
bertindak seperti rakyat.
Otonomi daerah seyogianya
dilaksanakan dalam wujud merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas
negara kesatuan sehingga kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan
pemerintah daerah secara total, sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan
adanya sinergitas pembangunan secara nasional. Tidak kalah pentingnya
me-review penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang bersinggungan
dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.'
Karena itu, dari berbagai hal yang
telah digapai, Mendagri mengutarakan masih banyak yang menjadi perhatian
bersama, yaitu pertama, integritas dan etika profesionalisme para pemimpin
daerah otonom dan aparatur penyelenggaraan pemerintahan, dengan mengedepankan
etos kerja dan gotong royong.
Kedua, reformasi birokrasi agar
terus dilakukan baik di bidang kelembagaan, peningkatan kapasitas aparatur,
serta akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, peningkatan kualitas
pelayanan publik, peningkatan pemberdayaan masyarakat, sekaligus peningkatan
daya saing perekonomian daerah.
Dengan demikian, semoga peringatan
hari otonomi daerah tidak hanya seremoni upacara belaka, tetapi juga momentum
reorientasi otonomi daerah dalam mengevaluasi, sudah sejauh mana
penyelenggaraan otonomi daerah bermuara kepada kesejahteraan rakyat di setiap
jengkal wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar