Jumat, 27 April 2018

Reorientasi Otonomi Daerah

Reorientasi Otonomi Daerah
Cakra Arbas ;  Dosen Pascasarjana UMSU PNS Pemkab Aceh Tamiang
                                              MEDIA INDONESIA, 24 April 2018



                                                           
BERDASARKAN amanat Menteri Dalam Negeri, tema yang disematkan pada peringatan Hari Otonomi Daerah XXII ialah Mewujudkan Nawa Cita melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis. Pemilihan tema dimaksud mengindikasikan bahwa otonomi daerah saat ini sudah begitu banyak menyemai manfaat dan kebaikan bagi seluruh rakyat.

Bangsa Indonesia semakin dewasa dalam menyadari bahwa cara utama yang paling efektif mewujudkan kesejahteraan rakyat ialah melalui penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis. Pada kesempatan yang sama, memaknai penyelenggaraan otonomi daerah yang bersih dan demokratis, antara lain meningkatkan kesadaran kolektif tentang implementasi otonomi daerah dengan menjunjung aspek kelembagaan, bukan atas kehendak seseorang atau kelompok tertentu.

Mewujudkan Nawa Cita sama artinya dengan mewujudkan kesejahteraan rakyat di setiap jengkal Tanah Air kita. Mewujudkan kesejahteraan akan menjadi sebuah keniscayaan jika otonomi daerah diselenggarakan secara akuntabel, transparan, berkepastian hukum, dan partisipatif.

Tidak dapat dimungkiri selama 20 implementasi otonomi daerah, telah begitu banyak hal positif yang dirasakan rakyat, baik pembangunan sarana maupun prasarana yang semakin menggeliat. Juga menstimulasi proses pengambilan keputusan publik yang lebih partisipatif serta demokratisasi mekanisme pemilihan kepala daerah.
  
Reorientasi otonomi daerah

Belakangan ini mulai terdengar nada sumbang yang diekspresikan rakyat daerah otonom sembari mengkritisi otonomi daerah hanya berorientasi melahirkan berbagai 'raja kecil di daerah'. Tidak dapat dihindari pada beberapa daerah tertentu, besarnya naluri untuk menjadi raja kecil berdampak adanya konflik horizontal, baik dalam proses demokrasi maupun berbagai upaya untuk melahirkan daerah-daerah otonom yang baru.

Sudah saatnya perlu digagas kembali tentang demokratisasi dari bentuk mekanisme pemilihan kepala daerah. Setidak-tidaknya dengan merefleksikan falsafah hidup bangsa Indonesia yang diabstraksikan founding fathers, sebagaimana yang terangkum melalui rumusan sila ke-4 yang berbunyi 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'.

Walaupun UUD RI Tahun 1945 melalui pasal 1 (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar, rumusan norma berikutnya mengetengahkan tentang otonomi daerah, khususnya melalui pasal 18 (4) berbunyi 'gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis'.

Tentu benar bahwa tidak disebutkan secara tegas tentang sistem demokrasi dalam pemilihan kepala daerah. Namun, dalam hal ini, kedaulatan rakyat ialah prinsipnya dan wujudnya adalah demokrasi, sedangkan implementasinya dewasa ini menurut M Solly Lubis (2007) dapat direalisasikan dalam dua tahap, yaitu pertama, demokrasi yang mempunyai sifat langsung. Kedua, demokrasi yang mempunyai sifat tidak langsung.

Menyelisik demokrasi Indonesia, founding fathers menyebutkan demokrasi asli Indonesia setidak-tidaknya terdiri atas beberapa unsur, yaitu rapat, mufakat, gotong royong, dan hak menyatakan protes. Dalam konteks politik, itu dilaksanakan melalui sistem perwakilan rakyat dengan konsep musyawarah dan berdasarkan kepentingan umum. (Moh Hatta, 2002)

Khazanah demokrasi yang telah disemai dalam berbagai kontestasi pemilihan kepala daerah sudah barang tentu terdapat plus dan minus. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian apakah selama ini lebih banyak sisi maslahatnya, atau jangan-jangan patut diduga bahwa hanya berdampak mudarat bagi segenap tumpah darah rakyat daerah otonom?

Elok kiranya becermin kembali dalam berbagai buah pemikiran Plato mengenai demokrasi, di antaranya dapat dianalisis berdasarkan; demokrasi dikategorikan sebagai suatu bentuk pemerintahan yang paling menarik, penuh dengan keanekaragaman dan kekacauan, yang memberikan kesamaan derajat pada setiap individu yang berbeda. (Plato,2005).

Dengan demikian, lewat demokrasi, dapat terlihat bahwa antara rakyat biasa dan pemimpin akan memiliki kedudukan yang egaliter. Oleh karena itu, tidak jarang ditemui adanya rakyat yang bertingkah laku mirip dengan pemimpin dan terdapat pula pemimpin yang bertindak seperti rakyat.

Otonomi daerah seyogianya dilaksanakan dalam wujud merepresentasikan daerah otonom sebagai entitas negara kesatuan sehingga kepentingan pemerintah pusat dapat dijabarkan pemerintah daerah secara total, sekaligus dapat terwujud keterpaduan dan adanya sinergitas pembangunan secara nasional. Tidak kalah pentingnya me-review penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya yang bersinggungan dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.'

Karena itu, dari berbagai hal yang telah digapai, Mendagri mengutarakan masih banyak yang menjadi perhatian bersama, yaitu pertama, integritas dan etika profesionalisme para pemimpin daerah otonom dan aparatur penyelenggaraan pemerintahan, dengan mengedepankan etos kerja dan gotong royong.

Kedua, reformasi birokrasi agar terus dilakukan baik di bidang kelembagaan, peningkatan kapasitas aparatur, serta akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Ketiga, peningkatan kualitas pelayanan publik, peningkatan pemberdayaan masyarakat, sekaligus peningkatan daya saing perekonomian daerah.

Dengan demikian, semoga peringatan hari otonomi daerah tidak hanya seremoni upacara belaka, tetapi juga momentum reorientasi otonomi daerah dalam mengevaluasi, sudah sejauh mana penyelenggaraan otonomi daerah bermuara kepada kesejahteraan rakyat di setiap jengkal wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar