Adil
Sejak Dalam Pikiran
Irvan Sihombing ; Wartawan Media Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 20 April 2018
Kenapa kaum intelektual sulit
akomodatif dan cenderung beroposisi terhadap penguasa? Peletak dasar teori
kritis di bidang poskolonialisme Edward W Said (1935-2003) punya jawaban atas
pertanyaan itu dalam buku Peran Intelektual yang terbit di Indonesia pada
1998.
Menurut dia, seorang intelektual
sebagai pencipta sebuah bahasa punya kewajiban mengatakan apa yang
dianggapnya benar, tidak peduli itu sesuai atau bertentangan dengan
pikiran-pikiran penguasa. "Intellectuals are people saying truth to
those in power."
Said sangat antipati bila golongan
cerdik pandai malah menjadi boneka kaum penguasa. Ia pun menganggap kaum
intelektual akan berdosa besar bila bungkam terhadap penguasa yang seharusnya
dikritik.
Pentingnya kaum intelektual
bersikap kritis juga pernah dibedah oleh Filsuf Julien Benda (1867-1956)
dalam karyanya Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (La Trahison des Clercs). Benda menuding rezim otoriter seperti
Hitler lahir akibat cendekiawan mengamini logika massa.
Said dan Benda sama-sama menaruh
harapan besar terhadap kaum cerdas, berakal, dan berpikiran jernih
berdasarkan ilmu pengetahuan. Oleh karena pijakannya ialah akal maka ucapan
yang dikeluarkan cendekiawan haruslah lurus, efektif, dan tentunya bermutu,
bukan malah dangkal.
Akan tetapi, baru-baru ini ada
cendekiawan yang menuding Presiden Jokowi telah melanggar aturan estetika
saat mengendarai motor Chopper hanya karena bobot tubuh Presiden kurang dari
90 kilogram.
Obyektivitas seseorang yang
katanya filsuf itu menjadi diragukan karena yang ia persoalkan sudah melebar
ke mana-mana. Ia tidak lagi mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa yang
melenceng tetapi fisik seorang presiden.
Lagipula apakah memang ada aturan
estetika bagi seseorang untuk mengendarai Chopper? Jika ada, apakah aturan
tersebut dibuat oleh pihak yang berkompeten atau sekadar klaim pribadi yang
bersifat manasuka?
Apabila aturan estetika tersebut
ternyata hanya buatan sendiri dan bersifat arbitrer, patut diduga motivasi
sang pengucap cuma untuk mengolok-olok Presiden Jokowi. Hal ini jelas berbeda
dengan upaya menyuarakan kebenaran terhadap penguasa seperti yang diidealkan
Edward W Said.
Bukankah seorang cendekiawan
seharusnya bisa membedakan antara kritik dan menghina? Kaum intelektual tidak
asal mengumbar pernyataan sinis dan bersifat mengejek terhadap penguasa.
Ada banyak kebijakan Jokowi yang
bisa kita kritik. Misalnya soal terkatung-katungnya penuntasan kasus
pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pemerintah juga perlu dikritik soal kasus
megakorupsi yang lamban diungkap oleh aparat penegak hukum. Belum lagi
persoalan harga-harga kebutuhan pokok yang semakin membumbung tinggi.
Hal-hal seperti itulah yang
harusnya kita suarakan, kalau perlu terus didengungkan hingga beresonansi dan
mempengaruhi kebijakan publik. Jika hanya menghina fisik lawan bahkan saat
lawan tidak ada di depan mata, itu jelas bukan perilaku cerdik pandai yang
punya kewajiban moral untuk bertindak adil.
Sastrawan besar Pramoedya Ananta
Toer (1925-2006) bilang seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak
dalam pikiran apalagi dalam perbuatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar