Jumat, 27 April 2018

Angkringan dan Wong Cilik

Angkringan dan Wong Cilik
Heri Priyatmoko ;  Pengajar Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta; Penulis Buku Sejarah Wisata Kuliner Solo
                                                         KOMPAS, 23 April 2018



                                                           
Saat Presiden Joko Widodo menikahkan buah hatinya, Kahiyang Ayu, ribuan tamu membanjiri Kota Solo. Mumpung menginjakkan kaki di ”Kota Bengawan”, sebagian dari mereka nongkrong di angkringan atau hik seraya mencecap suasana malam di kampung halaman sang Presiden. Angkringan, warung tenda yang biasa buka malam hari dan menjual pelbagai cemilan atau makanan kecil di wilayah Surakarta, kian hari kian menjamur. Bahkan hingga ke beberapa kota Indonesia.

Angkringan atau wedangan (meski kata itu menunjukkan aktivitas atau kata kerja, bukan benda) tidak boleh dipandang remeh, seremeh sego kucing (bungkusan nasih segenggam dengan sedikit tambahan, seperti ikan asin) yang merupakan ciri khas angkringan. Di Solo sendiri, masyarakat setempat lebih mengenal pedagang tersebut dengan istilah ”hik” tinimbang angkringan.

Jika dilihat dari sumber pustaka lama, seperti koran Djawi Hiswara edisi 28 Januari 1918, terminologi angkringan sebenarnya muncul lebih duluan. Dalam riset di Perpusnas Jakarta, tersurat berita kriminal dalam berita berjudul ”Maling Yang Lucu Tertangkap”, di koran tersebut. Diceritakan pada Jumat malam menjelang Sabtu, di Kampung Baladan, Kauman, dekat jalan raya Slompretan, terjadi sebuah peristiwa. Beberapa warga mengejar seorang pencuri bernama Pak Jugil. Penjahat ini masuk Kampung Carikan dan menghilang ditelan kegelapan. Yang mengejar bertambah banyak dan berusaha memburu dengan membawa alat penerangan, sebab waktu itu sudah hampir subuh dan langit gulita.

Salah seorang warga iseng-iseng menengok angkring (keranjang pikulan untuk mewadahi penganan dan air kopi) yang tergeletak di samping jalan, yang belum diangkat pemiliknya untuk berjualan keliling seperti biasanya. Tiba-tiba, astaga! Pak Jugil yang dikejar tadi sedang bersembunyi meringkuk tidak bergerak dalam keranjang dengan membawa karung berisi barang curiannya. Riwayat sang maling pun berakhir dengan kondisi menggelikan.

Kata angkring dalam berita lama itu ditulis dengan huruf miring (kursif) yang menandakan ia memang merupakan kosakata baru, setidaknya bagi pembaca koran bersangkutan. Saat itu, sebelum beralih memakai gerobak dan mangkal di bibir jalan, angkringan dibawa penjualnya dengan dipikul dan keluar-masuk kampung menyapa pembeli sebagaimana disinggung sepintas oleh mantan petinggi onderdistrik Sragen, RMNg Tiknopranoto (1976): ”Wongdodol wedang angkringan kang diiderake”, seseorang menjual minuman angkringan dengan cara berkeliling.

Dengan penjelasan di atas, jelas angkringan yang kita kenal sekarang sudah hadir dan dikenal sejak awal abad ke-20. Keliru bila sebagian kalangan menafsirkan istilah tersebut berasal dari kata nangkring,semacam posisi duduk di kursi panjang di depan gerobak, tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki berayun sembari nglaras (santai).

Perjuangan wong cilik

Sepotong pertanyaan yang penting untuk diajukan, bagaimana kemudian istilah ”hik” lahir? Merujuk ”buku putih” 50 Tahun Kota Surakarta terbitan Pemkot Solo dan majalah Reuni Atletik 3 Jaman tahun 1980, riwayat hik diulas masih secara abu-abu dengan menyertakan kata ”konon”. Dipaparkan, wong Solo menempeli nama ”hik” bagi penjaja makanan pikulan yang di sisi kiri memuat aneka makanan rebus dan di sebelah kanan berisi sejenis minuman dari santan kelapa bernama bandrek.

Secara kebetulan para penjual minuman bandrek dan rebusan ini menjajakan dagangannya dengan cara meneriakkan kata: ”Hiiik… Hiiik!”. Konon, penjaja makanan ini dulu keliling kampung dengan cara membisu, tanpa meneriakkan apa-apa. Tatkala orang Solo memanggil penjaja, tersebutlah ungkapan ”Hiik, hik…”. Panggilan itu kemudian populer menjadi istilah untuk pedagangnya, hingga kini.

Angkringan sendiri juga memiliki makna semacam potret apik sejarah wong cilik dalam bertahan hidup di kota. Peluang mengais rezeki yang bertebaran di waktu malam di wilayah kota, ditubruk wong cilik, kelas yang kurang beruntung di dunia pendidikan dan kesulitan menembus pasar ekonomi besar yang dikuasai juragan.

Mereka rata-rata berasal dari pinggiran Surakarta khususnya Klaten, sebuah kawasan yang dijepit dua kerajaan: Yogyakarta dan Solo. Nglembara mencoba peruntungan dengan menjajakan makanan ringan. Melayani kebutuhan perut penghuni kota yang melilit sepulang menikmati pertunjukan tengah malam. Atau sekadar meladeni warga yang gemar nglayab di malam hari.

Bagaimanapun, angkringan, kehidupan malam, dan ruang perkotaan merupakan untaian kisah yang tak gampang diceraikan dari album sejarah sosial. Tiga elemen saling bertautan membentuk gugusan sejarah kecil yang pantas dilongok dan ditimbang peranannya. Akhirnya, soal sebutan, apakah memilih angkringan atau hik? Keduanya tidak masalah, keduanya sudah akrab di telinga kita. Yang utama ialah kehangatan yang timbul dan membuat malam serta sepi tidak menggigit lagi. Perasaan yang bagi negeri ini, Indonesia, membutuhkan angkringannya yang tersendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar