Angkringan
dan Wong Cilik
Heri Priyatmoko ; Pengajar Sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta;
Penulis Buku Sejarah Wisata Kuliner Solo
|
KOMPAS,
23 April
2018
Saat Presiden Joko Widodo
menikahkan buah hatinya, Kahiyang Ayu, ribuan tamu membanjiri Kota Solo.
Mumpung menginjakkan kaki di ”Kota Bengawan”, sebagian dari mereka nongkrong
di angkringan atau hik seraya mencecap suasana malam di kampung halaman sang
Presiden. Angkringan, warung tenda yang biasa buka malam hari dan menjual
pelbagai cemilan atau makanan kecil di wilayah Surakarta, kian hari kian
menjamur. Bahkan hingga ke beberapa kota Indonesia.
Angkringan atau wedangan (meski
kata itu menunjukkan aktivitas atau kata kerja, bukan benda) tidak boleh
dipandang remeh, seremeh sego kucing (bungkusan nasih segenggam dengan
sedikit tambahan, seperti ikan asin) yang merupakan ciri khas angkringan. Di
Solo sendiri, masyarakat setempat lebih mengenal pedagang tersebut dengan istilah
”hik” tinimbang angkringan.
Jika dilihat dari sumber pustaka
lama, seperti koran Djawi Hiswara edisi 28 Januari 1918, terminologi
angkringan sebenarnya muncul lebih duluan. Dalam riset di Perpusnas Jakarta,
tersurat berita kriminal dalam berita berjudul ”Maling Yang Lucu Tertangkap”,
di koran tersebut. Diceritakan pada Jumat malam menjelang Sabtu, di Kampung
Baladan, Kauman, dekat jalan raya Slompretan, terjadi sebuah peristiwa.
Beberapa warga mengejar seorang pencuri bernama Pak Jugil. Penjahat ini masuk
Kampung Carikan dan menghilang ditelan kegelapan. Yang mengejar bertambah
banyak dan berusaha memburu dengan membawa alat penerangan, sebab waktu itu
sudah hampir subuh dan langit gulita.
Salah seorang warga iseng-iseng
menengok angkring (keranjang pikulan untuk mewadahi penganan dan air kopi)
yang tergeletak di samping jalan, yang belum diangkat pemiliknya untuk
berjualan keliling seperti biasanya. Tiba-tiba, astaga! Pak Jugil yang
dikejar tadi sedang bersembunyi meringkuk tidak bergerak dalam keranjang
dengan membawa karung berisi barang curiannya. Riwayat sang maling pun
berakhir dengan kondisi menggelikan.
Kata angkring dalam berita lama
itu ditulis dengan huruf miring (kursif) yang menandakan ia memang merupakan
kosakata baru, setidaknya bagi pembaca koran bersangkutan. Saat itu, sebelum
beralih memakai gerobak dan mangkal di bibir jalan, angkringan dibawa
penjualnya dengan dipikul dan keluar-masuk kampung menyapa pembeli
sebagaimana disinggung sepintas oleh mantan petinggi onderdistrik Sragen, RMNg
Tiknopranoto (1976): ”Wongdodol wedang angkringan kang diiderake”, seseorang
menjual minuman angkringan dengan cara berkeliling.
Dengan penjelasan di atas, jelas
angkringan yang kita kenal sekarang sudah hadir dan dikenal sejak awal abad
ke-20. Keliru bila sebagian kalangan menafsirkan istilah tersebut berasal
dari kata nangkring,semacam posisi duduk di kursi panjang di depan gerobak,
tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki berayun sembari nglaras
(santai).
Perjuangan
wong cilik
Sepotong pertanyaan yang penting
untuk diajukan, bagaimana kemudian istilah ”hik” lahir? Merujuk ”buku putih”
50 Tahun Kota Surakarta terbitan Pemkot Solo dan majalah Reuni Atletik 3
Jaman tahun 1980, riwayat hik diulas masih secara abu-abu dengan menyertakan
kata ”konon”. Dipaparkan, wong Solo menempeli nama ”hik” bagi penjaja makanan
pikulan yang di sisi kiri memuat aneka makanan rebus dan di sebelah kanan
berisi sejenis minuman dari santan kelapa bernama bandrek.
Secara kebetulan para penjual
minuman bandrek dan rebusan ini menjajakan dagangannya dengan cara
meneriakkan kata: ”Hiiik… Hiiik!”. Konon, penjaja makanan ini dulu keliling
kampung dengan cara membisu, tanpa meneriakkan apa-apa. Tatkala orang Solo
memanggil penjaja, tersebutlah ungkapan ”Hiik, hik…”. Panggilan itu kemudian
populer menjadi istilah untuk pedagangnya, hingga kini.
Angkringan sendiri juga memiliki
makna semacam potret apik sejarah wong cilik dalam bertahan hidup di kota.
Peluang mengais rezeki yang bertebaran di waktu malam di wilayah kota, ditubruk
wong cilik, kelas yang kurang beruntung di dunia pendidikan dan kesulitan
menembus pasar ekonomi besar yang dikuasai juragan.
Mereka rata-rata berasal dari
pinggiran Surakarta khususnya Klaten, sebuah kawasan yang dijepit dua
kerajaan: Yogyakarta dan Solo. Nglembara mencoba peruntungan dengan
menjajakan makanan ringan. Melayani kebutuhan perut penghuni kota yang
melilit sepulang menikmati pertunjukan tengah malam. Atau sekadar meladeni
warga yang gemar nglayab di malam hari.
Bagaimanapun, angkringan,
kehidupan malam, dan ruang perkotaan merupakan untaian kisah yang tak gampang
diceraikan dari album sejarah sosial. Tiga elemen saling bertautan membentuk
gugusan sejarah kecil yang pantas dilongok dan ditimbang peranannya.
Akhirnya, soal sebutan, apakah memilih angkringan atau hik? Keduanya tidak
masalah, keduanya sudah akrab di telinga kita. Yang utama ialah kehangatan
yang timbul dan membuat malam serta sepi tidak menggigit lagi. Perasaan yang
bagi negeri ini, Indonesia, membutuhkan angkringannya yang tersendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar