Sabtu, 28 April 2018

Menjinakkan Dolar

Menjinakkan Dolar
Haryo Kuncoro ;  Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta
                                              MEDIA INDONESIA, 27 April 2018



                                                           
PASAR finansial global terus bergejolak belakangan ini. Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS), per Maret 2018, memantik spekulasi kuat akan rentetan kenaikan fed fund rate (FFR) tiga kali lagi sepanjang tahun ini.  Tendensi ini disikapi para pelaku pasar melepas aset berdenominasi nondolar AS. Akibatnya, hampir semua mata uang dunia mengalami tekanan, termasuk rupiah. Sejak awal April (month to date), nilai tukar rupiah melemah 0,91%, yang lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain.

Komparasi dengan spektrum waktu yang lebih panjang agaknya tidak mengubah simpulan. Sejak awal 2018 (year to date) rupiah melemah 2,35% hingga nyaris Rp13.999 per dolar AS, tetapi lebih rendah daripada pelemahan mata uang lain, seperti real Brasil 3,06%, rupee India 3,92%, peso Filipina 4,46%, dan lira Turki 7,17%.

Lebih dangkalnya depresiasi rupiah relatif terhadap negara peer menimbulkan pertanyaan seberapa kuat upaya stabilisasi BI berupa intervensi di pasar valuta asing mampu menopang kekuatan nilai rupiah. Indikator makroekonomi yang terus membaik semestinya membuat rupiah lebih kuat terhadap tekanan eksternal.

Kekuatan mata uang domestik terhadap mata uang asing dalam perspektif teoretis dapat dijelaskan dari paritas daya beli (purchasing power parity). Pandangan ini menegaskan nilai tukar ialah cerminan dari perbedaan daya beli mata uang di kedua negara. Konsep dasarnya, suatu barang mestinya mempunyai harga yang sama di mana pun.

Daya beli uang terhadap banyak komoditas direpresentasikan indeks harga konsumen. Kenaikan relatif indeks harga konsumen dikenal sebagai laju inflasi. Oleh karena itu, paradigma ini memberikan resep nilai tukar akan stabil jika laju inflasi di setiap negara terkendali. Pendekatan paritas daya beli secara implisit mengasumsikan uang semata-mata sebagai alat tukar (medium of exchange). Pelaku ekonomi seakan hanya memiliki dua alternatif aset, pegang uang tunai atau barang. Faktanya, uang bisa dipakai sebagai media spekulasi untuk mendapatkan imbal hasil (return).

Pertimbangannya, jika pegang uang tunai, pelaku ekonomi akan liquid untuk bertransaksi barang/jasa. Namun, memegang uang cash tidak memberikan imbal hasil daripada jika disimpan di perbankan, misalnya. Artinya, suku bunga (domestik dan luar negeri) menjadi determinan penting dalam menentukan nilai tukar.

Imbal hasil perbankan merujuk pada suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral. Perbedaan suku bunga lintas negara disebut suku bunga diferensial. Oleh karena itu, pendekatan kedua ini menyarankan nilai tukar akan stabil jika selisih suku bunga antarnegara dijaga dalam rentang yang kukuh.

Beranjak dari tesis sini, kenaikan FFR tanpa diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-day reverse repo rate (7DRRR) niscaya akan memperbesar suku bunga diferensial sehingga dana akan mengalir ke AS. Akibatnya, pembelian dolar meningkat sehingga kembali mendepresiasi rupiah.

Kedua teori itu dalam taraf tertentu mampu menjelaskan perilaku nilai tukar rupiah meski kurang memuaskan. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir The Fed sudah menaikkan FFR lima kali. Sementara itu, BI malah menurunkan suku bunga acuan delapan kali. Artinya, proposisi suku bunga diferensial tidak kesampaian.

Persoalan kian kompleks saat ketiganya berinteraksi. Secara normatif, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil sehingga nilai tukar juga akan ‘tenang’. Dengan alur ini, laju inflasi seharusnya sebanding dengan depresiasi. Faktanya, laju depresiasi (2,35%) lebih tinggi daripada inflasi (0,99%), pun di saat 7DRRR lama tidak berubah.

Kondisi semacam ini berakibat BI kesulitan dalam menentukan besaran suku bunga acuan. Celakanya lagi, angka inflasi yang ditargetkan 3,5% pada tahun ini akan diganggu gejolak internal berupa fluktuasi harga barang yang diatur pemerintah (administered price) dan harga pangan yang bergejolak (volatile prices).

Orientasi ke luar kebetulan juga terhalang oleh perang dagang AS dengan Tiongkok. Artinya, lalu lintas barang/jasa yang menjadi landasan berpijak dalam menentukan nilai tukar bisa seret. Seretnya lalu lintas barang/jasa membuat nilai tukar tidak mencerminkan kinerja perekonomian yang sesungguhnya.

Kegagalan kedua pendekatan sebelumnya memaksa perluasan kajian menuju pendekatan portofolio. Dasar pemikirannya, imbal hasil tidak hanya ditawarkan suku bunga, tetapi perbankan juga yield yang dipasok aset finansial lain, berupa surat berharga, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Dengan kerangka ini, pelaku ekonomi senantiasa aktif menyubstitusi kekayaannya antara uang tunai, barang, simpanan di bank, dan surat berharga. Oleh karena itu, setiap ada gejolak di satu pasar imbasnya akan cepat merambat ke segmen pasar yang lain. Fluktuasi harga saham dan emas pada saat kurs bergejolak ialah contoh konkretnya.

Alhasil, pasar keuangan terintegrasi antara segmen satu dengan yang lain baik intranegara maupun lintas negara. Kondisi ini membuat kebijakan moneter bank sentral senantiasa kesulitan meredam setiap gejolak yang ada di pasar keuangan entah dari segmen/negara mana asal gejolak bermula.

Dengan konfigurasi problematika di atas, kebijakan moneter BI yang ketat dalam bentuk kenaikan 7DRRR menjadi opsi kebijakan yang layak bagi Indonesia yang berstatus perekonomian kecil yang terbuka (small open economy) tatkala kebijakan moneter negara leader sudah menaikkan suku bunga acuan.

Tanpa memasukkan opsi kenaikan 7DRRR, BI mau tidak mau harus intervensi untuk menjinakkan dolar. Pilihan ini kendati efektif, hanya sesaat dan berbiaya mahal. Lagi pula, cadangan devisa yang dipegang BI relatif kecil untuk ukuran pasar valuta asing sehingga keberlanjutannya masih bisa dipertanyakan.

Agaknya BI perlu berkaca dari pengalaman negara lain yang mengadopsi ‘ketat’ dalam menjaga suku bunga acuan dalam praktiknya ‘fleksibel’ terhadap nilai tukar. Frekuensi intervensi di pasar valuta asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap pergerakan nilai tukar riil.

Solusi yang lebih kompromistis ialah sistem pengendalian devisa, khususnya aliran hot money yang dominan di pasar uang. Regulasi parsial perlu dikenakan pada capital flow agar dana portofolio asing tidak keluar/masuk begitu saja tanpa memberikan kontribusi yang signifikan bagi stabilitas nilai tukar rupiah. Mau pilih yang mana BI?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar