Menjinakkan
Dolar
Haryo Kuncoro ; Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational
Business Institute) Jakarta; Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Jakarta;
Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 April 2018
PASAR finansial global terus
bergejolak belakangan ini. Kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS),
per Maret 2018, memantik spekulasi kuat akan rentetan kenaikan fed fund rate (FFR)
tiga kali lagi sepanjang tahun ini.
Tendensi ini disikapi para pelaku pasar melepas aset berdenominasi
nondolar AS. Akibatnya, hampir semua mata uang dunia mengalami tekanan,
termasuk rupiah. Sejak awal April (month to date), nilai tukar rupiah melemah
0,91%, yang lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging
market lain.
Komparasi dengan spektrum waktu
yang lebih panjang agaknya tidak mengubah simpulan. Sejak awal 2018 (year to
date) rupiah melemah 2,35% hingga nyaris Rp13.999 per dolar AS, tetapi lebih
rendah daripada pelemahan mata uang lain, seperti real Brasil 3,06%, rupee
India 3,92%, peso Filipina 4,46%, dan lira Turki 7,17%.
Lebih dangkalnya depresiasi rupiah
relatif terhadap negara peer menimbulkan pertanyaan seberapa kuat upaya
stabilisasi BI berupa intervensi di pasar valuta asing mampu menopang
kekuatan nilai rupiah. Indikator makroekonomi yang terus membaik semestinya
membuat rupiah lebih kuat terhadap tekanan eksternal.
Kekuatan mata uang domestik
terhadap mata uang asing dalam perspektif teoretis dapat dijelaskan dari
paritas daya beli (purchasing power parity). Pandangan ini menegaskan nilai
tukar ialah cerminan dari perbedaan daya beli mata uang di kedua negara.
Konsep dasarnya, suatu barang mestinya mempunyai harga yang sama di mana pun.
Daya beli uang terhadap banyak
komoditas direpresentasikan indeks harga konsumen. Kenaikan relatif indeks
harga konsumen dikenal sebagai laju inflasi. Oleh karena itu, paradigma ini
memberikan resep nilai tukar akan stabil jika laju inflasi di setiap negara
terkendali. Pendekatan paritas daya beli secara implisit mengasumsikan uang
semata-mata sebagai alat tukar (medium of exchange). Pelaku ekonomi seakan
hanya memiliki dua alternatif aset, pegang uang tunai atau barang. Faktanya,
uang bisa dipakai sebagai media spekulasi untuk mendapatkan imbal hasil
(return).
Pertimbangannya, jika pegang uang
tunai, pelaku ekonomi akan liquid untuk bertransaksi barang/jasa. Namun,
memegang uang cash tidak memberikan imbal hasil daripada jika disimpan di
perbankan, misalnya. Artinya, suku bunga (domestik dan luar negeri) menjadi
determinan penting dalam menentukan nilai tukar.
Imbal hasil perbankan merujuk pada
suku bunga acuan yang ditetapkan bank sentral. Perbedaan suku bunga lintas
negara disebut suku bunga diferensial. Oleh karena itu, pendekatan kedua ini
menyarankan nilai tukar akan stabil jika selisih suku bunga antarnegara
dijaga dalam rentang yang kukuh.
Beranjak dari tesis sini, kenaikan
FFR tanpa diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-day
reverse repo rate (7DRRR) niscaya akan memperbesar suku bunga diferensial
sehingga dana akan mengalir ke AS. Akibatnya, pembelian dolar meningkat
sehingga kembali mendepresiasi rupiah.
Kedua teori itu dalam taraf
tertentu mampu menjelaskan perilaku nilai tukar rupiah meski kurang
memuaskan. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir The Fed sudah menaikkan FFR
lima kali. Sementara itu, BI malah menurunkan suku bunga acuan delapan kali.
Artinya, proposisi suku bunga diferensial tidak kesampaian.
Persoalan kian kompleks saat
ketiganya berinteraksi. Secara normatif, jika pergerakan inflasi terjaga,
suku bunga acuan akan stabil sehingga nilai tukar juga akan ‘tenang’. Dengan
alur ini, laju inflasi seharusnya sebanding dengan depresiasi. Faktanya, laju
depresiasi (2,35%) lebih tinggi daripada inflasi (0,99%), pun di saat 7DRRR
lama tidak berubah.
Kondisi semacam ini berakibat BI
kesulitan dalam menentukan besaran suku bunga acuan. Celakanya lagi, angka
inflasi yang ditargetkan 3,5% pada tahun ini akan diganggu gejolak internal
berupa fluktuasi harga barang yang diatur pemerintah (administered price) dan harga pangan yang bergejolak (volatile prices).
Orientasi ke luar kebetulan juga
terhalang oleh perang dagang AS dengan Tiongkok. Artinya, lalu lintas
barang/jasa yang menjadi landasan berpijak dalam menentukan nilai tukar bisa
seret. Seretnya lalu lintas barang/jasa membuat nilai tukar tidak
mencerminkan kinerja perekonomian yang sesungguhnya.
Kegagalan kedua pendekatan
sebelumnya memaksa perluasan kajian menuju pendekatan portofolio. Dasar
pemikirannya, imbal hasil tidak hanya ditawarkan suku bunga, tetapi perbankan
juga yield yang dipasok aset finansial lain, berupa surat berharga, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan kerangka ini, pelaku
ekonomi senantiasa aktif menyubstitusi kekayaannya antara uang tunai, barang,
simpanan di bank, dan surat berharga. Oleh karena itu, setiap ada gejolak di
satu pasar imbasnya akan cepat merambat ke segmen pasar yang lain. Fluktuasi
harga saham dan emas pada saat kurs bergejolak ialah contoh konkretnya.
Alhasil, pasar keuangan
terintegrasi antara segmen satu dengan yang lain baik intranegara maupun
lintas negara. Kondisi ini membuat kebijakan moneter bank sentral senantiasa
kesulitan meredam setiap gejolak yang ada di pasar keuangan entah dari
segmen/negara mana asal gejolak bermula.
Dengan konfigurasi problematika di
atas, kebijakan moneter BI yang ketat dalam bentuk kenaikan 7DRRR menjadi
opsi kebijakan yang layak bagi Indonesia yang berstatus perekonomian kecil
yang terbuka (small open economy) tatkala kebijakan moneter negara leader
sudah menaikkan suku bunga acuan.
Tanpa memasukkan opsi kenaikan
7DRRR, BI mau tidak mau harus intervensi untuk menjinakkan dolar. Pilihan ini
kendati efektif, hanya sesaat dan berbiaya mahal. Lagi pula, cadangan devisa
yang dipegang BI relatif kecil untuk ukuran pasar valuta asing sehingga
keberlanjutannya masih bisa dipertanyakan.
Agaknya BI perlu berkaca dari
pengalaman negara lain yang mengadopsi ‘ketat’ dalam menjaga suku bunga acuan
dalam praktiknya ‘fleksibel’ terhadap nilai tukar. Frekuensi intervensi di
pasar valuta asing menjadi lebih sering dan lebih sensitif terhadap
pergerakan nilai tukar riil.
Solusi yang lebih kompromistis
ialah sistem pengendalian devisa, khususnya aliran hot money yang dominan di
pasar uang. Regulasi parsial perlu dikenakan pada capital flow agar dana
portofolio asing tidak keluar/masuk begitu saja tanpa memberikan kontribusi
yang signifikan bagi stabilitas nilai tukar rupiah. Mau pilih yang mana BI? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar