Sisi
Gelap Ekonomi Data
Medhy Aginta Hidayat ; Dosen Mata Kuliah Dimensi Sosial Teknologi pada Program
Studi Sosiologi, Universitas Trunojoyo Madura;
Doktor Sosiologi Universitas Missouri,
USA
|
MEDIA
INDONESIA, 20 April 2018
SKANDAL pencurian 87 juta data
pribadi pengguna Facebook, 1,09 juta di antaranya ialah pengguna Facebook
dari Indonesia, tiba-tiba menggegerkan dunia. Data pribadi pengguna Facebook,
yang semestinya private dan rahasia, dicuri dan disalahgunakan oleh
perusahaan analis data Cambridge Analytica untuk membantu pemenangan kampanye
politik di sejumlah negara.
Oleh Cambridge Analytica, data
pribadi pengguna Facebook digunakan untuk mendapatkan profil calon pemilih.
Dengan teknologi big data dan psychographics, Cambridge Analytica kemudian
memanipulasi psikologi calon pemilih agar memberikan suara sesuai pesanan
klien Cambridge Analytica.
Dua kampanye politik terkenal yang
ditangani Cambridge Analytica ialah kampanye Donald Trump dan kampanye
keluarnya Inggris dari European Union (EU) atau yang lebih dikenal dengan
istilah Brexit. Hasilnya? Donald Trump menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat
dan Inggris keluar dari EU.
Pascainsiden ini, CEO Facebook Mark
Zuckerberg telah meminta maaf secara publik. Ia mengakui keteledoran Facebook
dalam mengamankan privacy para penggunanya dan berjanji akan memperbaiki
sistem keamanan Facebook.
Sejumlah negara memanggil
perwakilan Facebook untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Di
Indonesia, Komisi I DPR memanggil Ruben Hattari, Kepala Kebijakan Publik
Facebook Indonesia, untuk memberikan penjelasan skandal ini.
Dalam buku berjudul Marx in Age of Digital Capitalism
(2016), Vincent Mosco telah mewanti-wanti bahwa media-media baru, seperti
media sosial, telah menciptakan ekosistem baru yang sangat rawan manipulasi
dan kejahatan.
Dampak
ekonomi data
Skandal Cambridge Analytica boleh
jadi dipicu oleh semakin berharganya data dalam kehidupan masyarakat digital.
Segala sesuatu kini ialah data: data mesin pesawat terbang, data profil
penonton video Youtube, data jumlah penumpang kereta komuter, hingga data
perilaku pengguna toilet umum.
International Data Corporation
(2016) memprediksi jumlah data yang diproduksi di seluruh dunia akan mencapai
44 zettabytes pada 2020 dan 180 zettabytes pada 2025. International Data
Corporation juga mencatat akan ada 30 miliar media penghasil data pada 2020
dan 80 miliar pada 2025.
Majalah the Economist edisi Mei
2017 menyebut bahwa, “The world's most valuable resource today is no longer
oil, but data.” Lima perusahaan terbesar di dunia saat ini–-Google, Amazon,
Apple, Facebook dan Microsoft-–ialah perusahaan-perusahaan teknologi yang
bertumpu pada data.
Dengan mengutip Zeynep Tufekci,
profesor kajian sosiologi media dari University of North Carolina,
perkembangan perekonomian dunia saat ini akan digerakkan oleh data economi
(2018). Semakin besar data yang dimiliki, semakin tinggi nilai monetisasinya.
Facebook, misalnya, menggunakan jutaan profil data penggunanya untuk
mendulang keuntungan dari platform periklanan Facebook Ads.
Dengan teknologi kecerdasan
buatan, Facebook mampu menciptakan teknologi iklan tertarget untuk calon
konsumennya. Dengan dukungan teknologi ini, konsumen-– pemilik bisnis dan
kandidat politik-– diuntungkan karena dapat menyebarluaskan informasi secara
tertarget berdasarkan profil pribadi pengguna Facebook.
Pelanggaran
privacy
Persoalan muncul ketika upaya
mendapatkan data melanggar privacy atau kerahasiaan pribadi. Modus data
breaching atau pencurian data yang paling jamak dilakukan ialah dengan
memanfaatkan kelonggaran media sosial, yang mengizinkan pihak luar untuk
mengakses data pribadi penggunanya melalui aplikasi-aplikasi pihak ketiga.
Cambridge Analytica, misalnya,
menggunakan modus pencurian data ini dengan membenamkan API (Application
Programming Interface) Facebook ke dalam aplikasi ThisisYourDigitalLife
buatan Aleksandr Kogan, seorang profesor psikologi dari University of
Cambridge untuk mengambil data pribadi pengguna Facebook.
Namun, mengutip Ethan Zuckerman,
seorang profesor media dari MIT, persoalan risiko pelanggaran privacy yang
lebih mendasar sebenarnya bersumber pada model bisnis perusahaan teknologi
berbasis internet (2018).
Menurut Zuckerman, perusahaan
media sosial memiliki model bisnis yang hampir sama. Mereka mengumpulkan
sebanyak mungkin informasi para penggunanya: informasi pribadi pengguna,
aktivitas browsing, jaringan pertemanan, tempat-tempat yang dikunjungi,
status dan foto-foto yang dibagikan, jumlah ‘suka’ dan komentar, hingga
history aktivitas belanja online para penggunanya.
Sebagai imbalan,
perusahaan-perusahaan daring ini mengizinkan para pengguna layanan mereka
untuk menggunakan platform atau aplikasi secara gratis.
Dengan model pertukaran seperti
ini, para pengguna layanan perusahaan teknologi cenderung dalam posisi kurang
menguntungkan. Pengguna media sosial seperti Facebook tidak memiliki pilihan
lain kecuali menyerahkan izin akses privacy data pribadi agar mereka dapat menggunakan
layanan secara gratis.
Sementara itu, para pengguna ini
tidak pernah tahu apa yang terjadi dengan data pribadi mereka. Tidak ada
jaminan bahwa data pribadi mereka akan dipergunakan sebagaimana mestinya,
dibocorkan ke publik atau malah dicuri dan disalahgunakan seperti dalam kasus
Cambridge Analytica.
Upaya
pencegahan
Zuckerman (2018) menyatakan ada
tiga hal yang bisa dilakukan para pemangku kepentingan (stakeholders) ekonomi
data untuk mencegah berulangnya skandal Cambridge Analytica. Pertama,
mengubah model bisnis perusahaan teknologi. Caranya ialah dengan memberi
pilihan lebih luas kepada para penggunanya: memberi akses privacy data
pribadi untuk mendapat layanan gratis sepenuhnya. Lalu, memberikan akses data
pribadi sebagian untuk mendapatkan sebagian layanan secara gratis, atau tidak
memberikan akses data pribadi sama sekali dan membayar layanan yang
diberikan.
Kedua, membuka ruang kompetisi
lebih terbuka. Caranya ialah dengan memecah perusahaan berskala raksasa
menjadi unit-unit perusahaan kecil untuk mencegah praktik monopoli.
Ketiga, membuat aturan
antimonopoli data yang lebih ketat. Perusahaan-perusahaan teknologi berbasis
internet tidak boleh mengunci data pribadi penggunanya dan harus mau berbagi
data terutama dengan pihak lembaga pengawas data pemerintah.
Sistem ekonomi data tidak bisa
dipungkiri masih akan terus berkembang pesat di masa yang akan datang. Bukan
tidak mungkin akan semakin banyak persoalan berkaitan dengan praktik-praktik
pelanggaran privacy di masa depan.
Skandal Cambridge Analytica
kiranya bisa menjadi pelajaran berharga perihal betapa pentingnya menjaga
privacy data di dunia maya. Dengan melakukan upaya-upaya pencegahan pencurian
data digital seperti di atas sedini mungkin, ekosistem ekonomi data, termasuk
di Indonesia, diharapkan akan berkembang dengan lebih baik dan sehat di masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar