Membersihkan
Sarang Penyamun KTP-E
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 26 April 2018
MANTAN Ketua DPR RI Setya Novanto
(Setnov) divonis 15 tahun penjara serta diwajibkan membayar denda Rp500 juta
subsider 3 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Jakarta, Selasa (24/4/2018). Novanto terbukti melakukan korupsi proyek KTP-E
tahun anggaran 2011-2013.
Majelis hakim juga mewajibkan
Novanto membayar uang pengganti US$7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah
dititipkan kepada penyidik. Selain hukuman dan denda, majelis hakim juga
mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa
pidana.
Rakyat tampak cukup puas dengan
hukuman yang dijatuhkan kepada Setnov tersebut. Namun, dengan melihat
kronologi kasus ini, rakyat tak boleh luluh hati seketika mengingat
perjalanan menguak korupsi KTP-E yang merugikan negara Rp2,3 triliun ini
masih panjang. Masih ada aktor-aktor prominen yang sejauh ini sudah
disebut-sebut di media massa yang perlu diselidiki dan diungkap agar bisa
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum dan rakyat. Apalagi
bukan rahasia umum bahwasanya sensasi kelam korupsi KTP-E ini sudah lama
memperburuk mimpi rakyat terutama untuk memperoleh pelayanan publik dan
kesejahteraan sosial yang berkualitas.
Menyengat
keadilan
Menurut RE Goodin (1988:19-54),
kesejahteraan sosial yang diinisiasikan negara dimaksudkan untuk menyediakan
barang-barang dan pelayanan khusus untuk setiap warga yang berhak, dengan di
dalamnya melekat prinsip HAM dan moralitas pejabat penyelenggara negara.
Skandal KTP-E sungguh telah
menyengat rasa keadilan sosial. Proyek yang awalnya ingin mengintegrasikan identitas
penduduk dengan program-program pemerintah (pendidikan, kesehatan, dll) itu
kini justru melahirkan jeritan rakyat yang malang karena tak bisa mengakses
hak-hak kesejahteraan mereka karena terkendala oleh kepemilikan KTP-E.
Ratusan ribu masyarakat sudah
terkena dampak langsung akibat ketiadaan blangko KTP-E. Contoh sederhana,
tidak sedikit rakyat miskin yang gagal mendapatkan pelayanan fasilitas BPJS
Kesehatan karena tak punya KTP-E. Pasalnya data peserta BPJS harus sinkron
dengan KTP-E karena BPJS juga harus mengacu pada sidik jari dan iris mata
peserta.
Dalam aspek demokrasi, ketiadaan
KTP-E memicu rendahnya kepesertaan politik rakyat dalam baik pilkada maupun
pemilu. Syarat utama agar masyarakat memiliki hak pilih dalam pesta demokrasi
ialah harus mengantongi KTP-E.
Saat ini, berdasarkan data
Bawaslu, ada tiga provinsi yang belum menetapkan daftar pmilih tetap, yakni
Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Di NTT, selain majamen
kependudukannya yang lemah, belum adanya KTP-E dan surat keterangan pengganti
KTP-E menjadi penyebab lahirnya kekacauan DPT tersebut. Padahal, itu tentu
saja akan berakibat buruk bagi masa depan demokrasi lokal.
Banyak rakyat yang akhirnya tidak
bisa berpartisipasi dalam memilih pemimpin di pemilu hanya karena persoalan
ketiadaan KTP-E. Jika itu dikaitkan dengan proses politik dan demokrasi, L
Proal dalam Political Crime (1973) menggolongkan fenomena itu sebagai
kejahatan politik dalam wujud perampokan perwakilan politik.
Rakyat menjadi kehilangan hak dan
kesempatan untuk memilih pemimpin, termasuk membangun posisi tawar politiknya
untuk mendeterminasi aktor-aktor perwakilan politik yang berkualitas dan
dianggap mampu menjadi corong suara rakyat dan menyehatkan demokrasi. Dengan
partisipasi politik yang minim, peluang terpilihnya calon pemimpin atau wakil
rakyat yang minim kapabilitas makin terbuka, di samping rendahnya legitimasi
pemilu.
Faktor penyebab utama munculnya
kejahatan politik ialah digunakannya politik Machiavelli oleh para elite yang
mengabaikan standar moral dalam berpolitik. Kefatsunan politik tidak lagi
menjadi jangkar bagi seluruh aktivitas para elite dalam mempercakapkan dan
mengurus kepentingan rakyat.
Semua hal yang baik dan suci itu
telah diganti hasrat politik plutonian yang doyan mengerat uang dan kekuasaan
untuk mengglorifikasi kepentingan dan kejayaan diri/kelompok yang di sisi
lain mengakibatkan ‘kesakitan sosial’. Kejahatan politik ialah tindakan
ilegal yang menghasilkan ‘kesakitan sosial’ yang dirancang untuk memberi
fasilitas penguasaan dan pertahanan kekuasaan politik. Kita semua tahu,
megaskandal KTP-E tidak terlepas dari rancangan sistemis perburuan rente di
kalangan elite yang diinisiasi dengan memafaatkan otoritas atau jabatan yang
ada untuk mempertahankan sumber daya korupsi. Mereka menggunakan cara kerja
yang sistemis, tersamar, tetapi terkendali rapi dalam satu barisan komando
kriminal.
Berani
dan pasang badan
Bahkan menurut Zimring dan Johnson
(2005:799-800), kejahatan dengan menggunakan kekuasaan bahkan dianggap lebih
tercela jika dibandingkan dengan kejahatan penipuan atau pencurian karena
kejahatan dimaksud telah mendegradasi tiga hal, yakni 1) makna kekuasaan yang
sakral prososial, 2) mereduksi kesempatan rakyat untuk mencicipi hak dan
kesejahteraan sosialnya, dan 3) melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap
penegakan hukum.
Kita berharap KPK berani dan
pasang badan melawan segala praktik kebiadaban sosial-politik korupsi yang
akan meracuni hawa politik dan demokrasi saat ini. Tidak bisa ditawar-tawar,
KPK wajib membersihkan ‘sarang penyamun’ KTP-E dengan membuktikan kepada
publik, bahwa ia bukanlah lembaga hukum yang doyan memolitisasi kasus demi
pencitraan atau membela kepentingan tertentu.
Sebagaimana doa dan harapan
seluruh rakyat, KPK wajib mengusut tuntas kasus ini lebih dari sekadar
menghukum Setnov, dengan menjerat semua aktor dan jaringan terstruktur yang
terlibat dengan membongkar segala intensi dan modusnya. Mantan hakim
konstitusi Mahfud MD bahkan sudah jauh-jauh hari meyakini bahwa masih banyak
aktor kakap lain yang terlibat megaskandal dimaksud yang harus disentuh
penegak hukum. Mereka mulai anggota DPR, pejabat kementerian, hingga beberapa
korporasi yang diduga ikut menerima aliran dana korupsi KTP-E. Ironisnya,
sebagian dari antara mereka malah kini sedang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah.
Sayang kalau para penikmat uang
haram itu terus dibiarkan seenaknya berkeliaran menghirup udara kemerdekaan
ketika, di sisi lain, banyak hak warga negara yang ‘terluka’. Rakyat tidak
boleh apatis, tetapi mutlak terus mengawal kasus ini dengan intensif
melakukan tekanan moral-psikologis terhadap KPK agar secara transparan KPK
menjelaskan kepada rakyat perkembangan pengusutan kasus ini dari waktu ke
waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar