Westoxification
Ratno Lukito ; Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 23 April 2018
NOVEMBER lalu ketika Presiden
Jokowi memimpin rapat tentang sekolah vokasi, beliau sudah melontarkan
gagasan pentingnya universitas atau akademi politeknik asing dibuka di
Indonesia.
Hal itu ditanggapi secara spontan
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sebagai suatu
keniscayaan untuk menjawab tantangan perubahan yang tak dapat ditolak. Namun,
menurut Mendikbud, ganjalan utamanya justru di pranata hukum yang mengatur
pendidikan nasional kita. Baik UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, maupun UU
Pendidikan Tinggi masih tumpang-tindih. (Detiknews, 16/11/17).
Belum lama ini, isu PT asing
membuka cabang di Tanah Air kembali menghangat ketika Kemenristek-Dikti
secara eksplisit membuka lampu hijau untuk kemungkinan dibukanya PT asing
itu. Namun, Menristek-Dikti Mohamad Nasir sepertinya sadar isu ini pasti akan
mengundang perdebatan yang keras. Karena itu, cepat-cepat dia menyatakan
kebijakan itu bukanlah hendak menghidupkan model penjajahan baru
(neocolonialism) karena yang dikehendaki pemerintah ialah munculnya
kolaborasi antara PT asing dengan PT di Indonesia untuk membuka lembaga
pendidikan tinggi yang diharapkan lebih menjanjikan.
Menurutnya, beberapa universitas
papan atas di luar negeri sudah menyatakan kesediaan untuk membuka cabang di
RI, di antaranya Universitas Cambridge di Inggris serta Universitas Melbourne
dan Universitas Queensland di Australia.
Terlepas dari pro-kontra,
pembukaan lembaga pendidikan asing di Tanah Air memang selalu saja
menggelitik kritisisme kita. Di satu sisi, pemerintah boleh saja menerapkan
terapi kejut untuk membangkitkan lembaga pendidikan (tinggi) kita yang
sekadar jalan di tempat. Namun, sejatinya suara-suara liar penolakan itu
mesti dipertimbangkan juga karena kenyataan rendahnya daya saing lembaga
pendidikan kita menghadapi arus globalisasi yang semakin deras memasuki
relung publik negeri ini.
Globalisasi
pendidikan
Globalisasi selalu dihubungkan
dengan realitas ketidakberdayaan dunia Timur dalam menghadapi air bandang
pengaruh Barat. Meski ini sudah berlangsung sejak zaman lampau, globalisasi
ternyata tidak sesederhana melipat kertas. Selalu saja muncul korban,
utamanya mereka yang berperan sebagai pihak yang lemah.
Sebagaimana soal PT asing,
asosiasi perguruan tinggi swasta (Aptisi) sejak awal menolaknya. Mereka
keberatan lantaran pembukaan PT asing itu tidak lebih dari refleksi attitude
pemerintah yang selalu mementingkan lembaga PT negeri atau PT swasta yang
kuat dan bermodal besar ketimbang PT swasta yang sebagian besar belum
kompetitif. Sejatinya, sikap Aptisi itu gambaran nyata kekhawatiran sebagian
besar kita terhadap arus globalisasi pendidikan tinggi.
Globalisasi yang merembes ke semua
area kehidupan bukanlah persoalan yang mudah untuk menghadapinya. Apalagi,
melihat kenyataan kelemahan di hampir semua lini kelembagaan lokal kita.
Dalam hal ini, gerak globalisasi terbuncah dalam bentuk kecenderungan
kognitif masyarakat yang melihat Barat sebagai 'juragan budaya' yang selalu
memiliki kelebihan ketimbang budaya lokal yang lahir dari dunia yang sumpek
dan basi.
Hal ini tampak di sebagian argumen
kelompok yang reseptif terhadap ide PT asing di Indonesia. Kesadaran akan
ketertinggalan mutu sistem pendidikan kita dapat dipecahkan dengan mengimpor
lembaga pendidikan Barat yang notabene lebih maju dalam semua lininya.
Inilah mengapa bagi para penolak
hegemoni Barat, globalisasi itu dipadankan dengan westoksifikasi
(westoxification), bahwa gelombang pembaratan yang terjadi di belahan dunia
ketiga itu muncul bukan sekadar aliran pengaruh yang masuk tanpa membawa
muatan makna apa-apa, melainkan juga lebih karena ideologi inferioritas
bangsa Timur yang melihat Barat sebagai ras unggul dalam segala bidang
kehidupan.
Jika demikian, arus globalisasi
itu tak ubahnya luapan pengaruh budaya luar yang bersifat toksik karena
budaya Barat yang masuk ke masyarakat berfungsi seperti racun yang mematikan
nilai-nilai keluhuran yang berasal dari bumi sendiri. Di sini jika kita
mencanangkan membuka cabang-cabang PT asing di negeri ini, itu semata karena
kebutuhan kita untuk meniru dan mengadopsi sistem pendidikan Barat yang jauh
lebih maju dan efektif.
Barat di sini dipahami sebagai
arena, tempat orang-orang cerdas dan berkualitas tinggi dalam memproduksi
ilmu pengetahuan harus kita ikuti sepenuhnya agar bangsa kita meraih kemajuan
dan keunggulan sejajar, meski, karena itu kita mematikan budaya lokal
sendiri.
Bagaimana
seharusnya?
Tidak bisa kita menolak
globalisasi, pun tidak seharusnya kita membebek nilai-nilai asing yang masuk
melalui kanal globalisasi itu. Seorang pemikir Iran masa prarevolusi, Jalal
Al-e Ahmad, sudah seawal 1960-an mengingatkan dunia Timur (Islam) akan bahaya
perilaku reseptif terhadap nilai-nilai dari luar (Barat) tanpa memahami
kandungan historisitas yang melatari budaya Barat itu (Shirin S Deylami, In
the Face of the Machine, 2011).
Westoksifikasi muncul karena pandangan
yang binaris antara Barat dan Timur. Barat baik, maju, dan serbaunggul,
sedangkan Timur terbelakang dan jumud. Kemudian ia melahirkan sikap mengikuti
tanpa reserve terhadap Barat. Karenanya, yang harus kita lakukan ialah
menumbuhkan kesadaran metodologis dalam menghadapi globalisasi itu.
Mengikuti Jalal Al-e Ahmad,
beberapa langkah harus kita ikuti: (1) pemahaman matang terhadap sejarah
masyarakat Barat. (2) Pengadopsian semangat intelektualitas Barat. (3)
Meningkatkan kemampuan diri untuk berdiri sejajar dengan Barat. Ketiga
langkah itu memberikan jaminan kemampuan merespons secara positif arus
globalisasi itu.
Jika ini diterapkan dalam hal
globalisasi pendidikan yang telah dan akan terus menggerus nilai-nilai lokal
masyarakat kita, pengaruh pendidikan asing itu hanya bisa kita hadapi dengan
kesadaran yang berpusat pada tiga aras metodologis, yaitu (1) sebelum kita
mengadopsi nilai-nilai pendidikan Barat, kita harus memahami dahulu latar
budaya dan nilai yang terkandung dalam rentetan sejarah masyarakat Barat yang
melahirkan sistem pendidikan itu.
(2) Kita haru menumbuhkan
kesadaran pentingnya nilai-nilai intelektualitas modern bagi masyarakat kita.
(3) Secara terus-menerus kita berusaha meningkatkan kecerdasan seluruh
masyarakat agar mampu berhadapan dengan masyarakat bangsa lain tanpa harus
meninggalkan kecerdasan lokal yang sudah mengakar.
Walhasil, ide pendirian PT asing
di negeri ini barangkali merupakan suatu keniscayaan zaman. Namun, resonansi
positif yang terkandung dalam lembaga pendidikan asing itu tidak harus kita
terima dengan mematikan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa ini. Karena itu,
transplantasi sistem pendidikan modern dari luar negeri dapatlah kita lakukan
asalkan tidak dilandasi semangat dan perilaku westoksifikasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar