”Buku
Putih AIPI”
Terry Mart ; Fisikawan UI dan Anggota AIPI
|
KOMPAS,
27 April
2018
Banyak hal menarik yang
saya temukan ketika saya melakukan riset fisika di The George Washington University,
AS, hampir dua dekade lalu. Mungkin salah satunya adalah letaknya yang hanya
beberapa blok dari Gedung Putih.
Namun, yang paling
mengesankan adalah pengalaman bertemu dengan pelayan restoran siap saji di
sekitar pusat kota Washington DC. Saat itu sang pelayan tampaknya tertarik
dengan kaus saya yang bertuliskan Cambridge University sehingga dia
berkomentar: ”Wow, Anda dari Cambridge.” Belum sempat saya menjawab, dia
melanjutkan pertanyaan mengenai apa yang saya lakukan di DC. Saya katakan
bahwa saya melakukan riset fisika partikel. Kembali dia bersemangat, sambil
mengatakan, ”Wow, Anda pasti tahu tentang quark!”
Di sinilah saya terkesan.
Tampaknya promosi sains di negara Paman Sam ini sudah sangat berhasil
sehingga seorang pramusaji restoran memiliki pengetahuan umum tentang fisika
partikel. Selang hampir dua dekade kemudian barulah saya menemukan kata
kuncinya, yaitu literasi sains.
Literasi
sains
Meski berdasarkan beberapa
survei seperti PISA (Programme in International Student Assessment) dan TIMSS
(Trend International Mathematics and Science Study), AS bukanlah negara
dengan tingkat melek sains tertinggi bagi para pelajarnya, kesadaran
mayoritas masyarakatnya tentang urgensi sains dalam kehidupan sangat
mendukung perkembangan sains di sana.
Tentu saja literasi sains
ini tidak muncul begitu saja tanpa adanya promosi sains yang gencar di media
massa, semisal acara sains populer di radio dan televisi yang dipandu oleh
fisikawan tamatan Universitas California Berkeley, Michio Kaku. Namun, jika dirunut
ke masa silam, sangat jelas bahwa kontribusi sains pada masyarakat Amerika
sudah mulai disadari sejak pertengahan abad ke-19, dengan diresmikannya
Akademi Sains Nasional (National Academy of Sciences/NAS) pada 1863 oleh
Presiden Abraham Lincoln. Sejak saat itu NAS, yang hampir 500 anggotanya
adalah peraih Nobel, secara kontinu menjadi Advisors to Nation dalam urusan
sains dan teknologi AS.
Bagaimana dengan
Indonesia? Agak menyedihkan tampaknya. Hasil terakhir (2015) dari PISA
menempatkan siswa Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara yang
berpartisipasi, sedangkan TIMSS menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 47
negara yang ikut serta.
Jika literasi sains para
pelajar sudah begitu rendah, bagaimana dengan masyarakatnya? Padahal, jika
masyarakat tidak melek sains, bagaimana mereka dapat mendukung perkembangan
sains? Berbeda dengan kasus di negara-negara nondemokratis, dukungan
masyarakat tentu saja sangat kritis bagi perkembangan sains di Indonesia.
Kontribusi
AIPI
Jika AS memiliki NAS,
Indonesia memiliki Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang juga cukup
aktif mengajukan pandangan sains terhadap permasalahan bangsa. Sebutlah
seperti pandangan tentang teknologi klon untuk kesejahteraan umat manusia,
tentang kuman Enterobacter,
ataupun tentang Kurikulum 2013.
Sayangnya, keberadaan AIPI
masih kurang disadari, padahal ada kontribusi penting AIPI yang terlewat dari
perhatian publik pada tahun 2017, yaitu Buku Putih AIPI. Buku ini disusun atas
permintaan Kementerian Ristek dan Dikti untuk melakukan kajian jangka panjang
(2015- 2045) tentang sains, teknologi, dan pendidikan tinggi di Indonesia.
Alasan permintaan sangat jelas: kinerja sains dan teknologi Indonesia yang
ditunjukkan oleh jumlah publikasi internasional dan paten hasil karya anak
bangsa sangat minim. Buku putih ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
Kemenristek dan Dikti dalam penyusunan kebijakan strategis yang menyangkut
pengembangan sains dan teknologi, misalnya dalam pembentukan universitas
riset.
Isi Buku Putih AIPI secara
kasar dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengupas tentang
model-model pengembangan sains dan teknologi, yang sudah dikenal masyarakat,
seperti model Triple Helix, Quintuple Helix, dan sebagainya.
Bagian kedua menampilkan
perbandingan data terkait dari beberapa negara, termasuk Indonesia, baik
negara yang dianggap berhasil mengangkat ekonominya melalui sains dan
teknologi maupun negara yang dianggap gagal. Dijelaskan juga faktor-faktor
yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan negara-negara tersebut. Secara
ringkas, faktor penentu keberhasilan yang disorot di sini adalah Total Factor
Productivity (TFP).
Bagian terakhir
menampilkan empat skenario Indonesia pada 2045 setelah kemerdekaan Indonesia
berusia 100 tahun. Bagian ini sebenarnya yang paling penting untuk dibahas.
Skenario
Indonesia pada 2045
Empat skenario yang
mungkin terjadi disampaikan dalam bentuk metafora unggas agar lebih mudah
dipahami. Dimulai dari skenario terbaik, empat skenario tersebut adalah:
”Garuda Terbang Tinggi”; ”Alap-alap Terkurung”; ”Burung Hantu di Siang Hari”;
serta ”Bebek Lumpuh”.
”Garuda Terbang Tinggi”
adalah yang didambakan terjadi setelah 100 tahun kemerdekaan. Selain
melambangkan kekuatan dan akurasi, kemampuan burung garuda untuk terbang
tinggi menunjukkan kebebasan Indonesia dalam membuat keputusan strategis
secara mandiri. Dalam skenario ini perguruan tinggi (PT) kita mampu memenuhi
permintaan pasar, baik dari segi lulusan maupun sisi output penelitian.
Dengan dana riset nasional sebesar 2,0-3,0 persen dari produk domestik bruto
(PDB), perguruan tinggi mampu untuk merekrut anggota staf yang sangat
kompeten di bidangnya. Di sisi lain, perekonomian tumbuh pesat dan bersifat
inklusif.
Dalam keadaan bebas,
”Burung Alap-alap” memiliki kekuatan, kecepatan, dan kecermatan luar biasa
dalam berburu. Namun, prestasi itu tidak berguna jika ia terkurung. Skenario
ini terjadi jika pertumbuhan ekonomi kuat dan inklusif, tetapi PT tidak mampu
memenuhi permintaan pasar. Ekonomi menjadi kuat karena Indonesia berhasil
menciptakan lingkungan bisnis/industri yang sehat, bebas dari monopoli,
kartel ataupun korupsi.
Namun, di sisi lain, karena PT kurang mampu
meyakinkan masyarakat dan pemerintah, anggaran riset hanya berkisar 0,5-1,0
persen dari PDB.
”Burung Hantu” memiliki
ketajaman luar biasa untuk melihat mangsanya dalam kegelapan. Namun,
kemampuan luar biasa ini tidak ada gunanya di siang hari. Skenario ini akan
terjadi jika PT mampu memenuhi permintaan pasar, tetapi ekonomi lemah dan
eksklusif. Yang terakhir ini diakibatkan kegagalan Indonesia dalam
menciptakan ekonomi yang bersih dari praktik monopoli, kartel serta korupsi.
Dalam keadaan seperti ini, kontribusi PDB pada riset hanya berkisar 0,5
persen.
Skenario terakhir adalah
”Bebek Lumpuh”. Dalam keadaan sehat sekalipun sulit mengharapkan bebek untuk
terbang tinggi, apalagi dalam keadaan lumpuh. Skenario ini adalah skenario
terburuk yang akan kita hadapi jika PT tidak dapat memenuhi kebutuhan
industri, sementara ekonomi lemah dan tidak bersifat inklusif. Kontribusi TFP
yang nihil pada perekonomian, rendahnya pendapatan per kapita, serta tingkat
kemiskinan tinggi merupakan penciri dari skenario ini.
Kritik
terhadap ”Buku Putih AIPI”
Buku Putih AIPI merupakan
pemikiran visioner dari banyak cendekia yang merupakan masukan tak ternilai bagi
pemerintah, jika kita ingin nasib Indonesia tidak seperti bebek lumpuh di
tahun 2045. Namun, tak ada gading yang tak retak. Dalam era yang serba
pragmatis seperti sekarang, saya meragukan pemikiran visioner ini akan cepat
ditanggapi pemerintah.
Apa yang masih kurang pada
masyarakat kita, termasuk juga pemerintah, adalah literasi sains, dalam
artian keyakinan bahwa sains memang diperlukan dalam memperbaiki nasib
bangsa. Menjadi tugas AIPI serta para pelaku sains lainnya untuk menjelaskan
terlebih dahulu ke masyarakat, betapa sains telah memberikan sumbangan
penting bagi kenyamanan hidup manusia. Misalnya, tidak banyak yang tahu jika
temuan lampu LED putih yang dapat menghemat energi secara ekstrem didasari
oleh teori kuantum untuk pita-pita energi dalam semikonduktor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar