Sabtu, 28 April 2018

”Buku Putih AIPI”

”Buku Putih AIPI”
Terry Mart ;  Fisikawan UI dan Anggota AIPI
                                                         KOMPAS, 27 April 2018



                                                           
Banyak hal menarik yang saya temukan ketika saya melakukan riset fisika di The George Washington University, AS, hampir dua dekade lalu. Mungkin salah satunya adalah letaknya yang hanya beberapa blok dari Gedung Putih.

Namun, yang paling mengesankan adalah pengalaman bertemu dengan pelayan restoran siap saji di sekitar pusat kota Washington DC. Saat itu sang pelayan tampaknya tertarik dengan kaus saya yang bertuliskan Cambridge University sehingga dia berkomentar: ”Wow, Anda dari Cambridge.” Belum sempat saya menjawab, dia melanjutkan pertanyaan mengenai apa yang saya lakukan di DC. Saya katakan bahwa saya melakukan riset fisika partikel. Kembali dia bersemangat, sambil mengatakan, ”Wow, Anda pasti tahu tentang quark!”

Di sinilah saya terkesan. Tampaknya promosi sains di negara Paman Sam ini sudah sangat berhasil sehingga seorang pramusaji restoran memiliki pengetahuan umum tentang fisika partikel. Selang hampir dua dekade kemudian barulah saya menemukan kata kuncinya, yaitu literasi sains.

Literasi sains

Meski berdasarkan beberapa survei seperti PISA (Programme in International Student Assessment) dan TIMSS (Trend International Mathematics and Science Study), AS bukanlah negara dengan tingkat melek sains tertinggi bagi para pelajarnya, kesadaran mayoritas masyarakatnya tentang urgensi sains dalam kehidupan sangat mendukung perkembangan sains di sana.

Tentu saja literasi sains ini tidak muncul begitu saja tanpa adanya promosi sains yang gencar di media massa, semisal acara sains populer di radio dan televisi yang dipandu oleh fisikawan tamatan Universitas California Berkeley, Michio Kaku. Namun, jika dirunut ke masa silam, sangat jelas bahwa kontribusi sains pada masyarakat Amerika sudah mulai disadari sejak pertengahan abad ke-19, dengan diresmikannya Akademi Sains Nasional (National Academy of Sciences/NAS) pada 1863 oleh Presiden Abraham Lincoln. Sejak saat itu NAS, yang hampir 500 anggotanya adalah peraih Nobel, secara kontinu menjadi Advisors to Nation dalam urusan sains dan teknologi AS.

Bagaimana dengan Indonesia? Agak menyedihkan tampaknya. Hasil terakhir (2015) dari PISA menempatkan siswa Indonesia di urutan ke-62 dari 70 negara yang berpartisipasi, sedangkan TIMSS menempatkan Indonesia di urutan ke-44 dari 47 negara yang ikut serta.

Jika literasi sains para pelajar sudah begitu rendah, bagaimana dengan masyarakatnya? Padahal, jika masyarakat tidak melek sains, bagaimana mereka dapat mendukung perkembangan sains? Berbeda dengan kasus di negara-negara nondemokratis, dukungan masyarakat tentu saja sangat kritis bagi perkembangan sains di Indonesia.

Kontribusi AIPI

Jika AS memiliki NAS, Indonesia memiliki Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang juga cukup aktif mengajukan pandangan sains terhadap permasalahan bangsa. Sebutlah seperti pandangan tentang teknologi klon untuk kesejahteraan umat manusia, tentang kuman Enterobacter, ataupun tentang Kurikulum 2013.

Sayangnya, keberadaan AIPI masih kurang disadari, padahal ada kontribusi penting AIPI yang terlewat dari perhatian publik pada tahun 2017, yaitu Buku Putih AIPI. Buku ini disusun atas permintaan Kementerian Ristek dan Dikti untuk melakukan kajian jangka panjang (2015- 2045) tentang sains, teknologi, dan pendidikan tinggi di Indonesia. Alasan permintaan sangat jelas: kinerja sains dan teknologi Indonesia yang ditunjukkan oleh jumlah publikasi internasional dan paten hasil karya anak bangsa sangat minim. Buku putih ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Kemenristek dan Dikti dalam penyusunan kebijakan strategis yang menyangkut pengembangan sains dan teknologi, misalnya dalam pembentukan universitas riset.

Isi Buku Putih AIPI secara kasar dapat dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama mengupas tentang model-model pengembangan sains dan teknologi, yang sudah dikenal masyarakat, seperti model Triple Helix, Quintuple Helix, dan sebagainya.

Bagian kedua menampilkan perbandingan data terkait dari beberapa negara, termasuk Indonesia, baik negara yang dianggap berhasil mengangkat ekonominya melalui sains dan teknologi maupun negara yang dianggap gagal. Dijelaskan juga faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan dan keberhasilan negara-negara tersebut. Secara ringkas, faktor penentu keberhasilan yang disorot di sini adalah Total Factor Productivity (TFP).

Bagian terakhir menampilkan empat skenario Indonesia pada 2045 setelah kemerdekaan Indonesia berusia 100 tahun. Bagian ini sebenarnya yang paling penting untuk dibahas.

Skenario Indonesia pada 2045

Empat skenario yang mungkin terjadi disampaikan dalam bentuk metafora unggas agar lebih mudah dipahami. Dimulai dari skenario terbaik, empat skenario tersebut adalah: ”Garuda Terbang Tinggi”; ”Alap-alap Terkurung”; ”Burung Hantu di Siang Hari”; serta ”Bebek Lumpuh”.

”Garuda Terbang Tinggi” adalah yang didambakan terjadi setelah 100 tahun kemerdekaan. Selain melambangkan kekuatan dan akurasi, kemampuan burung garuda untuk terbang tinggi menunjukkan kebebasan Indonesia dalam membuat keputusan strategis secara mandiri. Dalam skenario ini perguruan tinggi (PT) kita mampu memenuhi permintaan pasar, baik dari segi lulusan maupun sisi output penelitian. Dengan dana riset nasional sebesar 2,0-3,0 persen dari produk domestik bruto (PDB), perguruan tinggi mampu untuk merekrut anggota staf yang sangat kompeten di bidangnya. Di sisi lain, perekonomian tumbuh pesat dan bersifat inklusif.

Dalam keadaan bebas, ”Burung Alap-alap” memiliki kekuatan, kecepatan, dan kecermatan luar biasa dalam berburu. Namun, prestasi itu tidak berguna jika ia terkurung. Skenario ini terjadi jika pertumbuhan ekonomi kuat dan inklusif, tetapi PT tidak mampu memenuhi permintaan pasar. Ekonomi menjadi kuat karena Indonesia berhasil menciptakan lingkungan bisnis/industri yang sehat, bebas dari monopoli, kartel ataupun korupsi. 

Namun, di sisi lain, karena PT kurang mampu meyakinkan masyarakat dan pemerintah, anggaran riset hanya berkisar 0,5-1,0 persen dari PDB.
”Burung Hantu” memiliki ketajaman luar biasa untuk melihat mangsanya dalam kegelapan. Namun, kemampuan luar biasa ini tidak ada gunanya di siang hari. Skenario ini akan terjadi jika PT mampu memenuhi permintaan pasar, tetapi ekonomi lemah dan eksklusif. Yang terakhir ini diakibatkan kegagalan Indonesia dalam menciptakan ekonomi yang bersih dari praktik monopoli, kartel serta korupsi. Dalam keadaan seperti ini, kontribusi PDB pada riset hanya berkisar 0,5 persen.

Skenario terakhir adalah ”Bebek Lumpuh”. Dalam keadaan sehat sekalipun sulit mengharapkan bebek untuk terbang tinggi, apalagi dalam keadaan lumpuh. Skenario ini adalah skenario terburuk yang akan kita hadapi jika PT tidak dapat memenuhi kebutuhan industri, sementara ekonomi lemah dan tidak bersifat inklusif. Kontribusi TFP yang nihil pada perekonomian, rendahnya pendapatan per kapita, serta tingkat kemiskinan tinggi merupakan penciri dari skenario ini.

Kritik terhadap ”Buku Putih AIPI”

Buku Putih AIPI merupakan pemikiran visioner dari banyak cendekia yang merupakan masukan tak ternilai bagi pemerintah, jika kita ingin nasib Indonesia tidak seperti bebek lumpuh di tahun 2045. Namun, tak ada gading yang tak retak. Dalam era yang serba pragmatis seperti sekarang, saya meragukan pemikiran visioner ini akan cepat ditanggapi pemerintah.

Apa yang masih kurang pada masyarakat kita, termasuk juga pemerintah, adalah literasi sains, dalam artian keyakinan bahwa sains memang diperlukan dalam memperbaiki nasib bangsa. Menjadi tugas AIPI serta para pelaku sains lainnya untuk menjelaskan terlebih dahulu ke masyarakat, betapa sains telah memberikan sumbangan penting bagi kenyamanan hidup manusia. Misalnya, tidak banyak yang tahu jika temuan lampu LED putih yang dapat menghemat energi secara ekstrem didasari oleh teori kuantum untuk pita-pita energi dalam semikonduktor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar