Jumat, 27 April 2018

Fase Oral Kepemimpinan Nasional

Fase Oral Kepemimpinan Nasional
Herry Tjahjono ;  CEO Sebuah Grup Perusahaan Swasta di Jakarta
                                                         KOMPAS, 26 April 2018



                                                           
Dinamika gegap gempitanya dimensi kepemimpinan nasional yang didominasi oleh saling cakar kekuasaan, korupsi, serta perang kata (baik ucapan maupun tulisan) antarpemimpin yang sangat sarkastis—dan bahkan tanpa etika—sangat menarik jika dibahas dari aspek psikologi, tepatnya psikoseksual. Media sosial, salah satunya, menjadi ajang perang kata yang jauh melenceng dari nilai-nilai santun dan mulia bangsa kita, baik yang tertuang dalam ajaran leluhur, Pancasila, maupun agama.

Konsep dari Freud sangat relevan untuk membahas fenomena ini. Merujuk dan mengadaptasi Yuanita Wardianti dan Dian Mayasari (”Pengaruh Fase Oral terhadap Perkembangan Anak”, Jurnal Bimbingan dan Konseling Indonesia Volume 1 Nomor 2 bulan September, 2016), dijelaskan bahwa Freud membagi tahap perkembangan kepribadian menjadi tiga; tahap infantil (0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan fase genital (12-dewasa).

Warisan Orde Baru

Tahap infantil adalah tahap yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian. Tahap ini terbagi jadi tiga fase:  fase oral, fase anal, fase falis. Khususnya fase oral, sangat relevan untuk dibahas sesuai konteks tulisan ini. Mulut menjadi  area utama  aktivitas dinamis, merupakan area kepuasan seksual yang dipilih oleh insting seksual. Makan dan minum menjadi sumber kenikmatan. Rangsangan oral diperoleh melalui aktivitas mencicipi atau mengisap.

Singkatnya, ada satu kondisi spesifik yang kurang kondusif dalam  fase oral ini jika dikaitkan dengan konteks tulisan ini. Kondisi terjadinya  ketidakpuasan pada fase oral yang berdampak pada masa dewasa: seseorang akan tak pernah puas, tamak (memakan apa saja) dalam mengumpulkan harta. Juga terjadinya sebuah kondisi yang disebut oral aggression personality : gemar  berdebat,  menggunjingkan orang, sampai berkata-kata kotor dan sarkastis.

Sampai di sini tema ini semakin menarik sebab kita akan menelaahnya secara psikologi historis-simbolis, utamanya terkait masa kepemimpinan otoriter Orde Baru (Orba), yang paling dominan berkuasa dan membentuk psikologi massa selama 30 tahun lebih. Jika pemerintah Orba disimbolkan  sebagai seorang ibu, generasi pemimpin yang relatif masih kecil  selama kekuasaan Orba itu kini berusia sekitar 40 tahun ke atas.

Maka, kita akan mulai melihat betapa generasi pemimpin masa sekarang ini mengalami ketidakpuasan masa oral terhadap penguasa masa lalu: tak pernah puas (terkait kekuasaan), tamak mengumpulkan harta (korupsi dalam berbagai bentuknya), juga dilanda oral aggression personality yang nyaris sempurna : gemar  berdebat (lihatlah dalam beberapa acara TV tertentu, raja debat yang agresif kasar sekaligus memamerkan kebodohan),  menggunjingkan orang lain sampai berkata-kata kotor dan sarkastis (baik sesama pemimpin bahkan pada pemerintah yang sah).

Kenapa tugas perkembangan fase oral secara simbolis tak bisa dilalui dengan baik oleh generasi pemimpin tersebut? Karena, secara politis, pemerintah waktu itu memang tak pernah membiarkan para anak muda calon pemimpin itu menjalani ”masa oral”-nya dengan baik. Masa oral secara simbolis itu adalah pemenuhan kebutuhan untuk menerima teladan kepemimpinan yang ideal, suasana demokratis yang optimal, serta  praktik berbangsa bernegara yang bersih. Generasi pemimpin itu disapih (baca:  tak bisa menjalani fase oralnya dengan wajar dan baik), ketika mereka justru menerima dan meneladani kepemimpinan yang otoriter, suasana kehidupan yang represif, serta praktik berbangsa bernegara dipenuhi KKN.

Membangun sejarah

Kini jadi jelas, kenapa generasi pemimpin sekarang didominasi oleh perilaku kepemimpinan yang haus akan kekuasaan, tamak melakukan korupsi, serta sangat agresif, sarkastis ketika menyerang orang lain. Mereka adalah generasi yang gagal memenuhi tugas perkembangan simbolis fase oralnya. Sekali lagi, panorama kehidupan berbangsa kita dewasa ini hanya dipenuhi oleh berita korupsi serta agresivitas sarkastis  tak beretika dalam komunikasi kepemimpinan nasional. Dan, eksesnya, masyarakat di aras horizontal akhirnya meniru, mengimitasi semua perilaku kepemimpinan yang terjadi.

Itu sebabnya model kepemimpinan yang kini dikembangkan oleh Presiden Joko Widodo sesungguhnya representasi simbolis seorang ”ibu” yang sedang menyusui anak-anak kecil/remaja, di mana dua, tiga, atau empat dekade lagi mereka akan jadi pemimpin bangsa. Gaya kepemimpinannya yang cenderung ideal (melayani dan merakyat), suasana kehidupan yang demokratis serta upaya tak kenal lelah pemberantasan korupsi, termasuk peneladanan hidup bersih (tidak KKN, dimulai dari keluarga presiden sendiri), akan menjadi peluang terbaik agar generasi pemimpin masa depan kita mampu menjalani tugas perkembangan simbolis fase oralnya dengan baik bahkan sempurna.

Nuansa kepemimpinan serta pemerintahan ini diharapkan jadi antitesis pemerintahan Orba. Tentu saja ini bukan tugas ringan. Namun, perjuangan yang tengah dilakukan di masa kini adalah demi persiapan benih-benih baik dan unggul kepemimpinan masa depan. Maka, pencanangan pemerintah untuk fokus pada pembangunan sumber daya manusia di 2019 menemukan aksentuasinya.

Saya kira saat ini Presiden Jokowi tengah membangun sejarah, utamanya sejarah kepemimpinan masa depan dengan cara membantu dan mendampingi generasi pemimpin masa depan melewati tugas perkembangan simbolis fase oralnya dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar