Fase
Oral Kepemimpinan Nasional
Herry Tjahjono ; CEO Sebuah Grup Perusahaan Swasta di Jakarta
|
KOMPAS,
26 April
2018
Dinamika gegap gempitanya
dimensi kepemimpinan nasional yang didominasi oleh saling cakar kekuasaan,
korupsi, serta perang kata (baik ucapan maupun tulisan) antarpemimpin yang
sangat sarkastis—dan bahkan tanpa etika—sangat menarik jika dibahas dari
aspek psikologi, tepatnya psikoseksual. Media sosial, salah satunya, menjadi
ajang perang kata yang jauh melenceng dari nilai-nilai santun dan mulia
bangsa kita, baik yang tertuang dalam ajaran leluhur, Pancasila, maupun
agama.
Konsep dari Freud sangat
relevan untuk membahas fenomena ini. Merujuk dan mengadaptasi Yuanita Wardianti
dan Dian Mayasari (”Pengaruh Fase Oral terhadap Perkembangan Anak”, Jurnal
Bimbingan dan Konseling Indonesia Volume 1 Nomor 2 bulan September, 2016),
dijelaskan bahwa Freud membagi tahap perkembangan kepribadian menjadi tiga;
tahap infantil (0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan fase genital
(12-dewasa).
Warisan
Orde Baru
Tahap infantil adalah
tahap yang paling menentukan dalam membentuk kepribadian. Tahap ini terbagi
jadi tiga fase: fase oral, fase anal,
fase falis. Khususnya fase oral, sangat relevan untuk dibahas sesuai konteks
tulisan ini. Mulut menjadi area
utama aktivitas dinamis, merupakan
area kepuasan seksual yang dipilih oleh insting seksual. Makan dan minum
menjadi sumber kenikmatan. Rangsangan oral diperoleh melalui aktivitas
mencicipi atau mengisap.
Singkatnya, ada satu
kondisi spesifik yang kurang kondusif dalam
fase oral ini jika dikaitkan dengan konteks tulisan ini. Kondisi
terjadinya ketidakpuasan pada fase
oral yang berdampak pada masa dewasa: seseorang akan tak pernah puas, tamak
(memakan apa saja) dalam mengumpulkan harta. Juga terjadinya sebuah kondisi
yang disebut oral aggression personality : gemar berdebat,
menggunjingkan orang, sampai berkata-kata kotor dan sarkastis.
Sampai di sini tema ini
semakin menarik sebab kita akan menelaahnya secara psikologi
historis-simbolis, utamanya terkait masa kepemimpinan otoriter Orde Baru
(Orba), yang paling dominan berkuasa dan membentuk psikologi massa selama 30
tahun lebih. Jika pemerintah Orba disimbolkan
sebagai seorang ibu, generasi pemimpin yang relatif masih kecil selama kekuasaan Orba itu kini berusia
sekitar 40 tahun ke atas.
Maka, kita akan mulai
melihat betapa generasi pemimpin masa sekarang ini mengalami ketidakpuasan
masa oral terhadap penguasa masa lalu: tak pernah puas (terkait kekuasaan),
tamak mengumpulkan harta (korupsi dalam berbagai bentuknya), juga dilanda
oral aggression personality yang nyaris sempurna : gemar berdebat (lihatlah dalam beberapa acara TV
tertentu, raja debat yang agresif kasar sekaligus memamerkan kebodohan), menggunjingkan orang lain sampai
berkata-kata kotor dan sarkastis (baik sesama pemimpin bahkan pada pemerintah
yang sah).
Kenapa tugas perkembangan
fase oral secara simbolis tak bisa dilalui dengan baik oleh generasi pemimpin
tersebut? Karena, secara politis, pemerintah waktu itu memang tak pernah
membiarkan para anak muda calon pemimpin itu menjalani ”masa oral”-nya dengan
baik. Masa oral secara simbolis itu adalah pemenuhan kebutuhan untuk menerima
teladan kepemimpinan yang ideal, suasana demokratis yang optimal, serta praktik berbangsa bernegara yang bersih. Generasi
pemimpin itu disapih (baca: tak bisa
menjalani fase oralnya dengan wajar dan baik), ketika mereka justru menerima
dan meneladani kepemimpinan yang otoriter, suasana kehidupan yang represif,
serta praktik berbangsa bernegara dipenuhi KKN.
Membangun
sejarah
Kini jadi jelas, kenapa
generasi pemimpin sekarang didominasi oleh perilaku kepemimpinan yang haus
akan kekuasaan, tamak melakukan korupsi, serta sangat agresif, sarkastis
ketika menyerang orang lain. Mereka adalah generasi yang gagal memenuhi tugas
perkembangan simbolis fase oralnya. Sekali lagi, panorama kehidupan berbangsa
kita dewasa ini hanya dipenuhi oleh berita korupsi serta agresivitas
sarkastis tak beretika dalam
komunikasi kepemimpinan nasional. Dan, eksesnya, masyarakat di aras horizontal
akhirnya meniru, mengimitasi semua perilaku kepemimpinan yang terjadi.
Itu sebabnya model
kepemimpinan yang kini dikembangkan oleh Presiden Joko Widodo sesungguhnya
representasi simbolis seorang ”ibu” yang sedang menyusui anak-anak
kecil/remaja, di mana dua, tiga, atau empat dekade lagi mereka akan jadi
pemimpin bangsa. Gaya kepemimpinannya yang cenderung ideal (melayani dan
merakyat), suasana kehidupan yang demokratis serta upaya tak kenal lelah
pemberantasan korupsi, termasuk peneladanan hidup bersih (tidak KKN, dimulai
dari keluarga presiden sendiri), akan menjadi peluang terbaik agar generasi
pemimpin masa depan kita mampu menjalani tugas perkembangan simbolis fase
oralnya dengan baik bahkan sempurna.
Nuansa kepemimpinan serta
pemerintahan ini diharapkan jadi antitesis pemerintahan Orba. Tentu saja ini
bukan tugas ringan. Namun, perjuangan yang tengah dilakukan di masa kini
adalah demi persiapan benih-benih baik dan unggul kepemimpinan masa depan.
Maka, pencanangan pemerintah untuk fokus pada pembangunan sumber daya manusia
di 2019 menemukan aksentuasinya.
Saya kira saat ini
Presiden Jokowi tengah membangun sejarah, utamanya sejarah kepemimpinan masa
depan dengan cara membantu dan mendampingi generasi pemimpin masa depan
melewati tugas perkembangan simbolis fase oralnya dengan sebaik-baiknya dan
sehormat-hormatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar