Kamis, 26 April 2018

Ketika Kesetaraan (Belum) Bermakna Bisnis

Ketika Kesetaraan (Belum) Bermakna Bisnis
Shinta Widjaja Kamdani ;  Presiden Indonesia Business Coalition
for Women Empowerment (IBCWE)
                                                         KOMPAS, 21 April 2018



                                                           
Kesetaraan berarti bisnis. Demikian motto sekaligus inti harapan pelak- sanaan Prinsip – prinsip Pemberdayaan Perempuan (Women Empower -ment Principles (WEPs).  WEPs menyediakan serangkaian pertimbangan yang membantu sektor swasta fokus pada elemen-elemen kunci yang tidak terpisahkan untuk mempromosikan kesetaraan gender di tempat kerja, pasar, dan masyarakat.

Kesetaraan gender

Kehadiran WEPs dilatarbelakangi oleh tren sejumlah hasil riset yang mengafirmasi dampak kesetaraan gender bagi roda perekonomian, mulai dari tingkat perusahaan sampai global. MSCI Environmental Social and Governance (ESG) menunjukkan, perusahaan di MSCI World Index dengan kepemimpinan perempuan yang kuat berhasil membukukan laba bersih 10,1 persen setiap tahun dibanding 7,4 persen yang tanpa kepemimpinan perempuan. McKinsey Global Report 2015 mengklaim akan adanya tambahan 26 persen atau setara 12 triliun dollar AS pada Produk Domestik Bruto (PDB) global di tahun 2025 bila kesetaraan gender berhasil dinaikkan.

Tingginya tingkat keraguan publik pelaku bisnis terhadap inisiatif eksternal yang menjadi alat pengukur kesetaraan gender dalam operasional perusahaan ini antara lain terlihat dari masih rendahnya perusahaan yang mengadopsi WEPs. Dirilis pada Maret 2010 oleh UN Women dan UN Global Compact (UNGC), WEPs baru diadopsi oleh sekitar 1.800 dari jutaan pemimpin bisnis di dunia.

Maka, untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana perusahaan-perusahaan papan atas di Indonesia menerapkan WEPs, Koalisi Bisnis untuk Pemberdayaan Perempuan Indonesia atau Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menginisiasi sebuah survei dasar yang hasilnya disampaikan kepada publik sebagai kontribusi atas Prinsip Ke-7 dari WEPs (mengukur dan melaporkan secara publik tentang kemajuan upaya mencapai kesetaraan gender).

Bersama UN Women dan Indonesia Global Compact Network (IGCN), survei mengambil sampel 50 perusahaan ternama dari sejumlah industri dengan kriteria terdaftar di bursa efek atau memiliki minimal 500 pekerja, masa beroperasi minimal tujuh tahun, dan wilayah operasi sedikitnya di dua kota di Indonesia.

Berikut temuan dari hasil kajian. Prinsip 1: menciptakan kepemimpinan tingkat tinggi di perusahaan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Sejumlah 88 persen perusahaan memiliki kepemimpinan perempuan di Badan Pengelola Tertinggi dengan 57 persen di antaranya dalam porsi rata-rata 35 persen. Proses elaborasi mengarah pada tiga bidang di mana perempuan tampil sebagai pimpinan yaitu keuangan, hukum, dan divisi SDM. Sementara, perempuan di tingkat direktur utama atau Chief Executive Officer (CEO) hanya 12 persen atau di 4-5 perusahaan saja.

Prinsip 2: memperlakukan semua perempuan dan laki-laki secara adil di tempat kerja, menghormati dan mendukung hak-hak asasi manusia dan non-diskriminatif. Sekitar 70 persen responden memberikan kebijakan untuk mempertahankan pekerja perempuan, terbatas pada pemenuhan rekomendasi minimum oleh pemerintah semacam penyediaan ruang laktasi. Sementara 25 persen memberikan kebijakan khusus untuk mendorong peluang peningkatan karier yang setara bagi perempuan, dan 5 persen melakukan pemeringkatan gaji setara untuk pekerja laki- laki dan perempuan berdasar inisiatif tingkat global.

Prinsip 3: memastikan kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan untuk semua pekerja perempuan dan laki-laki. Prinsip ini diimplementasikan secara baik di kalangan perusahaan responden melalui temuan 95 persen perusahaan menyatakan memiliki kebijakan yang tak menoleransi kekerasan dan pelecehan, 48 persen secara spesifik menyebutkan kebijakan anti pelecehan seksual dan kekerasan, 52 persen memiliki komite yang khusus menangani kasus kekerasan dan pelecehan di perusahaan mereka.

Prinsip 4: mengadakan pendidikan, pelatihan dan pengembangan profesional kepada perempuan. Hanya 33 persen responden mengadakan program khusus untuk menaikkan jumlah perempuan di posisi-posisi kunci, dan 27 persen yang menggelar pelatihan khusus bagi pekerja perempuan agar bisa terus bertahan di angkatan kerja sesuai perkembangan tingkatan karier mereka. Hal ini menandakan masih rendahnya perhatian perusahaan terhadap upaya mendukung kesetaraan gender lewat penguatan kapasitas untuk capai keberagaman di perusahaan.

Prinsip 5: menerapkan praktik-praktik pengembangan perusahaan, rantai pasokan, dan pemasaran yang memberdayakan perempuan. Masih rendahnya kesadaran akan bentuk dan tingkat keterlibatan perempuan pada upaya mengembangkan perusahaan seperti di rantai pasokan dan pemasaran adalah kesimpulan atas hasil 85 persen perusahaan mengaku tak melakukan evaluasi dampak berbeda antara laki-laki dan perempuan saat mengembangkan produk atau layanan.

Prinsip 6: mendukung kesetaraan melalui inisiatif komunitas dan advokasi. Kesadaran perusahaan mengembangkan program tanggung jawab perusahaan yang berdampak pada kualitas hidup perempuan tampak pada capaian 38 persen responden secara khusus menargetkan perempuan sebagai kelompok penerima manfaat dari kegiatan CSR mereka.

Prinsip 7: mengukur dan melaporkan kepada publik kemajuan upaya mencapai kesetaraan gender. Lebih dari separuh responden (58 persen) mempublikasikan keberagaman di dewan perusahaan, 42 persen memiliki kebijakan sekaligus perencanaan pelaksanaan mendukung kesetaraan gender.

Pemangku kepentingan

Survei ini tentu belum bisa dinyatakan mewakili persepsi seluruh perusahaan di Indonesia. Namun setidaknya dapat memberikan gambaran awal bagaimana kesetaraan gender dipersepsikan dan diimplementasikan di kalangan bisnis Tanah Air. Masih panjangnya upaya yang harus ditempuh untuk mencapai kesetaraan sebagai bisnis ditandai oleh prediksi World Economic Forum 2017 dalam laporan kesenjangan gender global. Untuk menutup kesenjangan penghasilan antar gender dan kesempatan bekerja antara laki-laki dan perempuan saja, masih butuh 217 tahun.

Kompleksnya tantangan yang dihadapi membutuhkan kerja sama semua pemangku kepentingan seperti sektor privat, publik, dan masyarakat. Jika tantangan ini berhasil ditaklukkan, iming-iming ‘kue besar’ dari tambahan 12 triliun dollar AS di PDB global tujuh tahun ke depan bukan mustahil dinikmati bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar