Ketika
Kesetaraan (Belum) Bermakna Bisnis
Shinta Widjaja Kamdani ; Presiden Indonesia Business Coalition
for Women Empowerment (IBCWE)
|
KOMPAS,
21 April
2018
Kesetaraan berarti bisnis.
Demikian motto sekaligus inti harapan pelak- sanaan Prinsip – prinsip
Pemberdayaan Perempuan (Women Empower -ment Principles (WEPs). WEPs menyediakan serangkaian pertimbangan
yang membantu sektor swasta fokus pada elemen-elemen kunci yang tidak terpisahkan
untuk mempromosikan kesetaraan gender di tempat kerja, pasar, dan masyarakat.
Kesetaraan
gender
Kehadiran WEPs dilatarbelakangi
oleh tren sejumlah hasil riset yang mengafirmasi dampak kesetaraan gender
bagi roda perekonomian, mulai dari tingkat perusahaan sampai global. MSCI
Environmental Social and Governance (ESG) menunjukkan, perusahaan di MSCI
World Index dengan kepemimpinan perempuan yang kuat berhasil membukukan laba
bersih 10,1 persen setiap tahun dibanding 7,4 persen yang tanpa kepemimpinan
perempuan. McKinsey Global Report 2015 mengklaim akan adanya tambahan 26
persen atau setara 12 triliun dollar AS pada Produk Domestik Bruto (PDB)
global di tahun 2025 bila kesetaraan gender berhasil dinaikkan.
Tingginya tingkat keraguan publik
pelaku bisnis terhadap inisiatif eksternal yang menjadi alat pengukur
kesetaraan gender dalam operasional perusahaan ini antara lain terlihat dari
masih rendahnya perusahaan yang mengadopsi WEPs. Dirilis pada Maret 2010 oleh
UN Women dan UN Global Compact (UNGC), WEPs baru diadopsi oleh sekitar 1.800
dari jutaan pemimpin bisnis di dunia.
Maka, untuk mengetahui dan
mengukur sejauh mana perusahaan-perusahaan papan atas di Indonesia menerapkan
WEPs, Koalisi Bisnis untuk Pemberdayaan Perempuan Indonesia atau Business
Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menginisiasi sebuah survei dasar yang
hasilnya disampaikan kepada publik sebagai kontribusi atas Prinsip Ke-7 dari
WEPs (mengukur dan melaporkan secara publik tentang kemajuan upaya mencapai
kesetaraan gender).
Bersama UN Women dan Indonesia
Global Compact Network (IGCN), survei mengambil sampel 50 perusahaan ternama
dari sejumlah industri dengan kriteria terdaftar di bursa efek atau memiliki
minimal 500 pekerja, masa beroperasi minimal tujuh tahun, dan wilayah operasi
sedikitnya di dua kota di Indonesia.
Berikut temuan dari hasil kajian.
Prinsip 1: menciptakan kepemimpinan tingkat tinggi di perusahaan untuk
mewujudkan kesetaraan gender. Sejumlah 88 persen perusahaan memiliki
kepemimpinan perempuan di Badan Pengelola Tertinggi dengan 57 persen di
antaranya dalam porsi rata-rata 35 persen. Proses elaborasi mengarah pada
tiga bidang di mana perempuan tampil sebagai pimpinan yaitu keuangan, hukum,
dan divisi SDM. Sementara, perempuan di tingkat direktur utama atau Chief
Executive Officer (CEO) hanya 12 persen atau di 4-5 perusahaan saja.
Prinsip 2: memperlakukan semua
perempuan dan laki-laki secara adil di tempat kerja, menghormati dan
mendukung hak-hak asasi manusia dan non-diskriminatif. Sekitar 70 persen
responden memberikan kebijakan untuk mempertahankan pekerja perempuan,
terbatas pada pemenuhan rekomendasi minimum oleh pemerintah semacam
penyediaan ruang laktasi. Sementara 25 persen memberikan kebijakan khusus
untuk mendorong peluang peningkatan karier yang setara bagi perempuan, dan 5
persen melakukan pemeringkatan gaji setara untuk pekerja laki- laki dan
perempuan berdasar inisiatif tingkat global.
Prinsip 3: memastikan kesehatan,
keamanan, dan kesejahteraan untuk semua pekerja perempuan dan laki-laki.
Prinsip ini diimplementasikan secara baik di kalangan perusahaan responden
melalui temuan 95 persen perusahaan menyatakan memiliki kebijakan yang tak
menoleransi kekerasan dan pelecehan, 48 persen secara spesifik menyebutkan
kebijakan anti pelecehan seksual dan kekerasan, 52 persen memiliki komite
yang khusus menangani kasus kekerasan dan pelecehan di perusahaan mereka.
Prinsip 4: mengadakan pendidikan,
pelatihan dan pengembangan profesional kepada perempuan. Hanya 33 persen
responden mengadakan program khusus untuk menaikkan jumlah perempuan di
posisi-posisi kunci, dan 27 persen yang menggelar pelatihan khusus bagi
pekerja perempuan agar bisa terus bertahan di angkatan kerja sesuai
perkembangan tingkatan karier mereka. Hal ini menandakan masih rendahnya
perhatian perusahaan terhadap upaya mendukung kesetaraan gender lewat
penguatan kapasitas untuk capai keberagaman di perusahaan.
Prinsip 5: menerapkan
praktik-praktik pengembangan perusahaan, rantai pasokan, dan pemasaran yang
memberdayakan perempuan. Masih rendahnya kesadaran akan bentuk dan tingkat
keterlibatan perempuan pada upaya mengembangkan perusahaan seperti di rantai
pasokan dan pemasaran adalah kesimpulan atas hasil 85 persen perusahaan
mengaku tak melakukan evaluasi dampak berbeda antara laki-laki dan perempuan
saat mengembangkan produk atau layanan.
Prinsip 6: mendukung kesetaraan
melalui inisiatif komunitas dan advokasi. Kesadaran perusahaan mengembangkan
program tanggung jawab perusahaan yang berdampak pada kualitas hidup
perempuan tampak pada capaian 38 persen responden secara khusus menargetkan
perempuan sebagai kelompok penerima manfaat dari kegiatan CSR mereka.
Prinsip 7: mengukur dan melaporkan
kepada publik kemajuan upaya mencapai kesetaraan gender. Lebih dari separuh
responden (58 persen) mempublikasikan keberagaman di dewan perusahaan, 42
persen memiliki kebijakan sekaligus perencanaan pelaksanaan mendukung
kesetaraan gender.
Pemangku
kepentingan
Survei ini tentu belum bisa
dinyatakan mewakili persepsi seluruh perusahaan di Indonesia. Namun setidaknya
dapat memberikan gambaran awal bagaimana kesetaraan gender dipersepsikan dan
diimplementasikan di kalangan bisnis Tanah Air. Masih panjangnya upaya yang
harus ditempuh untuk mencapai kesetaraan sebagai bisnis ditandai oleh
prediksi World Economic Forum 2017 dalam laporan kesenjangan gender global.
Untuk menutup kesenjangan penghasilan antar gender dan kesempatan bekerja
antara laki-laki dan perempuan saja, masih butuh 217 tahun.
Kompleksnya tantangan yang
dihadapi membutuhkan kerja sama semua pemangku kepentingan seperti sektor
privat, publik, dan masyarakat. Jika tantangan ini berhasil ditaklukkan,
iming-iming ‘kue besar’ dari tambahan 12 triliun dollar AS di PDB global
tujuh tahun ke depan bukan mustahil dinikmati bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar