Jumat, 27 April 2018

Caleg Mantan Koruptor

Caleg Mantan Koruptor
Khairul Fahmi ;  Dosen Hukum Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
                                              MEDIA INDONESIA, 26 April 2018



                                                           
SEBUAH langkah progresif guna memastikan setiap bakal calon wakil rakyat bebas dari catatan korupsi tengah dirancang Komisi Pemilihan Umum (KPU). Institusi penyelenggara pemilu ini hendak mengadopsi syarat bahwa calon anggota legislatif haruslah orang yang tidak pernah dijatuhi pidana korupsi. Suatu upaya yang patut diapresiasi guna menjaga integritas calon yang akan dipilih rakyat. Bagaimanapun, korupsi merupakan masalah serius yang harus ditangani dari semua lini, termasuk pada proses rekrutmen calon penyelenggara negara melalui pmilu.

Sebagai proses rekrutmen, pemilu harus dijadikan sarana memilih orang-orang berkualitas dan berintegritas. Hak pilih rakyat dalam pemilu mesti dipastikan tersalur pada calon-calon yang diyakini memiliki catatan baik dan dapat dipercaya untuk memegang amanah.

Agar maksud itu tercapai, intervensi regulasi pemilu amat dibutuhkan. Aturan pemilu, khususnya terkait dengan syarat calon idealnya didesain sedemikian rupa agar yang akan terpilih ialah person-person dengan kualifikasi tinggi dan integritas yang terjaga. Pada ranah ini, pilihan kebijakan yang akan diambil KPU sesungguhnya sudah di atas rasionalitas nilai yang dikehendaki Pembukaan UUD 1945.

Perlu pembatasan

Secara lebih konkret, pilihan kebijakan membatasi hak pilih mantan terpidana korupsi dapat didasarkan pada beberapa alasan yang cukup mendasar. Pertama, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan kedaulatan itu dimanifestasikan dengan memberikan suara dalam pemilu.

Pelaksanaan pemberian suara membutuhkan pengawalan hukum. Tanpa intervensi hukum, kontestasi pemilu akan cenderung bergerak ke arah yang sangat liar. Pemilu akan dikendali orang-orang yang memiliki uang dan sumber daya. Dalam situasi seperti itu, praktik korupsi politik dalam wujud patronase akan sangat mudah terjadi.

Dengan patronase atau politik uang, rasionalitas rakyat sebagai pemegang hak pilih akan dengan mudah diubah orientasinya. Disorientasi pemilih akan menyebabkan pemberian suara tidak lagi mempertimbangkan siapa dan bagaimana rekam jejak seorang calon.

Faktanya, wajah ketidakjelasan orientasi pemilih sudah sangat nyata sehingga mengintervensi mekanisme pencalonan dengan menetapkan batas-batas tertentu amat diperlukan. Lebih-lebih untuk syarat yang berhubungan dengan integritas dan kesetiaan pada amanat penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kedua, dari aspek regulasi, rencana kebijakan KPU mendapat alasan pembenar dari semangat yang terkandung dalam UU No 7/2017. Dalam UU tersebut, khususnya terkait dengan syarat calon presiden dan wakil presiden diatur bahwa seseorang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi tidak memenuhi syarat sebagai calon presiden. Syarat dimaksud diatur secara bersamaan dengan syarat tidak pernah mengkhianati negara.

Dua syarat itu dimuat dalam satu rumusan norma. Artinya, korupsi diposisikan sebagai salah bentuk kejahatan yang berhubungan dengan pengkhianatan terhadap negara. Dikatakan demikian karena kejahatan korupsi merupakan bentuk penyelewengan terhadap amanah jabatan yang diemban. Ketika terbukti korupsi, si pelaku dianggap telah mengkhianati negara.

Sekalipun secara normatif syarat itu baru sebatas ditentukan bagi calon presiden dan wakil presiden, karena jabatan anggota DPR, DPD, dan DPRD juga merupakan jabatan yang dipilih dalam pemilu, maka beralasan pula untuk menerapkan batasan tersebut bagi calon anggota legislatif.

Selain itu, jabatan anggota legislatif juga membutuhkan kepercayaan tinggi karena peran pentingnya dalam memutus kebijakan-kebijakan strategis negara. Dengan begitu, yang akan dipilih pada jabatan itu haruslah orang yang tidak pernah mengkhianati negara dalam berbagai bentuknya, termasuk korupsi.

Ketiga, dari aspek pengalaman pemilu dan pilkada, banyak di antara orang-orang yang pernah dinyatakan bersalah melakukan korupsi mencalonkan diri dan terpilih kembali. Di antara yang terpilih, ternyata ia mengulangi kembali kejahatan yang pernah dilakukan.

Dalam konteks itu, penilaian bahwa orang yang pernah menyalahgunakan jabatan sangat potensial mengulangi kembali kejahatan yang sama benar adanya. Pengalaman tertangkap tangannya anggota DPRD Jawa Timur oleh KPK pada 2017 lalu merupakan fakta yang membenarkan hal itu. Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur itu juga mantan terpidana korupsi ketika menjabat sebagai anggota DPRD tingkat kota sebelumnya.

Kasus ini patut menjadi pembelajaran untuk mempertimbangkan lebih jauh arti penting pembatasan terhadap hak untuk menjadi kandidat bagi orang yang pernah melakukan korupsi.

Rasionalitas nilai

Sekalipun rencana membatasi hak pilih mantan terpidana korupsi didasarkan pada rasionalitas nilai yang jelas, rencana itu diperkirakan tidak akan berjalan mulus. Sebab, ketika niat tersebut diungkap melalui uji publik, nada penolakan dari sejumlah partai politik sudah muncul.

Alasannya sudah dapat ditebak. UU Pemilu tidak mempersyaratkan itu bagi caleg, dan MK dalam putusannya juga membolehkan mantan terpidana yang dihukum atas tuntutan pidana penjara minimal lima tahun mencalonkan kembali sejak selesai menjalani hukuman.

Tidak sebatas itu, argumen seperti bahwa mantan terpidana telah menebus kesalahannya dengan menjalani hukum dan tidak layak lagi untuk ditambah hukumannya dengan pembatasan hak pilih juga akan digunakan. Bahkan, alasan bahwa pembatasan hak hanya dapat dilakukan melalui UU sesuai Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 juga akan menyertai perlawanan terhadap kebijakan hukum yang hendak diintroduksi ke dalam peraturan KPU tersebut.

Dengan menggunakan alur berpikir rasionalitas formal, barangkali rencana pemuatan syarat dimaksud oleh KPU memang mengandung kelemahan. Namun, dari segi bahwa bangsa ini butuh penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kebijakan itu justru memiliki pijakan nilai moral yang sangat kuat. Lebih-lebih, saat ini DPR maupun partai politik memiliki tingkat kepercayaan yang sangat rendah dalam hal bersih dari praktik korupsi.

Dengan mengadopsi syarat tidak pernah dihukum karena korupsi atau setidaknya telah selesai menjalani hukum pidana karena melakukan korupsi sekurang-kurangnya 10 tahun, harapan agar lembaga perwakilan diisi orang-orang baik, berkualitas, dan berintegritas dapat dipenuhi.

Oleh karena itu, betapapun tajamnya perbedaan pendapat ihwal rencana memuat syarat caleg bukan mantan koruptor, nilai dan harapan agar lembaga negara diisi orang-orang berintegritas dan bersih dari catatan korupsi tetap harus lebih diutamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar