Nasionalisme,
Sekali Bangkit Tak Padam Lagi
Bambang Hidayat ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
26 April
2018
Tentara Kerajaan (Belanda)
di Indonesia (Koninklijk Nederlands
Indisch Leger/KNIL) mendominasi serbuan ke Bandung pada akhir Januari
1950. Lebih dari 60 persen bintara dan tamtama KNIL terdiri atas warga
Nusantara. Anggota satuan inti tersebut
hanya 50 000 sampai 60 000 orang.
Kelompok tersebut tidak
dapat ditempeli stigma bersalah karena proses penerimaan tentara zaman itu
telah menetapkan garis rasisme bahwa satuan tentara kolonial harus diawaki
warga yang setia (kepada Ratu dan negeri Belanda) dan harus pria berwajah
keras berperilaku siap perang atau berkelahi.
Doktrin militer (baca:
marsose) dari perang Aceh awal abad ke-20, berakronim VPTL (Voorschrift voor
Politiek-Politionele Taak van het Leger: Perundangan Tugas Militer dalam
Politikan dan Kepolisian) diperbaiki pada 1925 dan menjadi resep dasar penyelenggaraan
tentara kolonial di Nederlands Indie (baca: Indonesia) pasca-Perang Dunia II.
Pandangan arkaik tersebut
mengotori gagasan modernisasi satuan militer yang seharusnya berbalutkan
rajutan sosial kemajuan zaman dan
pemanfaatan teknologi. Kejiwaan satuan tentara hasil VPTL sangat
rentan, mudah terbawa doktrin ideologi kolonial yang ingin tetap menjajah.
Mereka lupa bahwa sejak 8
Maret 1942 negara dan warga wilayah jajahan Belanda ini jatuh ke tangan
Jepang lewat penyerahan historik Hindia Belanda kepada Jepang di Kalijati,
Jawa Barat.
Penjajahan
Jepang
Tiga setengah tahun di
bawah pemerintahan militeristik Jepang yang keras ternyata membangun
kesadaran hakikat sebagai bangsa.
Dalam era tersebut muncul jiwa nasionalisme mempertahankan negeri dengan
kekuatan sendiri, berawal dari pembentukan satuan organisasi pemuda yang
terlatih secara militeristik fisik dan batinnya.
Maka, pasca-Perang Dunia II, saat kembali ke
Indonesia, Belanda tidak mengetahui perubahan mendasar kejiwaan dan ideologi warga Nusantara ini. Belanda,
seperti halnya bangsa kolonialis lain di Eropa, seusai Perang Dunia II
(resminya 15 Agustus 1945) masih ingin kembali menjajah kawasan Asia.
Belanda tentu saja ingin
kembali karena lebih dari 20 persen hasil Indonesia menjadi sumber keuangan
negara Belanda (sampai tahun 1940) sekaligus menempatkan Belanda di posisi
terhormat di Eropa.
Namun, Indonesia justru
telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tentara KNIL
kebanyakan sudah uzur dan tergerus kepedihan dalam penjara zaman Jepang.
Rayuan halus tokoh,
seperti Van der Plas (bekas Gubernur Jawa Timur), Van Oyen (Panglima KNIL)
dan wakilnya Buurman van Vreeden, agar Indonesia mau kembali menjadi koloni
Belanda sudah tawar. Pengibar panji kolonialme yang mengedepankan siasat
negara federal dan negara-negara bagian, harus menghadapi penolakan pemuda
dan rakyat. Mereka memilih bersatu padu membela Republik Indonesia dengan 75
juta penduduk saat itu.
Divisi
7
Dalam situasi ini, Divisi
7 Desember—nama dari Pidato Radio Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942
yang berjanji akan memberikan konsesi politik kepada bangsa
Indonesia—adalah divisi pertama yang
dibentuk dalam perubahan sikap mental itu.
Anggota divisi adalah
mereka yang terkena wajib militer dan golongan sukarelawan (OVW: Oorlogs
Vrijwilligers) mantan anggota pasukan bawah tanah yang bangkit melawan
pendudukan Jerman, 1939-1945. Mereka tidak pernah terlatih berperang, apalagi
hidup di alam dan cuaca tropika.
Bentukan baru satuan
militer KL (akronim Koninklijk Leger, Tentara Kerajaan) dikirim ke Indonesia
November 1945 dan harus berhadapan dengan KNIL yang merasa sebagai pewaris
sah Indonesia. KL tuna persiapan tempur dan kurang cocok dengan napas
kehidupan KNIL.
Kekurangmampuan
operasional itu memerlukan pemimpin khusus yang ada dalam diri Westerling,
bekas serdadu ”para”, didikan Inggris yang diterjunkan di Medan (Sumut)
menjelang akhir PD II, Juli 1945.
Oleh Jendral Spoor, pada
tahun 1946, Westerling diperintah mendirikan satuan tempur yang memenuhi
tuntutan situasi, yakni berkarakter komando, mandiri, berani, dan tega
membunuh lawan tanpa senjata. Lahirlah DST (Depot Speciale Troepen) dipimpin
Westerling, yang diperbolehkan ke garis depan tanpa mengindahkan hierarki
kemiliteran. Mereka hanya bertanggung jawab kepada staf umum di Jakarta,
tidak kepada komandan militer setempat.
Dalam praktik, pimpinan
Tentara Belanda menganggap DST seperti pemadam kebakaran, tatkala satuan
”tuan rumah” (resimen atau batalyon KL maupun KNIL) sudah tidak mampu
mengamankan wilayahnya.
Pasukan kejam
Seperti kita ketahui
militansi rakyat Sulawesi Selatan berhasil melumpuhkan organisasi
pemerintahan Belanda di sana. Aktivitas gerilyawan besar memusingkan pimpinan
lokal tentara Belanda. DST ditugaskan membersihkan ”anasir pendongkel”
kekuasaan Belanda sebagai tugas pertamanya.
DST melakukan
”pembersihan” dengan caranya sendiri, kejam, tanpa ”the rule of conduct”
militer (26 Desember 1946-18 Maret 1947). Tentara resah dan masyarakat di
Jakarta protes keras. Akhirnya Jenderal Spoor meminta DST keluar dari Sulsel.
Itulah contoh satuan
khusus yang tanpa kendali mengabaikan struktur adat setempat, sistem
pemerintahan, dan hierarki militer. Kelak, pada 1950, Westerling tersangkut
makar yang gagal terhadap ”jabang bayi” Republik Indonesia di Bandung.
Westerling dengan anak
buahnya yang sudah mencapai 300 orang
ditangsikan di Batujajar (selatan Cimahi, dekat Bandung). DST hanya berumur
pendek walau kenaikan jumlah anggotanya fenomenal. Dari 176 pada tahun 1946,
menjadi 358 pada tahun 1947, dan membengkak menjadi 500 orang saat Westerling
dipecat sebagai komandan (18 Juni 1948).
Overste Verbeek kemudian
memegang kendali DST yang sudah diperbesar dan berubah nama menjadi KST
(Komando Special Troepen). Juni 1949, KST menjadi sebuah resimen dengan
sebutan RST (Regiment Special Troepen), gabungan satuan elitis ”para dan
komando”.
Westerling mengundurkan
diri dari dinas ketentaraan Belanda 18 Juni 1948. Namanya tenggelam, tetapi
muncul kembali secara misterius pada November 1949. Pimpinan Tentara Belanda
dibuat repot karena desas-desus kembalinya Westerling.
Sejak 17 November 1949,
tersiar kabar yang membawanya ke tangga pimpinan ”Angkatan Perang Ratu Adil”,
legiun yang ia dirikan dan bersifat mesianik. Bersamaan dengan itu tersirat
ancaman dia akan menggagalkan hasil konferensi dan keputusan konferensi 27
Desember 1949, yang akan memberi mandat pembentukan Negara Republik Indonesia
Serikat sekaligus menandai berakhirnya perang kolonial Belanda atas
Indonesia.
Pada 5 Januari 1949, tersebar
ultimatum Westerling yang mengancam makar dan menganjurkan desersi militer
besar-besaran, jika Pemerintah RIS tidak menyelesaikan tuntutannya.
Pemerintah dan Tentara Belanda tidak ingin niat Westerling terlaksana karena
akan menodai hubungan Indonesia-Belanda yang baru saja dicanangkan pada 27
Desember 1949.
Rencana
kudeta
Westerling merencanakan
kudeta dari Bandung dengan bantuan ”5.000 anggota APRA”. Sampai letusan
peluru terakhir tanggal 23 Januari 1949, angkatan yang digemborkan itu tak
pernah terwujud. Upaya kudeta hanya diikuti 150-an jajaran KNIL dan Legiun
APRA.
Mereka berjalan menyusur
dari Cimahi, sepanjang Jalan Raya Barat (sekarang Jalan Sudirman), ke alun-alun Bandung, lewat Jalan Braga menuju
Markas Besar Siliwangi di ”hospital weg” (sekarang Jalan Lembong). Kendaraan
yang dijanjikan tak ada.
Beberapa gedung yang harus
direbut: Lapangan Terbang Andir (sekarang Husein Sastranegara) terlewat tidak
digarap. Namun, beberapa puluh anggota
dan perwira Divisi Siliwangi gugur secara nirmanusiawi oleh satuan makar Westerling.
Makar dalam arti
sebenarnya telah terhindar walau tembak menembak dan pembunuhan sepihak telah
berlangsung. Pukul 13.00 tanggal 23 Januari 1950 kehidupan di Bandung sudah
kembali berjalan normal.
Perdana Menteri Hatta,
awal Februari 1950, berharap jalinan damai
mewarnai kerja sama Indonesia-Belanda di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar