Jumat, 27 April 2018

Nasionalisme, Sekali Bangkit Tak Padam Lagi

Nasionalisme, Sekali Bangkit Tak Padam Lagi
Bambang Hidayat ;  Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                         KOMPAS, 26 April 2018



                                                           
Tentara Kerajaan (Belanda) di Indonesia (Koninklijk Nederlands Indisch Leger/KNIL) mendominasi serbuan ke Bandung pada akhir Januari 1950. Lebih dari 60 persen bintara dan tamtama KNIL terdiri atas warga Nusantara. Anggota satuan inti tersebut  hanya 50 000 sampai 60 000 orang.

Kelompok tersebut tidak dapat ditempeli stigma bersalah karena proses penerimaan tentara zaman itu telah menetapkan garis rasisme bahwa satuan tentara kolonial harus diawaki warga yang setia (kepada Ratu dan negeri Belanda) dan harus pria berwajah keras berperilaku siap perang atau berkelahi.

Doktrin militer (baca: marsose) dari perang Aceh awal abad ke-20, berakronim VPTL (Voorschrift voor Politiek-Politionele Taak van het Leger: Perundangan Tugas Militer dalam Politikan dan Kepolisian) diperbaiki pada 1925 dan menjadi resep dasar penyelenggaraan tentara kolonial di Nederlands Indie (baca: Indonesia) pasca-Perang Dunia II.

Pandangan arkaik tersebut mengotori gagasan modernisasi satuan militer yang seharusnya berbalutkan rajutan sosial kemajuan zaman dan  pemanfaatan teknologi. Kejiwaan satuan tentara hasil VPTL sangat rentan, mudah terbawa doktrin ideologi kolonial yang ingin tetap menjajah.

Mereka lupa bahwa sejak 8 Maret 1942 negara dan warga wilayah jajahan Belanda ini jatuh ke tangan Jepang lewat penyerahan historik Hindia Belanda kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat.

Penjajahan Jepang

Tiga setengah tahun di bawah pemerintahan militeristik Jepang yang keras ternyata membangun kesadaran hakikat  sebagai bangsa. Dalam era tersebut muncul jiwa nasionalisme mempertahankan negeri dengan kekuatan sendiri, berawal dari pembentukan satuan organisasi pemuda yang terlatih secara militeristik fisik dan batinnya.

Maka,  pasca-Perang Dunia II, saat kembali ke Indonesia, Belanda tidak mengetahui perubahan mendasar kejiwaan  dan ideologi warga Nusantara ini. Belanda, seperti halnya bangsa kolonialis lain di Eropa, seusai Perang Dunia II (resminya 15 Agustus 1945) masih ingin kembali menjajah kawasan Asia.

Belanda tentu saja ingin kembali karena lebih dari 20 persen hasil Indonesia menjadi sumber keuangan negara Belanda (sampai tahun 1940) sekaligus menempatkan Belanda di posisi terhormat di Eropa.

Namun, Indonesia justru telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tentara KNIL kebanyakan sudah uzur dan tergerus kepedihan dalam penjara zaman Jepang.

Rayuan halus tokoh, seperti Van der Plas (bekas Gubernur Jawa Timur), Van Oyen (Panglima KNIL) dan wakilnya Buurman van Vreeden, agar Indonesia mau kembali menjadi koloni Belanda sudah tawar. Pengibar panji kolonialme yang mengedepankan siasat negara federal dan negara-negara bagian, harus menghadapi penolakan pemuda dan rakyat. Mereka memilih bersatu padu membela Republik Indonesia dengan 75 juta penduduk saat itu.

Divisi 7

Dalam situasi ini, Divisi 7 Desember—nama dari Pidato Radio Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 yang berjanji akan memberikan konsesi politik kepada bangsa Indonesia—adalah  divisi pertama yang dibentuk dalam perubahan sikap mental itu.

Anggota divisi adalah mereka yang terkena wajib militer dan golongan sukarelawan (OVW: Oorlogs Vrijwilligers) mantan anggota pasukan bawah tanah yang bangkit melawan pendudukan Jerman, 1939-1945. Mereka tidak pernah terlatih berperang, apalagi hidup di alam dan cuaca tropika.

Bentukan baru satuan militer KL (akronim Koninklijk Leger, Tentara Kerajaan) dikirim ke Indonesia November 1945 dan harus berhadapan dengan KNIL yang merasa sebagai pewaris sah Indonesia. KL tuna persiapan tempur dan kurang cocok dengan napas kehidupan KNIL.

Kekurangmampuan operasional itu memerlukan pemimpin khusus yang ada dalam diri Westerling, bekas serdadu ”para”, didikan Inggris yang diterjunkan di Medan (Sumut) menjelang akhir PD II, Juli 1945.

Oleh Jendral Spoor, pada tahun 1946, Westerling diperintah mendirikan satuan tempur yang memenuhi tuntutan situasi, yakni berkarakter komando, mandiri, berani, dan tega membunuh lawan tanpa senjata. Lahirlah DST (Depot Speciale Troepen) dipimpin Westerling, yang diperbolehkan ke garis depan tanpa mengindahkan hierarki kemiliteran. Mereka hanya bertanggung jawab kepada staf umum di Jakarta, tidak kepada komandan militer setempat.

Dalam praktik, pimpinan Tentara Belanda menganggap DST seperti pemadam kebakaran, tatkala satuan ”tuan rumah” (resimen atau batalyon KL maupun KNIL) sudah tidak mampu mengamankan wilayahnya.

Pasukan kejam

Seperti kita ketahui militansi rakyat Sulawesi Selatan berhasil melumpuhkan organisasi pemerintahan Belanda di sana. Aktivitas gerilyawan besar memusingkan pimpinan lokal tentara Belanda. DST ditugaskan membersihkan ”anasir pendongkel” kekuasaan Belanda sebagai tugas pertamanya.

DST melakukan ”pembersihan” dengan caranya sendiri, kejam, tanpa ”the rule of conduct” militer (26 Desember 1946-18 Maret 1947). Tentara resah dan masyarakat di Jakarta protes keras. Akhirnya Jenderal Spoor meminta DST keluar dari Sulsel.

Itulah contoh satuan khusus yang tanpa kendali mengabaikan struktur adat setempat, sistem pemerintahan, dan hierarki militer. Kelak, pada 1950, Westerling tersangkut makar yang gagal terhadap ”jabang bayi” Republik Indonesia di Bandung.

Westerling dengan anak buahnya  yang sudah mencapai 300 orang ditangsikan di Batujajar (selatan Cimahi, dekat Bandung). DST hanya berumur pendek walau kenaikan jumlah anggotanya fenomenal. Dari 176 pada tahun 1946, menjadi 358 pada tahun 1947, dan membengkak menjadi 500 orang saat Westerling dipecat sebagai komandan (18 Juni 1948).

Overste Verbeek kemudian memegang kendali DST yang sudah diperbesar dan berubah nama menjadi KST (Komando Special Troepen). Juni 1949, KST menjadi sebuah resimen dengan sebutan RST (Regiment Special Troepen), gabungan satuan elitis ”para dan komando”.

Westerling mengundurkan diri dari dinas ketentaraan Belanda 18 Juni 1948. Namanya tenggelam, tetapi muncul kembali secara misterius pada November 1949. Pimpinan Tentara Belanda dibuat repot karena desas-desus kembalinya Westerling.

Sejak 17 November 1949, tersiar kabar yang membawanya ke tangga pimpinan ”Angkatan Perang Ratu Adil”, legiun yang ia dirikan dan bersifat mesianik. Bersamaan dengan itu tersirat ancaman dia akan menggagalkan hasil konferensi dan keputusan konferensi 27 Desember 1949, yang akan memberi mandat pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat sekaligus menandai berakhirnya perang kolonial Belanda atas Indonesia.

Pada 5 Januari 1949, tersebar ultimatum Westerling yang mengancam makar dan menganjurkan desersi militer besar-besaran, jika Pemerintah RIS tidak menyelesaikan tuntutannya. Pemerintah dan Tentara Belanda tidak ingin niat Westerling terlaksana karena akan menodai hubungan Indonesia-Belanda yang baru saja dicanangkan pada 27 Desember 1949.

Rencana kudeta

Westerling merencanakan kudeta dari Bandung dengan bantuan ”5.000 anggota APRA”. Sampai letusan peluru terakhir tanggal 23 Januari 1949, angkatan yang digemborkan itu tak pernah terwujud. Upaya kudeta hanya diikuti 150-an jajaran KNIL dan Legiun APRA.

Mereka berjalan menyusur dari Cimahi, sepanjang Jalan Raya Barat (sekarang Jalan Sudirman), ke  alun-alun Bandung, lewat Jalan Braga menuju Markas Besar Siliwangi di ”hospital weg” (sekarang Jalan Lembong). Kendaraan yang dijanjikan tak ada.

Beberapa gedung yang harus direbut: Lapangan Terbang Andir (sekarang Husein Sastranegara) terlewat tidak digarap. Namun, beberapa puluh anggota  dan perwira Divisi Siliwangi gugur secara nirmanusiawi  oleh satuan makar  Westerling.

Makar dalam arti sebenarnya telah terhindar walau tembak menembak dan pembunuhan sepihak telah berlangsung. Pukul 13.00 tanggal 23 Januari 1950 kehidupan di Bandung sudah kembali berjalan normal.

Perdana Menteri Hatta, awal Februari 1950, berharap jalinan damai  mewarnai kerja sama Indonesia-Belanda di masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar