Kesenjangan
Gender di Perguruan Tinggi
Lies Marcoes ; Peneliti Senior Rumah Kita Bersama
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2018
BERKAT kebijakan Wajib Belajar
Sembilan Tahun dan tersedianya dana hibah BOS, aksesibilitas murid perempuan
dapat menutup kesenjangan gender dalam pendidikan di tingkat dasar dan
menengah. Namun, tidak demikian halnya di perguruan tinggi. Perwujudan
cita-cita Kartini membutuhkan afirmasi yang lebih saksama dan terencana,
terutama agar kesenangan asksesibilitas perempuan di dunia pendidikan di
perguruan tinggi dapat teratasi.
Jika dilihat secara acak di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia, data kesenjangan gender pada dosen
tergambar dengan jelas. Misalnya di DKI Jakarta, jumlah dosen laki-laki 3.215
orang dan perempuan 2.874 orang. Jumlah dosen di Universitas Indonesia pada
2014 ialah 2.133 dengan komposisi
laki-laki 1.045 dan perempuan 1.109. Pada 2015, dosen laki-laki turun menjadi
974 dan dosen perempuan 1.110. Namun, kenaikan jumlah peningkatan dosen
perempuan ini tidak berkorelasi dengan peningkatan jumlah perempuan pada
jabatan struktural akademik.
Di Jawa Barat, dosen laki-laki
berjumlah 6.250 orang dan dosen perempuan 3.898 orang. Jumlah persentase
dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan basis ilmu eksakta
kesenjangan lebih terasa lagi, laki-laki: perempuan punya perbandingan
77%:23% dari 1.200 orang. (data statistik dosen ITB)
Di Jawa Timur, dosen laki-laki
7.343 orang dan dosen perempuan 5.195 orang. Di Yogyakarta, jumlah seluruh
dosen laki-laki 3.331 orang dan dosen perempuan 2.034 orang. Sementara itu,
jumlah dosen di Universitas Gadjah Mada, laki-laki 1.679 dan perempuan 1.038
dari total 2.796 dosen. (data statistik dosen UGM, 2015)
Di luar Jawa situasinya tak jauh
beda. Di Universitas Sriwijaya Palembang-Sumatera Selatan, dosen perempuan
berjumlah 433 orang (40%), dosen laki-laki 729 orang (60%). Sementara itu,
jumlah keseluruhan dosen di Sumatra Selatan, laki-laki 1.219 orang dan
perempuan 1.082 orang. Di Kalimantan Timur, dosen laki-laki 1.194 orang dan
perempuan 785 orang.
Di Sulawesi Selatan, dosen
laki-laki 3.034 orang dan dosen perempuan 1.847 orang. Akumulasi dosen
perempuan dan laki-laki dari seluruh universitas atau perguruan tinggi negeri
(di bawah Kemenristek dan Dikti) di setiap provinsi berjumlah laki-laki
56.805 orang dan perempuan 39.719 Orang.
Presentasi Pranova Herdianto
dalam Seminar Knowledge Sector Initiative (KSI), Mei 2017, tentang Gender
Inequality in Human Resources and Higher Education menggambarkan secara
komprehensif tentang kesenjangan gender itu berdasarkan olah data Pusdatin
Iptek Dikti sebagai instansi penyuplai data. Data itu bersumber dari
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti).
Data yang tersaji dari hasil
kajian Pranova ini sangat menarik.
Dilihat dari segi jumlah, data pada 2016/2017 dalam lingkup
Kemenristek dan Dikti, jumlah dosen lelaki lebih besar daripada perempuan,
56,56%: 43,44%. Komposisi ini stabil dari tahun ke tahun, minimal sampai tiga
tahun ke belakang.
Menurutnya, komposisi serupa ini
mungkin akan terus berlangsung dan hanya akan berubah jika ada kebijakan
tertentu atau affirmative action dalam penerimaan dosen perempuan dan upaya
untuk meningkatkan kinerjanya yang dapat mendorong leadership mereka melalui
upaya rekayasa sosial yang terencana/terprogram.
Pranova juga mengolah data kondisi
data tahun ajaran 2016/2017 dengan membedah bidang ilmu. Jika diurai
berdasarkan bidangnya, di fakultas atau bidang studi tertentu jumlah dosen
perempuan lebih tinggi daripada dosen laki-laki, atau sebaliknya. Ini sejalan
dengan stereotip pada bidang ilmu yang dianggap maskulin dan ada yang
feminin. Namun, secara keseluruhan jumlah dosen perempuan lebih kecil
daripada dosen laki-laki, demikian juga ada jabatan strukturalnya.
Gambaran paling menonjol, tapi
oposisinya terbalik, ialah pada bidang ilmu kesehatan dan teknik. Bidang ilmu
kesehatan menjadi pembeda komposisi
umum, bahkan jika dibandingkan dengan bidang pendidikan, yang secara stereotip
perempuan dianggap sebagai pendidik. Namun, jika dibedah lebih lanjut,
tingginya jumlah dosen dalam bidang kesehatan niscaya terjadi karena terkait
dengan bidang pelayanan dan keperawatan yang secara stereotip memang
dilekatkan kepada gender perempuan. Sementara itu, di bidang ilmu teknik
jumlah dosen lelaki dua kali lipat daripada dosen perempuan.
Pranova juga mencoba melacak data
minat perempuan menjadi dosen dengan memilah data berdasarkan usia dosen.
Minat perempuan menjadi dosen sebetulnya cukup besar. Pada usia muda rentang
21-35 tahun, jumlah dosen perempuan lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai
usia 31-35 tahun. Perubahan baru terjadi dan terus menurun di usia 36-40
tahun, dan terus menurun lagi setelah usia 41 tahun, dan bahkan hampir
tinggal 1/3-nya ketika telah mencapai 60-tahun.
Merosotnya jumlah dosen perempuan
terjadi justru di usia 40 tahun yang dikenal sebagai fase penting dalam
meraih jabatan akademik dosen. Alasan paling umum ialah peran dan beban
gandanya, yaitu karier dosen dan rumah tangga. Sementara itu, karier menjadi
dosen dan jabatan akademik membutuhkan prasyarat lain selain mengajar, antara
lain karya akademis dan karya penelitian. Tanpa karya-karya dimaksud dosen
perempuan dengan sendirinya akan tertinggal dan sulit mencapai komposisi
dosen pada jabatan tinggi, yakni lektor kepala dan profesor. Akibatnya muncul
ketimpangan yang signifikan sebagaimana terlihat dalam bagan.
Meskipun jumlah perempuan di
bidang ilmu tertentu cukup menonjol, sebagaimana terlihat dalam jenjang
jabatan di atas, terjadi kesenjangan antara lelaki dan perempuan, bahkan
dalam komposisi tanpa jabatan sekalipun. Pada jabatan fungsional lektor
kepala dan profesor terjadi ketimpangan yang lebih lebar. Padahal, untuk
mencapai jabatan-jabatan itu, riset dan publikasi menjadi penentu kenaikan
jabatan.
Dengan melihat perkembangan di
atas, sangatlah penting untuk melakukan rekayasa sosial dalam upaya
peningkatan jumlah dosen perempuan di perguruan tinggi. Upaya itu, misalnya,
memberikan dukungan dalam bentuk kebijakan bagi perempuan pada usia-usia
kritis yang harus memilih antara karier dan membesarkan anak-anak.
Di sejumlah negara seperti
Australia, rekayasa dilakukan dengan pemberian dana hibah tambahan untuk
menutup pembiayaan perempuan ketika menjalani riset dengan membawa bayi dan
pengasuhnya. Bantuan teknis khusus bagi dosen dalam bidang penelitian juga
akan sangat membantu mereka untuk melakukan riset dan menulis karya ilmiah
yang layak publikasi di jurnal nasional dan internasional.
Hal lain ialah menggunakan
kebijakan Kemenristek dan Dikti melalui Dana Hibah Penelitian sebagai upaya
strategis untuk peningkatan kuantitas dan kualitas dosen perempuan di
perguruan tinggi. Kebijakan Kemenristek dan Dikti dalam hibah penelitian ini
kunci dalam tercapainya aksesibilitas yang setara bagi dosen perempuan di
perguruan tinggi. Selamat Hari Kartini!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar