Membaca
Arah Pemilih Milenial
Hanta Yuda AR ; Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 23 April 2018
KOMPETISI politik elektoral 2019
diperkirakan akan didominasi generasi milenial. Berdasarkan proporsi usia
pemilih, Pemilu 2019 akan diikuti oleh sekitar 40% pemilih usia 17-35 tahun. Itu
artinya generasi milenial akan turut mewarnai peta dukungan politik 2019,
bahkan akan menentukan siapa calon presiden Indonesia mendatang.
Karakter mendasar yang membedakan
generasi X (36 tahun-55 tahun) maupun generasi baby boomers (55 tahun ke
atas) dengan generasi milenial (17 tahun-35 tahun) adalah melek informasi dan
terkoneksi (connected) melalui jejaring media sosial digital, yang terhubung
melalui internet.
Media sosial yang kini menjadi
salah satu 'mesin politik' efektif untuk melakukan propaganda politik maupun
penetrasi isu adalah dunia yang sangat akrab dengan generasi milenial.
Di titik inilah, karena typical
mereka sebagai generasi digital native, yang sangat melek informasi dan kerap
bercengkrama dengan smartphone dan media sosial, menjadikan generasi milenial
sejatinya tidak hanya strategis secara kuantitas, tetapi juga amat penting
sebagai salah satu 'mesin' propaganda isue politik dalam memobilisasi
dukungan suara elektoral.
Eksposure dan aktivitas digital
generasi ini sangat berpengaruh pada sirkulasi isu-isu menjelang pemilu.
Apalagi, konten digital sangat
berpengaruh pada generasi pemilih matang yang lebih banyak menerima
dibandingkan memverifikasi atau memproduksi konten sebagaimana yang dilakukan
oleh generasi milenial.
Meskipun secara konseptual pemilih
milenial merujuk pada generasi Y (21 tahun-35 tahun), penggunaan pemilih
milenial yang juga mencakup generasi Z (17 tahun-20 tahun) akan lebih
memudahkan kita dalam pembacaan pemilih muda dan pemilih matang (lebih dari
35 tahun).
Lalu pertanyaannya, ke mana arah
preferensi politik para pemilih milenial ini?
Paling tidak ada tiga poin penting
untuk membaca arah dan preferensi politik pemilih milenial; 1. potensi
partisipasi politik dan kemantapan pilihan, 2. sensitifitas pada isu
sosial/kebijakan, 3. dan tentunya adalah soal preferensi terhadap kandidat
dan pilihan politiknya dalam pemilu, baik karakter kandidat yang disukai
maupun dukungan personal terhadap kandidat.
Pemilih
galau
Berdasarkan data survei
Poltracking Indonesia pada Februari 2018, potensi partisipasi pemilih
milenial pada pemilu 2019 pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan generasi
pemilih matang (36 tahun ke atas).
Potensi partisipasi (responden
yang menjawab akan menggunakan suaranya pada pemilu 2019) kedua kelompok ini
berada pada angka 76%-77%.
Namun demikian, hal yang menarik
adalah ketetapan pilihan generasi milenial terhadap pilihan partai dan
kandidat capres lebih rendah dibandingkan generasi matang. Ada sekitar 60%
pemilih milenial yang tidak punya ketetapan pilihan politik dibandingkan
pemilih matang yang separuhnya (50%) sudah matang dengan pilihan politiknya.
Singkatnya, berdasarkan hasil
survei yang dilakukan Poltracking, preferensi pilihan figur capres oleh
milenial belumlah solid apalagi dikotomis sebagaimana produk politik pemilu
2014.
Pemilih milenial akan mencari tahu
dan meverifikasi kandidat secara mandiri tidak bergantung pada sosialisasi
politik di dalam keluarga.
Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya
partisan identification atau Party ID kelompok pemilih ini, sekitar 17,5%.
Party ID adalah produk dari
pendekatan psikologis yang dibangun oleh Campbell et al (1960) di Universitas
Chicago lebih dari setengah abad yang lalu.
Tesisnya adalah bahwa sosialisasi
politik di dalam keluarga ketika masa kecil dan remaja akan menciptakan
perilaku politik berdasarkan preferensi partai di dalam keluarganya.
Akhirnya, asosiasi pemilih
terhadap partai dilihat sebagaimana asosiasi pemilih terhadap agama atau
identitas rasional mereka.
Artinya, Party ID yang rendah
tersebut menjelaskan bahwa siapapun figur yang diusung oleh partai yang
mereka pilih atau yang ada di dalam keluarga, tidak terlalu berpengaruh pada
pilihan capresnya.
Hal menarik lain dari potensi
keterlibatan generasi milenial dalam pilpres mendatang, adalah generasi ini
menyatakan masih mungkin berubah dalam menentukan/memilih siapa kandidatnya
(63%).
Karena itu, pemilih milenial
terbilang pemilih kritis yang masih 'galau'.
Meskipun hal itu masih dapat
dipahami bahwa hingga saat ini belum ada kandidat yang secara solid menarik
bagi generasi milenial.
Mereka masih wait and see
siapa-siapa kandidat yang mampu memberi ekspektasi besar bagi masa depan kaum
milenial.
Namun, kabar baiknya, generasi
milenial merespons positif Pilpres 2019 mendatang dengan cukup tigginya
potensi partisipasi dari segmentasi pemilih ini.
Data terbaru survei Poltracking
Indonesia misalnya menunjukkan bahwa 78,4% generasi milenial menyatakan akan
menyoblos pada pilpres mendatang. Ini adalah kabar baik bagi demokrasi di
Indonesia sekaligus menunjukkan bahwa arus deras informasi membuat generasi
milenial Indonesia tidak alergi dengan politik.
Pemilih
rasional-sosiologis
Preferensi pemilih milenial
terhadap latar belakang kandidat presiden, berdasarkan data survei
Poltracking Indonesia Februari 2018, yang cukup menarik sekaligus mengejutkan
adalah preferensi sosiologis sedikit lebih banyak diletakkan pada agama yang
dianut kandidat (27%) dibandingkan kinerja kandidat (17%), dan delapan
faktor-faktor latar belakang kandidat lainnya yang berada di bawah 10%.
Namun demikian, jika 10 faktor
latar belakang figur capres kita simplifikasi ke dalam tiga klasifikasi yaitu
faktor rasional (kinerja rekam jejak, kompetensi, dan visi), faktor
sosiologis (latar agama, etnis, dan asal daerah), serta faktor psikologis
kandidat (usia, gender, dan karakter personalnya), maka pemilih milenial
cenderung rasional (39%) dibandingkan sosioligis (30%).
Berdasarkan data ini, harus diakui
bahwa program kebijakan yang sudah dilakukan oleh kandidat petahana ataupun
program yang ditawarkan oleh kandidat capres penantang, akan mempunyai efek
tidak jauh berbeda dengan isu-isu yang berkaitan dengan identitas sosial
pemilih milenial, baik agama, etnis, dan kelompok kedaerahan yang menjadi
basis identitas pemilih termasuk kelompok milenial.
Tentu ekspektasi kita adalah
sejauh mana para kandidat capres dan winning team-nya mampu mengeksplorasi
dan mengoreksi program kebijakan dibandingkan mengeksploitasi isu sosiologis
dan identitas.
Atribusi variabel-variable
sosiologis memang tidak bisa dilepaskan dari kandidat capres.
Namun demikian, kemenangan Jokowi
atas Prabowo pada 2014 pada dasarnya menunjukkan bahwa bagaimanapun juga
rasionalitas pemilih yang diletakkan pada evaluasi kinerja dan performance
kandidat, lebih banyak dihitung oleh pemilih dibandingkan sentimen yang
'dibangun' atas identitas.
Terlepas dari argumen psikologis
ini, skema penyerentakan pemilu antara kursi presiden dan kursi legislatif
bisa jadi akan menghasilkan output elektoral yang sama sekali berbeda dengan
2014.
Kelompok pemilih milenial juga
boleh jadi sangat kuat menerima efek coattail dari skema pemilu serentak
tersebut.
Artinya, meski kedekatan kelompok
pemilih ini dengan partai terbilang rendah, angka straight ticket voting
(linieritas antara pilihan capres dan kandidat-kandidat partai di semua
level) bisa jadi akan tinggi.
Preferensi
capres
Dari sisi preferensi terhadap
karakter atau sifat kandidat yang disukai, data survei Poltracking
menunjukkan bahwa pemilih generasi milenial menginginkan kandidat dengan
karakteristik merakyat (35%), dan jujur/berintegritas (11,8%).
Fenomena ini menunjukkan bahwa
generasi milenial menyukai kandidat yang menyatu dan tak berjarak dengan
'gaya hidup' mereka (merakyat).
Selain itu, juga menyukai karakter
jujur, boleh jadi efek bias dari banyaknya informasi media terkait
kasus-kasus korupsi akhir-akhir ini.
Secara lebih spesifik, pemilih
pada kelompok usia ini juga mempunyai preferensi figur capres yang
'mengkombinasikan' personalitas Jokowi dan Prabowo, yaitu merakyat (26%) dan
tegas (13%).
Lebih dari 10 variable
karakteristik figur capres lainnya yang diajukan dalam pertanyaan hanya
dipilih kurang dari 10% kelompok pemilih milenial.
Hal inilah yang menjelaskan
kelompok pemilih milenial tidak terlalu solid (di bawah 50%) dalam mendukung
petahana Jokowi sebagai capres, dibandingkan pemilih matang yang cenderung
lebih solid di atas 50%.
Namun demikian, preferensi pada
figur yang merakyat dan tegas pada dasarnya bukanlah hal yang unik dalam
perilaku memilih.
Preferensi ini cukup menjelaskan
teori valensi dalam psikologi pemilih, di mana pemilih akan memilih kandidat
yang dianggap mampu menyediakan kebutuhan-kebutuhan umum atau dasar seperti
lapangan kerja, pendidikan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Hal ini juga terkonfirmasi dalam
survei Poltracking.
Hal penting yang perlu
diperhatikan adalah sejauh mana pemilih milenial mengeksplorasi diri dan
memperlakukan konten di dalam platform digital terutama media sosial yang
merupakan 'dunia nyata' mereka.
Kondisi itu tentu menjadi peluang
sekaligus tantangan bagi setiap parpol dan kandidat presiden.
Mereka harus segera melakukan inovasi
dan lebih berkonsentrasi membangun panggung kontestasi yang sehat, di dalam
dunia digital demi mendulang suara pemilih milenial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar