Resiliensi
Indonesia
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
|
KOMPAS,
21 April
2018
Setiap bangsa memiliki kapasitas
untuk pulih dari pemburukan dan keluar dari krisis. China sampai 1970-an
masih terbelakang dan 30-40 juta penduduknya tewas karena kelaparan.
Pendapatan (PDB) per kapita pada 1980 adalah 194,81 dollar AS, bahkan pernah
96,1 dollar AS pada Maret 1992, tetapi 3.547,4 dollar AS pada tahun 2017. Siapa
sangka reformasi ekonomi dengan basis sosialisme berkarakteristik China itu
sukses dan kini negara itu memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Itulah
daya lenting bangsa China.
Pada tahun 2005, kolaborasi
lembaga studi kebijakan (think tank) Amerika, Fund for Peace, bersama
publikasi ilmiah Amerika, Foreign Policy (yang didirikan antara lain oleh
Samuel P Huntington), memulai laporan tahunan FSI yang waktu itu merupakan
singkatan dari Failed States Index (indeks kegagalan negara).
Namun, terminologi “gagal” FSI
mengundang banyak kritik. Selain tak deskriptif, terminologi itu juga
merepresentasikan dikotomi keliru antara negara gagal dan tidak gagal.
Kenyataannya, tak ada negara gagal apabila analoginya adalah gagal jantung.
Namun, tingkat kerapuhan suatu negara bisa dipetakan dari waktu ke waktu.
Karena itu, FSI sejak 2014 merupakan singkatan dari Fragile States Index
(indeks kerapuhan negara).
Ada negara yang secara ekonomi
bangkrut, tetapi kemudian bisa keluar dari kehancuran. Sulit membayangkan
Korea Selatan atau Jepang seperti masa kini apabila melihat kondisi kedua
negara itu usai Perang Dunia Kedua. Juga ada negara dengan tata kelola buruk
dan secara ekonomi bangkrut, tetapi pemerintahannya tetap berjalan. Salah
satunya adalah Zimbabwe, negeri yang pernah menjadi lumbung pangan Afrika.
Hikayat
sebuah negeri
Pada puncak krisis ekonomi
Zimbabwe (2008), inflasi bulanan negeri itu mencapai 7,9 miliar persen.
Perekonomian menyusut minus 18 persen. Pecahan uang tertinggi adalah 100
triliun dollar Zimbabwe, setara dengan ongkos naik bus selama seminggu. Nilai
100 miliar dollarnya setara dengan tiga butir telur. Ketika mata uang sendiri
tidak dipercaya lagi sebagai alat pembayaran dalam transaksi sehari-hari di
dalam negeri, maka terpaksa beberapa mata uang asing dipakai sebagai
gantinya.
Kebangkrutan Zimbabwe bermula dari
ketika pemimpin populis yang terpilih sebagai presiden menjalankan reformasi
agraria secara radikal diikuti dengan mismanajemen sektor pertanian dan
korupsi akut. Di bawah slogan populisme dan kepemimpinan diktator, Zimbabwe
selama beberapa puluh tahun kemudian menjadi negara dengan tingkat kelaparan
terburuk di dunia.
Namun, negeri itu tetap ada sampai
sekarang dan terakhir skor instabilitasnya 101,6 (2016), pada urutan ke-13.
Rakyat dan elite Zimbabwe yang menopang negeri itu memaksa sang diktator
untuk lengser. Meski keuangan negara berdarah-darah dengan pesangon Rp 135
miliar dan gaji presiden seumur hidup, negara itu dalam kemelaratannya masih
bisa membiayai kemewahan hidup sang mantan presiden.
Meski sulit membayangkan
kebangkitan Zimbabwe, negeri itu tak akan bubar selama berlian, kekayaan
satwa, dan komoditas alamnya lain masih bisa dijual ke pasar internasional.
Masih ada 12 negara lain yang lebih buruk peringkat instabilitasnya. Proses
bubarnya suatu negara tak sesederhana seperti kematian yang didahului dengan
penuaan.
Bubarnya negara hanya bisa apabila
komponen-komponen utama rakyat dan elitenya bersama-sama sepakat untuk bubar
dan kemudian membentuk negara sendiri-sendiri seperti Yugoslavia, Uni Soviet,
dan Sudan. Apabila rakyat saja yang hendak berpisah tanpa didukung elite,
yang terjadi adalah perang saudara berkepanjangan.
Apabila elitenya saja, untuk
sementara suatu bangsa bisa bercerai. Namun, suatu saat bisa terjadi
reunifikasi bangsa dan negara seperti dalam kasus Jerman Barat dan Jerman
Timur. Mungkin tak akan terjadi reunifikasi negara dalam kasus Korea, tetapi
tak mustahil dengan reunifikasi bangsa. Bangsa Korea, di utara dan selatan,
sedang membuktikan diri kepada dunia bahwa mereka punya cara sendiri untuk
bersatu tanpa campur tangan negara lain.
Indonesia
kini dan esok
Menurut FSI, stabilitas Indonesia
menunjukkan tren membaik. Skor terakhir 72,9 (2016) terkait instabilitas 178
negara memperlihatkan Indonesia masuk kategori warning level rendah pada
urutan ke-94, lebih baik dari China (85), Thailand (82), India (72), atau
Israel (70), dalam kategori sama.
Tren membaik juga terlihat dari
skor Indonesia dua tahun sebelumnya, yakni 75 (2014) dan 74,9 (2015). Memang
secara urutan terjadi sedikit penurunan dari 88 ke 86, tetapi skor
instabilitasnya turun 0,1. Penurunan urutan FSI ini bukan pertanda Indonesia
kian rapuh pada 2015, melainkan penurunan tingkat instabilitas negara-negara
lain jauh lebih baik.
Indonesia memang bisa bubar
apabila mayoritas penduduk dan elitenya melepaskan ideologi Pancasila serta
mengingkari kesepakatan-kesepakatan dasar bernegara. Selalu ada upaya-upaya
seperti itu dari sekelompok komponen bangsa sejak Indonesia merdeka, tetapi
kita terbukti berhasil mengatasi masalah itu dengan cara kita sendiri.
Ketahanan ideologis kita juga
diikuti dengan ketahanan ekonomi menghadapi guncangan ekonomi dari krisis ke
krisis sehingga kini kekuatan ekonomi Indonesia diperhitungkan dunia. Namun,
benar bahwa hanya Tuhan yang tahu apakah prediksi Indonesia esok akan sesuai
dengan skenario positif Indonesia kini.
Kewajiban utama elite penguasa dan
pemimpin bangsa masa kini adalah bekerja sekuat tenaga menghilangkan
hambatan-hambatan struktural yang membuat negara kita sulit berlari. Hambatan
struktural berupa korupsi dan inefisiensi birokrasi. Di level pusat, sudah
terjadi reformasi birokrasi sehingga tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia
menurut Bank Dunia (2017) naik 19 peringkat pada posisi ke-72 (dari 1-190),
bahkan mengungguli China (78) dan India (100). Reformasi birokrasi di daerah
lebih lambat seperti terlihat dari elite politiknya yang terjerat korupsi.
Sebagaimana China, Indonesia juga
harus menemukan cara reformasinya sendiri. China yang sosialis merangkul
kapitalisme untuk dijinakkan dan mengabdi kepada kepentingan nasional.
Setelah kebangkitan ekonominya, China juga bangkit dalam bidang olahraga dan
teknologi (bahkan sampai ruang angkasa). Amerika yang kapitalis di bawah
Donald Trump menjadi proteksionis, diapresiasi di dalam negeri meski dikecam
di luar negeri.
Sudah waktunya elite Indonesia
berhenti dengan narasi-narasi musiman menjelang pemilihan presiden yang hanya
membangkitkan sentimen populis dan memecah-belah bangsa. Nasionalisme
berbasis primordialisme, apalagi anti-asing, bukan cara Indonesia untuk maju.
Soal kita adalah bagaimana mengoptimalkan benefit aktivitas ekonomi agar kita
bisa lebih cepat masuk zona negara stabil. Kita tidak cukup hanya berjalan
dan sudah waktunya mengambil ancang-ancang untuk berlari mengejar
ketertinggalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar