Jumat, 27 April 2018

Resiliensi Indonesia

Resiliensi Indonesia
Yonky Karman ;  Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta
                                                         KOMPAS, 21 April 2018



                                                           
Setiap bangsa memiliki kapasitas untuk pulih dari pemburukan dan keluar dari krisis. China sampai 1970-an masih terbelakang dan 30-40 juta penduduknya tewas karena kelaparan. Pendapatan (PDB) per kapita pada 1980 adalah 194,81 dollar AS, bahkan pernah 96,1 dollar AS pada Maret 1992, tetapi 3.547,4 dollar AS pada tahun 2017. Siapa sangka reformasi ekonomi dengan basis sosialisme berkarakteristik China itu sukses dan kini negara itu memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Itulah daya lenting bangsa China.

Pada tahun 2005, kolaborasi lembaga studi kebijakan (think tank) Amerika, Fund for Peace, bersama publikasi ilmiah Amerika, Foreign Policy (yang didirikan antara lain oleh Samuel P Huntington), memulai laporan tahunan FSI yang waktu itu merupakan singkatan dari Failed States Index (indeks kegagalan negara).

Namun, terminologi “gagal” FSI mengundang banyak kritik. Selain tak deskriptif, terminologi itu juga merepresentasikan dikotomi keliru antara negara gagal dan tidak gagal. Kenyataannya, tak ada negara gagal apabila analoginya adalah gagal jantung. Namun, tingkat kerapuhan suatu negara bisa dipetakan dari waktu ke waktu. Karena itu, FSI sejak 2014 merupakan singkatan dari Fragile States Index (indeks kerapuhan negara).

Ada negara yang secara ekonomi bangkrut, tetapi kemudian bisa keluar dari kehancuran. Sulit membayangkan Korea Selatan atau Jepang seperti masa kini apabila melihat kondisi kedua negara itu usai Perang Dunia Kedua. Juga ada negara dengan tata kelola buruk dan secara ekonomi bangkrut, tetapi pemerintahannya tetap berjalan. Salah satunya adalah Zimbabwe, negeri yang pernah menjadi lumbung pangan Afrika.

Hikayat sebuah negeri

Pada puncak krisis ekonomi Zimbabwe (2008), inflasi bulanan negeri itu mencapai 7,9 miliar persen. Perekonomian menyusut minus 18 persen. Pecahan uang tertinggi adalah 100 triliun dollar Zimbabwe, setara dengan ongkos naik bus selama seminggu. Nilai 100 miliar dollarnya setara dengan tiga butir telur. Ketika mata uang sendiri tidak dipercaya lagi sebagai alat pembayaran dalam transaksi sehari-hari di dalam negeri, maka terpaksa beberapa mata uang asing dipakai sebagai gantinya.

Kebangkrutan Zimbabwe bermula dari ketika pemimpin populis yang terpilih sebagai presiden menjalankan reformasi agraria secara radikal diikuti dengan mismanajemen sektor pertanian dan korupsi akut. Di bawah slogan populisme dan kepemimpinan diktator, Zimbabwe selama beberapa puluh tahun kemudian menjadi negara dengan tingkat kelaparan terburuk di dunia.

Namun, negeri itu tetap ada sampai sekarang dan terakhir skor instabilitasnya 101,6 (2016), pada urutan ke-13. Rakyat dan elite Zimbabwe yang menopang negeri itu memaksa sang diktator untuk lengser. Meski keuangan negara berdarah-darah dengan pesangon Rp 135 miliar dan gaji presiden seumur hidup, negara itu dalam kemelaratannya masih bisa membiayai kemewahan hidup sang mantan presiden.

Meski sulit membayangkan kebangkitan Zimbabwe, negeri itu tak akan bubar selama berlian, kekayaan satwa, dan komoditas alamnya lain masih bisa dijual ke pasar internasional. Masih ada 12 negara lain yang lebih buruk peringkat instabilitasnya. Proses bubarnya suatu negara tak sesederhana seperti kematian yang didahului dengan penuaan.

Bubarnya negara hanya bisa apabila komponen-komponen utama rakyat dan elitenya bersama-sama sepakat untuk bubar dan kemudian membentuk negara sendiri-sendiri seperti Yugoslavia, Uni Soviet, dan Sudan. Apabila rakyat saja yang hendak berpisah tanpa didukung elite, yang terjadi adalah perang saudara berkepanjangan.

Apabila elitenya saja, untuk sementara suatu bangsa bisa bercerai. Namun, suatu saat bisa terjadi reunifikasi bangsa dan negara seperti dalam kasus Jerman Barat dan Jerman Timur. Mungkin tak akan terjadi reunifikasi negara dalam kasus Korea, tetapi tak mustahil dengan reunifikasi bangsa. Bangsa Korea, di utara dan selatan, sedang membuktikan diri kepada dunia bahwa mereka punya cara sendiri untuk bersatu tanpa campur tangan negara lain.

Indonesia kini dan esok

Menurut FSI, stabilitas Indonesia menunjukkan tren membaik. Skor terakhir 72,9 (2016) terkait instabilitas 178 negara memperlihatkan Indonesia masuk kategori warning level rendah pada urutan ke-94, lebih baik dari China (85), Thailand (82), India (72), atau Israel (70), dalam kategori sama.

Tren membaik juga terlihat dari skor Indonesia dua tahun sebelumnya, yakni 75 (2014) dan 74,9 (2015). Memang secara urutan terjadi sedikit penurunan dari 88 ke 86, tetapi skor instabilitasnya turun 0,1. Penurunan urutan FSI ini bukan pertanda Indonesia kian rapuh pada 2015, melainkan penurunan tingkat instabilitas negara-negara lain jauh lebih baik.

Indonesia memang bisa bubar apabila mayoritas penduduk dan elitenya melepaskan ideologi Pancasila serta mengingkari kesepakatan-kesepakatan dasar bernegara. Selalu ada upaya-upaya seperti itu dari sekelompok komponen bangsa sejak Indonesia merdeka, tetapi kita terbukti berhasil mengatasi masalah itu dengan cara kita sendiri.

Ketahanan ideologis kita juga diikuti dengan ketahanan ekonomi menghadapi guncangan ekonomi dari krisis ke krisis sehingga kini kekuatan ekonomi Indonesia diperhitungkan dunia. Namun, benar bahwa hanya Tuhan yang tahu apakah prediksi Indonesia esok akan sesuai dengan skenario positif Indonesia kini.

Kewajiban utama elite penguasa dan pemimpin bangsa masa kini adalah bekerja sekuat tenaga menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang membuat negara kita sulit berlari. Hambatan struktural berupa korupsi dan inefisiensi birokrasi. Di level pusat, sudah terjadi reformasi birokrasi sehingga tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia menurut Bank Dunia (2017) naik 19 peringkat pada posisi ke-72 (dari 1-190), bahkan mengungguli China (78) dan India (100). Reformasi birokrasi di daerah lebih lambat seperti terlihat dari elite politiknya yang terjerat korupsi.

Sebagaimana China, Indonesia juga harus menemukan cara reformasinya sendiri. China yang sosialis merangkul kapitalisme untuk dijinakkan dan mengabdi kepada kepentingan nasional. Setelah kebangkitan ekonominya, China juga bangkit dalam bidang olahraga dan teknologi (bahkan sampai ruang angkasa). Amerika yang kapitalis di bawah Donald Trump menjadi proteksionis, diapresiasi di dalam negeri meski dikecam di luar negeri.

Sudah waktunya elite Indonesia berhenti dengan narasi-narasi musiman menjelang pemilihan presiden yang hanya membangkitkan sentimen populis dan memecah-belah bangsa. Nasionalisme berbasis primordialisme, apalagi anti-asing, bukan cara Indonesia untuk maju. Soal kita adalah bagaimana mengoptimalkan benefit aktivitas ekonomi agar kita bisa lebih cepat masuk zona negara stabil. Kita tidak cukup hanya berjalan dan sudah waktunya mengambil ancang-ancang untuk berlari mengejar ketertinggalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar