Jumat, 27 April 2018

Kegagalan Kapitasi

Kegagalan Kapitasi
Ahmad Fuady ;  Dosen dan Peneliti, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
                                                         KOMPAS, 23 April 2018



                                                           
Awal Februari 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan bupati Jombang dengan dugaan penerimaan suap dari dana kapitasi. Kasus ini bukan yang pertama terjadi. Bahkan, dengan besaran dana mencapai Rp 13 triliun, Indonesian Corruption Watch (ICW) mengindikasikan potensi pungutan liar dana kapitasi mencapai Rp 1,3 triliun per tahun.

Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan kontrol di daerah serta minimnya pengawasan dan pengendalian dana kapitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Permenkes No 21/2016 memberikan mandat ruang besar bagi kepala daerah memainkan alokasi dana kapitasi untuk puskesmas, termasuk sisa dana tak terpakai. Ditambah potensi penyimpangan dana oleh staf di puskesmas, keduanya menjadi celah besar pemanfaatan ilegal dana kapitasi di daerah.

Efisiensi atau inefisiensi

Masalah dana kapitasi bukan hanya permasalahan korupsi. Sejak implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pola pembiayaan layanan kesehatan berubah signifikan. Pemerintah memberlakukan sistem kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Puskesmas, klinik, dan dokter praktik kini dibayar sesuai banyaknya kepala yang terdaftar di layanan kesehatan yang dikelolanya.

Tujuan kapitasi sesungguhnya baik. FKTP didorong untuk meningkatkan status kesehatan peserta yang dikelolanya. Jika angka kesakitan dan kunjungan pasien tinggi, dana kapitasi akan terserap habis, dan FKTP cenderung merugi. Sebaliknya, jika FKTP mampu mereduksi jumlah kesakitan dan kunjungan pasien, sisa dana kapitasi meningkat, dan itu menguntungkan FKTP. Ini merupakan insentif tidak langsung bagi FKTP untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang diberikannya, menjaga kesehatan pesertanya, dan mereduksi jumlah kunjungan pasien. 
Dengan demikian, biaya kesehatan, secara lokal dan nasional, diharapkan dapat dikelola secara efisien.

Pada kenyataannya, efisiensi jauh panggang dari api. Salah satu indikatornya adalah tingkat rujukan pasien ke rumah sakit yang masih tinggi. Meskipun ada tren penurunan dari 17% di tahun 2015 ke 15% di tahun 2016, angka rujukan masih fluktuatif tinggi dan dalam interval yang lebar. Ini mengindikasikan bahwa peran FKTP sebagai penapis (gate keeper) kasus pasien tidak berjalan optimal. Di tahun 2016, BPJS Kesehatan menerapkan kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK) untuk mengontrol kinerja FKTP. Selain rasio rujukan nonspesialistik, indikator lainnya mencakup angka kontak dan rasio peserta program pengelolaan penyakit kronis (prolanis). Apakah kinerjanya meningkat? Tidak juga.

Kualitas dan sebaran

KBK tidak menyelesaikan masalah mendasar hak kesehatan yang ada di lapangan. Pertama, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan sangat bervariasi antar-daerah. Pada daerah rural, jumlah FKTP rendah. Begitu pun dengan jumlah tenaga kesehatan, termasuk dokter yang mungkin nihil di satu puskesmas. Pada kondisi ini, masalah kedua muncul, yaitu kualitas layanan yang rendah. Dengan demikian, menahan angka rujukan di bawah 15% seperti yang ditargetkan BPJS Kesehatan menjadi hampir muskil. 
Andai pun tercapai, masih ada pertanyaan berikutnya: apakah masyarakat sudah benar-benar dapat mengakses fasilitas kesehatan yang ada?

Di sinilah masalah hak kesehatan ketiga, yaitu aksesibilitas. Jumlah FKTP memang meningkat dari 18.000 ke 21.800 dalam empat tahun terakhir, tetapi persebarannya masih terpusat di area perkotaan. Masyarakat golongan rentan, miskin, dan terpencil tetap tidak diuntungkan karena jurang aksesibilitas ini.

Di area urban, jumlah FKTP cenderung jenuh, tetapi menyimpan masalah ketimpangan. Satu FKTP mungkin hanya mengelola 4.000 peserta, sementara FKTP lain dapat mengelola 45.000 peserta. Jika dikalkulasi secara moneter dengan angka kapitasi maksimal, jurang pendapatan dana kapitasi antar-FKTP berkisar antara Rp 24 juta-Rp 270 juta per bulan. Rasio dokter dengan peserta pun demikian, merentang antara 1:1800 hingga 1:27.000. Timpang!

Pemerintah daerah tidak melulu harus berpangku pada infrastruktur fasilitas publik semacam puskesmas semata. Dorongan untuk mengikutsertakan fasilitas kesehatan swasta juga harus dikembangkan, terlebih ketika fasilitas publik tidak mampu berjuang sendirian.

Sayangnya, sampai saat ini FKTP swasta tidak mendapat insentif yang memadai. Secara teoretis, sistem kapitasi memang menunjukkan superioritasnya jika dibandingkan dengan sistem pembayaran per layanan (fee-for-service, FFS). FKTP swasta berjuang beradaptasi dari pola FFS ke kapitasi, tetapi puskesmas sama sekali tidak. Perbedaan jatah dana kapitasi per kepala antara puskesmas dan FKTP swasta tidak jauh berbeda. Padahal, puskesmas mendapatkan anggaran dana dari pemerintah daerah dan pusat. Sementara FKTP swasta harus mengelola keuangannya mandiri dari dana kapitasi. Dengan begitu, sistem kapitasi jelas menguntungkan bagi puskesmas, tetapi belum tentu bagi FKTP swasta.

Langkah antisipasi

Dengan gambaran utuh ini, kapitasi dan KBK-nya belum jadi insentif bagi perbaikan layanan kesehatan primer. Pertama, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan jelas perlu menyusun mekanisme kontrol pengelolaan dana kapitasi yang lebih ketat untuk menurunkan risiko penyelewengan dana. Tetapi tentu tak berhenti di situ. Pemerintah daerah pun bukan sekadar harus memikirkan pengalokasian dana kapitasi, melainkan bagaimana menyeimbangkan ketersediaan dan sebaran fasilitas kesehatan.

Langkah itu mutlak diperlukan bukan hanya sebagai langkah efisiensi, juga untuk mewujudkan keadilan sosial dan memberikan hak kesehatan yang penuh kepada masyarakat. Jika dibiarkan seperti ini, pemanfaatan layanan kesehatan masih tidak menguntungkan bagi masyarakat miskin. Sistem kesehatan yang dijalankan tidak pro-poor, dan tidak sejalan dengan semangat awal JKN.

Kedua, bagaimana memperbaiki kalkulasi dana kapitasi yang lebih adil bagi FKTP swasta sehingga mendorong pertumbuhan dan persebaran FKTP. Langkah ini harus dilanjutkan strategi inovatif dengan merancang persebaran fasilitas kesehatan dan berkolaborasi dengan sumber daya yang tersedia di daerahnya. Adanya pengaturan jumlah peserta per fasilitas yang adil, rasio dokter dengan peserta yang seimbang, dan peningkatan fasilitas dan kualitas, adalah langkah yang mutlak harus diperjuangkan.

Ketiga, KBK harus dievaluasi dan tidak lagi menjadi patron kaku secara nasional. Sebagai strategi pembiayaan berdasarkan kinerja KBK harus dapat dimodifikasi sesuai karakteristik dan kebutuhan daerah. Tanpa itu semua, kapitasi gagal menjadi instrumen penting dalam JKN dan keadilan sosial negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar