Kegagalan
Kapitasi
Ahmad Fuady ; Dosen dan Peneliti, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
23 April
2018
Awal Februari 2018, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan bupati Jombang
dengan dugaan penerimaan suap dari dana kapitasi. Kasus ini bukan yang
pertama terjadi. Bahkan, dengan besaran dana mencapai Rp 13 triliun,
Indonesian Corruption Watch (ICW) mengindikasikan potensi pungutan liar dana
kapitasi mencapai Rp 1,3 triliun per tahun.
Salah satu penyebabnya adalah
ketiadaan kontrol di daerah serta minimnya pengawasan dan pengendalian dana
kapitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Permenkes
No 21/2016 memberikan mandat ruang besar bagi kepala daerah memainkan alokasi
dana kapitasi untuk puskesmas, termasuk sisa dana tak terpakai. Ditambah
potensi penyimpangan dana oleh staf di puskesmas, keduanya menjadi celah
besar pemanfaatan ilegal dana kapitasi di daerah.
Efisiensi atau inefisiensi
Masalah dana kapitasi bukan hanya
permasalahan korupsi. Sejak implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
pola pembiayaan layanan kesehatan berubah signifikan. Pemerintah
memberlakukan sistem kapitasi di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).
Puskesmas, klinik, dan dokter praktik kini dibayar sesuai banyaknya kepala
yang terdaftar di layanan kesehatan yang dikelolanya.
Tujuan kapitasi sesungguhnya baik.
FKTP didorong untuk meningkatkan status kesehatan peserta yang dikelolanya.
Jika angka kesakitan dan kunjungan pasien tinggi, dana kapitasi akan terserap
habis, dan FKTP cenderung merugi. Sebaliknya, jika FKTP mampu mereduksi
jumlah kesakitan dan kunjungan pasien, sisa dana kapitasi meningkat, dan itu
menguntungkan FKTP. Ini merupakan insentif tidak langsung bagi FKTP untuk
meningkatkan kualitas layanan kesehatan yang diberikannya, menjaga kesehatan
pesertanya, dan mereduksi jumlah kunjungan pasien.
Dengan demikian, biaya
kesehatan, secara lokal dan nasional, diharapkan dapat dikelola secara
efisien.
Pada kenyataannya, efisiensi jauh
panggang dari api. Salah satu indikatornya adalah tingkat rujukan pasien ke
rumah sakit yang masih tinggi. Meskipun ada tren penurunan dari 17% di tahun
2015 ke 15% di tahun 2016, angka rujukan masih fluktuatif tinggi dan dalam
interval yang lebar. Ini mengindikasikan bahwa peran FKTP sebagai penapis (gate
keeper) kasus pasien tidak berjalan optimal. Di tahun 2016, BPJS
Kesehatan menerapkan kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan (KBK)
untuk mengontrol kinerja FKTP. Selain rasio rujukan nonspesialistik,
indikator lainnya mencakup angka kontak dan rasio peserta program pengelolaan
penyakit kronis (prolanis). Apakah kinerjanya meningkat? Tidak juga.
Kualitas dan sebaran
KBK tidak menyelesaikan masalah
mendasar hak kesehatan yang ada di lapangan. Pertama, ketersediaan fasilitas
dan tenaga kesehatan sangat bervariasi antar-daerah. Pada daerah rural,
jumlah FKTP rendah. Begitu pun dengan jumlah tenaga kesehatan, termasuk
dokter yang mungkin nihil di satu puskesmas. Pada kondisi ini, masalah kedua
muncul, yaitu kualitas layanan yang rendah. Dengan demikian, menahan angka
rujukan di bawah 15% seperti yang ditargetkan BPJS Kesehatan menjadi hampir
muskil.
Andai pun tercapai, masih ada pertanyaan berikutnya: apakah
masyarakat sudah benar-benar dapat mengakses fasilitas kesehatan yang ada?
Di sinilah masalah hak kesehatan
ketiga, yaitu aksesibilitas. Jumlah FKTP memang meningkat dari 18.000 ke
21.800 dalam empat tahun terakhir, tetapi persebarannya masih terpusat di
area perkotaan. Masyarakat golongan rentan, miskin, dan terpencil tetap tidak
diuntungkan karena jurang aksesibilitas ini.
Di area urban, jumlah FKTP
cenderung jenuh, tetapi menyimpan masalah ketimpangan. Satu FKTP mungkin
hanya mengelola 4.000 peserta, sementara FKTP lain dapat mengelola 45.000
peserta. Jika dikalkulasi secara moneter dengan angka kapitasi maksimal,
jurang pendapatan dana kapitasi antar-FKTP berkisar antara Rp 24 juta-Rp 270
juta per bulan. Rasio dokter dengan peserta pun demikian, merentang antara
1:1800 hingga 1:27.000. Timpang!
Pemerintah daerah tidak melulu
harus berpangku pada infrastruktur fasilitas publik semacam puskesmas semata.
Dorongan untuk mengikutsertakan fasilitas kesehatan swasta juga harus
dikembangkan, terlebih ketika fasilitas publik tidak mampu berjuang
sendirian.
Sayangnya, sampai saat ini FKTP
swasta tidak mendapat insentif yang memadai. Secara teoretis, sistem kapitasi
memang menunjukkan superioritasnya jika dibandingkan dengan sistem pembayaran
per layanan (fee-for-service, FFS). FKTP swasta berjuang beradaptasi
dari pola FFS ke kapitasi, tetapi puskesmas sama sekali tidak. Perbedaan
jatah dana kapitasi per kepala antara puskesmas dan FKTP swasta tidak jauh
berbeda. Padahal, puskesmas mendapatkan anggaran dana dari pemerintah daerah
dan pusat. Sementara FKTP swasta harus mengelola keuangannya mandiri dari
dana kapitasi. Dengan begitu, sistem kapitasi jelas menguntungkan bagi
puskesmas, tetapi belum tentu bagi FKTP swasta.
Langkah antisipasi
Dengan gambaran utuh ini, kapitasi
dan KBK-nya belum jadi insentif bagi perbaikan layanan kesehatan primer.
Pertama, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan jelas perlu menyusun
mekanisme kontrol pengelolaan dana kapitasi yang lebih ketat untuk menurunkan
risiko penyelewengan dana. Tetapi tentu tak berhenti di situ. Pemerintah
daerah pun bukan sekadar harus memikirkan pengalokasian dana kapitasi,
melainkan bagaimana menyeimbangkan ketersediaan dan sebaran fasilitas
kesehatan.
Langkah itu mutlak diperlukan
bukan hanya sebagai langkah efisiensi, juga untuk mewujudkan keadilan sosial
dan memberikan hak kesehatan yang penuh kepada masyarakat. Jika dibiarkan
seperti ini, pemanfaatan layanan kesehatan masih tidak menguntungkan bagi
masyarakat miskin. Sistem kesehatan yang dijalankan tidak pro-poor, dan tidak
sejalan dengan semangat awal JKN.
Kedua, bagaimana memperbaiki
kalkulasi dana kapitasi yang lebih adil bagi FKTP swasta sehingga mendorong
pertumbuhan dan persebaran FKTP. Langkah ini harus dilanjutkan strategi
inovatif dengan merancang persebaran fasilitas kesehatan dan berkolaborasi
dengan sumber daya yang tersedia di daerahnya. Adanya pengaturan jumlah
peserta per fasilitas yang adil, rasio dokter dengan peserta yang seimbang,
dan peningkatan fasilitas dan kualitas, adalah langkah yang mutlak harus
diperjuangkan.
Ketiga, KBK harus dievaluasi dan
tidak lagi menjadi patron kaku secara nasional. Sebagai strategi pembiayaan
berdasarkan kinerja KBK harus dapat dimodifikasi sesuai karakteristik dan
kebutuhan daerah. Tanpa itu semua, kapitasi gagal menjadi instrumen penting
dalam JKN dan keadilan sosial negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar