Kota
Asing dalam Sastra Indonesia
Yusri Fajar ; Penulis dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Brawijaya, Malang
|
KOMPAS,
21 April
2018
Apa yang memungkinkan kota-kota di
mancanegara menjadi bagian dalam karya-karya sastra Indonesia? Beberapa karya
sastra Indonesia yang mengangkat latar kota-kota di luar negeri dan berbagai
peristiwa di dalamnya ditulis oleh para pengarang Indonesia yang tengah atau
pernah berada di mancanegara.
Sebagian dari mereka mengikuti
studi lanjut, seperti Budi Darma di Amerika. Ada juga sastrawan yang sudah
menetap di Jerman, seperti Suprijadi Tomodiharjo yang banyak berkisah tentang
eksil Indonesia di Eropa. Di Belanda pengarang asal Indonesia, Joss Wibisono,
tinggal di sana dan menuliskan cerita-cerita bertema pascakolonial. Novelis
Iwan Setyawan berada di Amerika untuk bekerja dan menarasikan kisah berlatar
negeri Paman Sam. Sementara Aan Mansyur terinspirasi kisah dalam film Ada Apa
dengan Cinta 2 yang juga mengangkat latar Amerika hingga Aan menulis Tidak
Ada New York Hari Ini.
Selain karena kesempatan para
pengarang Indonesia pergi dan tinggal di Eropa dan Amerika, kemunculan
kota-kota di dua wilayah mancanegara tersebut dalam karya sastra Indonesia
sering kali merupakan konsekuensi relasi historis antarbangsa yang melahirkan
narasi penjajahan, migrasi, komunitas diaspora, dan fenomena eksil. Kota-kota
besar, seperti New York dan Amsterdam, dikenal sebagai kota-kota modern yang
multikultural, karena dinamis, terus berkembang, dan dihuni juga oleh para
pendatang.
Jika Budi Darma banyak
mengeksplorasi tokoh-tokoh kulit putih secara dominan, misalnya dalam novel
Olenka dan kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington, pengarang Indonesia yang
melahirkan buku tahun 2000-an, seperti Joss Wibisono, Iwan Setyawan, dan Aan
Mansyur, lebih terfokus untuk menggambarkan kota-kota tersebut sebagai ruang
bagi dinamika kehidupan Indonesia.
Tumpuan
asa
Kota-kota di Eropa dan Amerika
banyak menjadi tumpuan harapan para pendatang. Ruang metropolitan di
negara-negara pelaku penjajahan yang dalam kajian post-colonial disebut
”pusat” menjadi bagian dari obsesi dan mimpi orang-orang dari negeri yang
(pernah) dijajah. Dalam novelet Nai Kai (2017) karya Joss Wibisono, gambaran
tentang seorang dari Indonesia yang sukses di Amsterdam membuktikan bahwa
orang dari negeri terjajah bisa mengaktualisasikan diri dan meraih
kesuksesan.
Nai Kai adalah budak dari
Indonesia yang dibawa ke Belanda oleh seorang tuan Belanda. Di ”Negeri Kincir
Angin” itu Nai Kai sukses menjadi penyanyi orkestra dan menjadi artis
berpengaruh. Di mata Nai Kai, Amsterdam adalah kota yang indah dan mewah.
Pernyataan tersebut di satu sisi
memang menunjukkan penilaian terhadap Amsterdam sebagai kota yang mengagumkan.
Namun, di sisi lain dia seperti ingin mengkritisi perkembangan ibu kota
Belanda itu. Sebagai negara bekas penjajah Indonesia, Belanda telah mengeruk
banyak keuntungan dari eksploitasi alam Indonesia yang sangat mungkin
digunakan untuk membangun kota-kota di Belanda.
Sebagai orang yang berasal dari
bumi Indonesia, Nai Kai tak mau begitu saja menyerahkan seluruh hatinya untuk
Belanda, untuk kota Amsterdam, seperti pernyataannya, ”Dari Kanal, Amsterdam
tampak lebih mewah, ya? … lebih menarik lagi mencari tahu dari mana keindahan
dan kekayaan ini berasal.”
Amsterdam dengan demikian adalah
ruang bagi Nai Kai untuk mengkritisi sekaligus beraktualisasi diri, meraih
asa, dan berkreativitas. Nai Kai tidak hanya berekspresi di gedung kesenian
Belanda, seperti di gedung Felix Meritis di Keizersgracht, Amsterdam, tetapi
juga di Jerman. Dengan melakukan lawatan untuk konser ke sejumlah kota di
Eropa, Nai Kai telah mendekonstruksi stereotip budak dan julukan inlander
yang dulu dilekatkan pada diri, kemudian menjelma figur yang diterima dan
diapresiasi oleh masyarakat Eropa
Membangkitkan
kenangan
Para pendatang dari Indonesia yang
tinggal di luar negeri sering kali tak bisa melepaskan diri dari berbagai
kenangan selama mereka di Indonesia. Kenangan-kenangan yang muncul dalam
pikiran tentang negeri asalnya, Indonesia, bisa menjadi obat kerinduan. Dalam
novel 9 Summers 10 Autums karya Iwan Setyawan (2011), kota New York menjadi
ruang bagi ”aku”, tokoh utama dan sahabatnya, seorang bule asal Kanada, untuk
mengenang kembali waktu yang telah mereka lewati ketika berada di Indonesia.
Sang sahabat, Nico, adalah pelajar asal Kanada yang dulu pernah mengikuti
student exchange di kota asal sang tokoh utama, yaitu Batu, Jawa Timur.
Sementara itu, penyair Aan Mansyur
melalui puisinya ”Tak Ada New York Hari Ini” (2016) menggambarkan aku liris
yang tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Aku liris seperti
teraleniasi di New York: Tidak ada New York hari ini/Tidak ada New York
kemarin/Aku sendiri dan tidak berada di sini/Semua orang adalah orang
lain/Bahasa ibu adalah kamar tidurku/Kupeluk tubuhku sendiri,/Dan cinta—kau
tak ingin aku/Mematikan mata lampu/ Jendela terbuka/Dan masa lampau
memasukiku sebagai angin…. Menegasikan ”New York”, aku liris seperti ingin
menjauh dari kota itu, menghapuskan ingatan dan pengalamannya. Namun,
kenangan, masa lalu di tanah airnya, tak pernah bisa dilupakannya.
Baik Aan Mansyur maupun Iwan
Setyawan menggunakan New York dalam karya mereka, tetapi keduanya menampilkan
Central Park secara berbeda. Aan Mansyur menampilkan Central Park secara
muram karena sang aku liris tengah larut dalam kesedihan. Sementara Iwan
Setyawan menggambarkan Central Park di musim semi yang menjadi latar
pertemuan dua sahabat yang tengah merasakan bahagia karena bisa bertemu
setelah lama berpisah. Upaya keduanya untuk mengingat kembali masa-masa indah
yang telah dilewati menunjukkan harmoni alam (Central Park) dan orang-orang
di dalamnya.
Dalam puisi Aan Mansyur yang
berjudul ”Pagi di Central Park” suasana terasing dan kesepian juga terasa.
Aku liris seperti kesulitan untuk menumbuhkan rasa bahagia di New York.
Kesedihan aku liris dalam penggalan puisi di atas dikonstruksi melalui
suasana yang tidak menyenangkan, seperti melalui gambaran gelandangan yang
tidak dikenal. Lebih jauh, suasana alam di Central Park juga tidak mendukung,
”kolam yang dalam dan diam” bukanlah lanskap keindahan yang membuat riang.
Suasana ini diperparah dengan memori aku liris atas seseorang di Indonesia.
Pada konteks ini, kota New York telah menjadi bagian yang mengonstruksi
kondisi psikologis aku liris yang terasing dan mengalami kegalauan.
Membaca karya sastra Indonesia
yang menggambarkan kota-kota di Amerika dan Eropa, kita akan diantarkan dalam
narasi lintas batas dengan gambaran yang tidak hanya geografis, tetapi juga
sosial dan kultural tentang tokoh-tokoh berlatar Indonesia. Sering kali
kota-kota itu di satu sisi menjadi ruang yang membuat orang Indonesia
terjebak dalam kenangan. Sementara di sisi lain kota-kota itu juga menjadi
ruang bagi orang-orang Indonesia untuk beraktualisasi diri dan meraih impian.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar