Kamis, 26 April 2018

Kakistokrasi

Kakistokrasi
M Subhan SD ;  Wartawan Senior Kompas
                                                         KOMPAS, 21 April 2018



                                                           
John Brennan, mantan Direktur CIA, membuat orang terperangah. Jumat (13/4/2018) pekan lalu, pukul 21.39, ia  ngetwit: ”Kakistokrasi Anda runtuh setelah perjalanan yang menyedihkan. Sebagai bangsa besar, kita punya kesempatan bangun dari mimpi buruk lebih kuat dan lebih berkomitmen untuk memastikan kehidupan  lebih baik bagi semua orang Amerika, termasuk mereka yang secara tragis Anda tipu”. Brennan me-mention Presiden Donald Trump yang dalam twit-nya menuding mantan Direktur FBI James Comey—yang menerbitkan buku baru A Higher Loyalty: Truth, Lies, and Leadership (2018)—sebagai pembocor dan pembohong. Comey dipecat Trump pada 9 Mei 2017,  setelah ia gigih mengusut keterlibatan Rusia di kemenangan Trump pada Pilpres AS 2016.

Cuitan Brennan membangkitkan kembali istilah lama: kakistokrasi (kakistocracy). Istilah itu berasal dari bahasa Yunani; kakistos (buruk) dan kratos (pemerintahan). Cuitan Brennan pun menjadi viral dalam sekejap. Situs kamus Merriam-webster bahkan menyebutkan pencarian kata kakistokrasi sebagai pencarian tertinggi, yaitu meningkat 13.700 persen sejak di-twit Brennan. Banyak orang penasaran: apa kakistokrasi? Kakistokrasi adalah pemerintahan orang-orang terburuk (Merriam-webster.com) atau pemerintahan orang-orang tak layak dan tak kompeten (Oxford Dictionary), atau pemerintahan oleh orang yang paling tidak pantas, tidak mampu, atau tidak berpengalaman (dictionary.cambridge.org).

Istilah kakistokrasi paling awal muncul pada  1644 dalam khotbah Paul Gosnold di St Maries, Oxford. Lalu dipakai novelis Inggris, Thomas Love Peacock dalam The Misfortunes of Elphin (1829); senator AS pembela perbudakan William Harper (1838); penulis Inggris John Martineau mengenai  situasi di Australia (1869); dan penyair AS James Russell Lowell saat bersurat ke koleganya, Joel Benton (1876). Tak heran, The Washington Post (13/4/2018) menulis kakistokraksi sebagai kata kuno yang berusia 374 tahun.

John Martineau menggambarkan makna kakistokrasi lebih jelas dalam catatan perjalanannya, Letters from Australia (1869). André Spicer, profesor perilaku organisasi di Cass Business School di Universitas London menulis tentang gambaran kakistokrasi yang dikisahkan Martineau, yakni kualitas layanan publik yang sangat buruk oleh pemerintah di Australia, para politikus yang melayani diri mereka sendiri, dan perdebatan politik yang sangat kasar sehingga ia bertanya-tanya apakah koloni baru itu akan menjadi kakistokrasi (Theguardian.com, 18/4).

Fenomena seperti  itu tak jauh beda dengan kondisi sekarang. Bukan cuma gaya pemerintahan Trump yang dicap sebagai  kakistokrasi, melainkan dalam batas tertentu gejalanya mirip kondisi politik dalam negeri saat ini.

Ekspresi politik di era demokrasi ini lebih mencerminkan watak kakistokrasi. Para politikus mempertontonkan kekasaran berpolitik yang bikin sumpek ruang politik. Politik kebencian yang provokatif dan agitatif jadi konsumsi paling getir di benak publik. Perdebatan politik tidak produktif, hanya terjebak pada diksi kasar yang makin menjauh dari esensi bangsa dan negara. Belum lagi perilaku koruptif yang masif di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Tidak sedikit politikus di parlemen  (legislatif) tak mengoptimalkan jalur parlemen untuk mengoreksi atau mengkritik pemerintah (eksekutif). Sebaliknya, memilih cara berisik berkoar-koar lewat media sosial. Padahal, media sosial adalah hamparan luas tempat timbunan ”sampah”, tempat komunikasi tuna-adab, dan tempat kebebasan tuna-tanggung jawab.

Begitu dominannya watak buruk di arena politik itu membuat pemerintahan sekarang nyaris tidak menemukan momentum yang baik. Hampir semua kebijakan dikritik. Katanya kritik, tetapi lebih beraroma mempertontonkan kekurangan pihak lain ketimbang semangat untuk mengoreksi. Bahkan ada partai pendukung pemerintah (tentu dapat kursi di kabinet), tetapi para elitenya ikut berteriak keras kepada pemerintah dari ”luar pagar”.

Mengapa terjadi? Tak lain karena soal rebutan kekuasaan. Terlebih Pilpres 2019 tinggal selangkah. Demokrasi tidak dipandang bergantian memegang mandat rakyat. Artinya tidak legawa juga memberi kesempatan pemenang untuk mengelola negara. Maka banyak orang buru-buru berburu kuasa, tidak sabaran. Jadi teringat gambaran Machiavelli (1531) tentang watak singa (lion) yang kuat dan rubah (fox) yang licik. Tipikal singa untuk menakut-nakuti dan tipikal rubah jeli memakai   tipu daya untuk tak masuk jebakan. Demi kuasa, segala cara bisa dihalalkan.

Apakah ini mengarah ke kakistokrasi ketika politik didominasi oleh perilaku buruk dan kasar, yang dapat menihilkan kerja-kerja pemerintah sekarang? Malu pada pejuang bangsa seperti Kartini yang hari lahirnya  diperingati pada hari ini.  Dalam sepotong suratnya kepada EH Zeehandelaar, 25 April 1903, Kartini menulis, ”Kami hendak bekerja untuk bangsa kami, membantu mendidiknya, mengangkatnya ke tingkat derajat kemanusiaan yang lebih tinggi”. Hari ini, lebih seabad kemudian, adakah elite politik yang benar-benar tulus berjuang mengangkat derajat kemanusiaan bangsa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar