Pentingnya
Uji klinis di Zaman Now
Ari Fahrial Syam ; Peneliti dan Praktisi Kesehatan; Dekan FKUI
|
MEDIA
INDONESIA, 21 April 2018
SAAT ini era pelayanan kesehatan
sudah memasuki era pelayanan kesehatan modern. Mendapatkan akreditasi baik
nasional maupun internasional menjadi persyaratan untuk sebuah rumah sakit.
Inti utama yang menjadi tujuan akreditasi baik nasional maupun internasional
ialah keselamatan pasien.
Salah satu hal yang dituntut agar
keselamatan pasien dapat terwujud ialah dokter yang memberikan pelayanan
kesehatan harus bekerja berdasarkan kedokteran berbasis bukti atau evidence
based medicine (EBM).
Saat ini pun kurikulum pendidikan
kedokteran sudah menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Selama menjalani
pendidikan kedokteran, mahasiswa kedokteran mendapatkan modul pendidikan
mengenai EBM. Mereka mempraktikkan dan mendapatkan tugas bagaimana menyusun
EBM. Tentu setelah para dokter ini bekerja sebagai dokter konsep EBM terus
melekat pada diri mereka sebagai praktisi klinis.
EBM tidak mengikat praktisi
bekerja sebagai dokter yang sudah dipasangi kacamata kuda. Dokter tetap
mandiri dalam menentukan pilihan pemeriksaan pendukung membuat diagnosis atau
keputusan terapi, tetapi tentu berdasarkan EBM yang ada.
Di sisi lain para dokter tetap
diminta untuk melakukan inovasi-inovasi dalam melakukan terobosan untuk
praktik kliniknya, tetapi mereka juga paham bahwa dalam melakukan inovasi
baru tersebut ada aturan dan pakem yang harus dilalui.
Komite
etik
Dalam bekerja di RS, ada komite
etik dan komite medik yang menjaga agar dokter dalam melakukan penelitian dan
pelayanan kesehatan harus menjunjung tinggi keselamatan. Jika berencana
melakukan penelitian atau membuat inovasi dan terobosan baru dalam membuat
diagnosis atau terapi, tentu segala sesuatunya harus melalui proses
penelitian atau uji klinik.
Sebelum memulai proses
penelitian, proposal harus lolos komite etik terlebih dahulu. Setelah
proposal lolos kaji etik atau ethical clearance, barulah penelitian dapat
dilakukan. Dalam penelitian atau uji klinik, good clinical practice (GCP)
juga harus dipahami.
Uji klinik di berbagai negara juga
diminta untuk mengikuti kode etik penelitian internasional. Di dalam
melakukan uji klinik tentang suatu pengobatan, ada empat tahapan klinis yang
harus dilalui, bahkan untuk obat tertentu, proses penelitian tersebut harus
melalui uji pra klinik terlebih dahulu. Uji klinik yang baik dan sahih harus
dilakukan secara perandoman dan blinding atau kita kenal dengan istilah
penelitian secara acak dan tersamar ganda (randomized controlled trial).
Pada kesempatan ini saya ingin juga
mengingatkan teman sejawat saya kembali bahwa empat tahap uji klinik yang
harus dilalui antara lain fase pertama yang dilakukan pada kelompok kecil
manusia dan biasanya orang sehat. Fase pertama ini bertujuan menilai
pengobatan baru yang diberikan ini memang tidak menimbulkan isu keamanan dan
keselamatan pasien.
Jika fase pertama dilalui,
penelitian masuk pada uji klinik fase 2 pengujian dilakukan pada kelompok
manusia yang lebih besar dan biasanya pada kelompok pasien yang menjadi
indikasi atau target pengobatan baru atau metode baru tersebut. Pada fase ini
efektivitas dan dosis yang tepat akan diuji.
Setelah uji klinis fase 2 ini
lolos, uji klinis ini bisa lanjut pada uji klinis fase 3. Pada uji klinis
fase 3 ini, peneliti akan melalui pengujian dengan jumlah sampel yang lebih
besar, bisa melibatkan ratusan subjek penelitian dan dilakukan secara
multicentre baik antarsentral pendidikan dalam satu negara, bahkan bisa
penelitian multicentre lintas negara. Jika fase 3 dilalui, obat atau metode
baru ini siap untuk dipasarkan.
Fase 4 tentu fase setelah obat ini
dipasarkan. Di dalam perjalanan uji klinik tersebut, bisa saja terjadi
penghentian uji klinik kalau memang didapat proses-proses yang menunjukkan
ada isu keselamatan pasien yang muncul.
Bahkan di fase 4 pun, setelah
beredar luas di masyarakat ternyata obat tersebut menyebabkan efek samping
pada jantung, misalnya, obat dapat ditarik dari pasaran. Saya ingat, pada
saat di RSCM dilakukan survei Joint Commission International (JCI), proses
penelitian yang dilakukan menjadi sorotan, para surveyor yang sebagian besar
dari Amerika memastikan bahwa dalam proses penelitian yang terjadi
keselamatan pasien yang menjadi hal yang utama.
Pasien yang sedang menjadi subjek
penelitian tidak boleh dikenai biaya, bahkan berbagai efek samping yang
timbul dalam proses penelitian tersebut menjadi tanggung jawab peneliti atau
sponsor dari penelitian tersebut. Bahkan, setelah obat atau metode tersebut
masuk fase 4, obat tersebut bisa ditarik atau metode itu tidak digunakan lagi
kalau memang ditemukan metode yang lebih efektif dan efisien yang dapat
menggantikan metode yang telah dipasarkan tersebut.
Uji klinik ini seharusnya telah
dipahami dengan baik dan saat ini para mahasiswa kedokteran juga mendapatkan
modul tentang EBM dan modul penelitian. Uji klinik yang sesuai dengan GCP
bukan sesuatu penghalang, bahkan sebaliknya menjadi tantangan untuk
dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Menjadi
pedoman
Oleh karena itu, untuk menuju
kemandirian bangsa, semua anak bangsa harus dirangsang untuk melakukan
terobosan dan inovasi. Inovasi yang
baik dan unggul yang bisa memperkaya khasanah pengobatan modern
merupakan suatu produk anak bangsa yang pasti membanggakan dan membuat kita
menjadi mandiri.
Namun, tentu inovasi yang
dihasilkan harus melalui proses uji klinis yang saat ini aturan-aturannya
sudah jelas. Apalagi, saat ini peneliti disyaratkan untuk mempunyai
sertifikat GCP sebelum memulai melakukan penelitian klinisnya.
Saat uji klinis tersebut belum
tuntas sampai fase uji klinis 3,
memang kita harus maklum bahwa ada kode etik yang harus kita taati
yang tidak memperbolehkan kita melakukan promosi bahkan menarik biaya untuk
pasien-pasien yang sedang memasuki fase uji klinik 2 dan 3. Aturan yang ada
bukan merupakan penghambat, bahkan sebaliknya aturan yang ada menjadi pedoman
agar uji klinik dapat dilakukan secara optimal dan berhasil guna.
Masyarakat pun harus cerdas saat
menjadi pasien apakah metode yang ditawarkan sudah melalui uji klinik yang
baik atau tidak. Apakah mereka hanya mendapat informasi melalui testimoni
atau memang tahu bahwa metode baru pengobatan yang diberikan sudah menjadi
standar pengobatan.
Tanyakan kepada dokter yang Anda
kenal baik untuk suatu inovasi baru yang ditawarkan. Di era teknologi
informasi saat ini segala sesuatunya mudah untuk diakses. Semakin kritisnya
pasien akan membuat para praktisi klinis juga akan bekerja lebih baik sesuai
dengan aturan yang berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar