Menyehatkan
Demokrasi
Yudi Latif ; Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila
|
KOMPAS,
19 April
2018
Nyawa demokrasi Indonesia
menghadapi ancaman dari tiga wabah epidemik: pendangkalan penalaran,
dekadensi etis, dan kekerasan ekspresi. Rongrongan dari ketiga penyakit
menular itu berpotensi mematikan. Sebab, seperti diingatkan oleh Juergen
Habermas (1983), kesehatan ruang publik memerlukan interaksi setimbang dari kewarasan
dimensi kognitif-saintifik, praktis-moral, dan ekspresif-estetik.
Pendangkalan penalaran tecemin
dari ketergesaan melakukan generalisasi dan penghakiman dengan kesembronoan
logika oposisi biner (hitam-putih). Contoh dari kecenderungan itu diwakili
oleh pertanyaan dalam diskusi publik, ”Apakah kitab suci itu fiksi atau
bukan?”
Jika kitab suci itu fiksi belaka,
realitas keberadaan sosok Nabi Muhammad, Yesus Kristus, dan Sidharta Gautama,
yang dikisahkan dalam kitab suci agama masing-masing, harus dipandang sebagai
fiksi. Hal ini merupakan penyangkalan terhadap fakta historis eksistensi
ketiga sosok agung itu. Bagaimanapun juga, sebagian besar isi kitab suci itu
mengandung kisah-kisah kesejarahan berbasis realitas faktual (setidaknya
menurut keyakinan pemeluknya). Selebihnya, ada pula narasi doktrinal, juga
nubuat dan keyakinan eskatologis yang memiliki kedekatan dengan ”fiksi”.
Melakukan generalisasi secara serampangan dengan menyimpulkan kitab suci
sebagai fiksi mencerminkan ketidakcermatan nalar ilmiah, yang secara politik
kewargaan kurang sensitif terhadap tuntutan political correctness (adab
ujaran politik yang benar) dalam diskursus publik dengan ragam identitas.
Ketidakpekaan terhadap tuntutan
political correctness mencerminkan peluruhan etika publik. Dalam beberapa
tahun terakhir, wacana publik mengalami gelombang pasang ujaran kebencian
melalui fabrikasi politik identitas yang eksklusif dan diskriminatif.
Berbagai serangan verbal dan ujaran semena-mena dilontarkan tanpa sikap
empati terhadap posisi dan perasaan identitas yang berbeda. Kita seakan lupa
bahwa keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan ”kebajikan kewargaan” (the
virtue of civility), yakni rasa pertautan dan tenggang rasa di antara ragam
perbedaan serta kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui
kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara
toleran ke tertib sipil.
Meski demikian, respons terhadap
kekeliruan dalam diskursus publik sebaiknya tidak menggunakan sarana
pembungkaman dengan senantiasa menyeretnya ke aparatur penegak hukum. Terlalu
mudah menghukum seseorang hanya karena bait-bait puisi—yang secara teoretis
memiliki kebebasan licentia poetica—atau karena kekhilafan menarik kesimpulan
dalam diskursus publik bisa mengancam budaya demokrasi.
Perlu disadari bahwa demokrasi
yang sehat memerlukan topangan budaya ekspresif-estetik yang kuat. Kebebasan
bicara bukan saja suatu hak negatif yang harus dilindungi dari berbagai
bentuk upaya pembungkaman, melainkan juga suatu hak positif yang harus terus
diasah agar warga negara cakap mengekspresikan pikiran dan aspirasinya secara
argumentatif dan estetik (tanpa kekerasan).
Dalam kaitan dengan demokrasi dan
kebebasan, John Stuart Mill (1806-1873) melalui karyanya, On Liberty,
mengingatkan tentang lonceng kematian kebebasan yang ditimbulkan oleh
pemaksaan pendapat. Mill menentang keras kecenderungan khalayak untuk
melarang pendapat yang tidak mereka setujui. Pembungkaman atas sebuah
pendapat adalah kejahatan dengan prinsip bahwa setiap orang berhak mengemukakan
pendapatnya. Kebebasan berbicara harus dilindungi karena manusia pada
dasarnya tidaklah tanpa kesalahan. Karena kemungkinan kesalahan setiap
manusia itulah sikap intoleran terhadap pendapat yang berbeda (bahkan yang
keliru) adalah salah.
Mill tidaklah berbicara dalam
konteks negara otoriter atau diktator, tetapi tentang negara demokratis.
Ketika Mill menulis, di Inggris, kebebasan untuk menyatakan pendapat sudah
mantap terjamin dalam hukum. Akan tetapi, justru dalam situasi ini ancaman
baru muncul, yaitu ancaman dari masyarakat sendiri yang tidak toleran. Dalam
negara yang demokratis, bahaya terhadap kebebasan berpikir dan berpendapat
tidak lagi datang dari negara, sebagaimana terjadi pada negara-negara
otoriter, tetapi dari masyarakat sendiri.
Kekhawatiran Mill tentang potensi
ancaman terhadap kebebasan demokratis dari jantung masyarakat sendiri
mendapatkankan relevansinya dalam konteks kemunculan fanatisme dalam ruang
publik Indonesia saat ini. Fanatisme, baik bersifat sekuler maupun keagamaan,
bersifat iconoclast, yakni menolak prinsip representasi (lembaga perwakilan)
di politik, menolak perbedaan tafsir, dan menolak kreativitas ekspresi
estetik.
Dengan klaimnya sebagai penjaga
”kebenaran”, kelompok-kelompok fanatik cenderung anti-kebebasan dan
melancarkan aksi kekerasan dalam memperjuangkan pemahamannya. Dengan
demikian, fanatisme menghadang usaha konsolidasi demokrasi yang mensyaratkan
adanya sikap kewargaan yang inklusif. Suatu kesiapan untuk mentransendensikan
diri dari perbedaan yang tak terelakkan demi mengutamakan substansi yang
mendukung kebajikan bersama.
Demikianlah problem demokrasi
Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan gonta-ganti perangkat keras
prosedur pemilihan dan perundangan. Yang lebih substantif adalah membangun perangkat
lunak budaya demokrasi dalam kesehatan dimensi kognitif-saintifik,
praktis-etis, dan ekspresif-estetik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar