Hukum
Kompetisi Tarif Ojek Online
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Hukum Bisnis FE Univ Kristen
Petra Surabaya
|
JAWA
POS, 29 Maret 2018
Polemik angkutan umum kini
bergeser dari protes angkutan offline atas kehadiran ojek online ke protes
sopir ojek online yang merasa jadi korban perang tarif antar perusahaan
penyedia aplikasi online. Selasa (27/3) para pengemudi ojek online berunjuk
rasa di depan Istana Negara dan perwakilannya menemui Presiden Jokowi karena
kesal dengan kebijakan perusahaan aplikasi yang menerapkan tarif tak
manusiawi.
Para sopir yang berasal
dari mitra Go-Jek, GrabBike, dan Uber itu meminta pemerintah untuk menaikkan
tarif yang saat ini Rp 2.000 per km menjadi Rp 4.000 per km. Mereka juga
menuntut pemerintah merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (LLAJ) yang dijadikan acuan oleh Kementerian Perhubungan
(Kemenhub) sebagai landasan pembuatan Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 terkait tarif
dan wilayah operasi serta kuota angkutan online.
Memang, persoalan baru
dalam bisnis angkutan online itu muncul karena Kemenhub lupa bahwa masalah
persaingan tarif angkutan online seharusnya mengacu pada UU Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Antimonopoli). Kemenhub harus membedakan kuota angkutan dengan volume
penguasaan pangsa pasar. Kuota ala Kemenhub seharusnya terkait dengan jumlah
armada, sedangkan pangsa pasar terkait dengan keseluruhan permintaan jasa
angkutan.
Artinya, pengusaha
angkutan (offline maupun online) yang memiliki banyak armada belum tentu
menguasai mayoritas pangsa pasar karena terkait kualitas kendaraan dan
pilihan konsumen. Pemerintah juga seharusnya tidak menyamakan pengusaha aplikasi
angkutan online dengan pengusaha jasa transportasi (offline) yang bertindak
sebagai pemilik armada angkutan.
Pengusaha aplikasi online
hanya memfasilitasi dan mengelola warga (pemilik kendaraan) yang mau
berbisnis jasa angkutan. Sedangkan pengusaha jasa transportasi merupakan
pemilik sekaligus pengelola sejumlah kendaraan angkutan atau bermitra dengan
para sopirnya. Karenaitu, pengusaha jasa transportasi offline tidak bisa
disandingkan dengan pengusaha aplikasi angkutan online dalam konteks persaingan.
Hanya, pengusaha aplikasi berhasil memecah kegiatan usaha transportasi ke
siapa pun yang ingin berbisnis jasa angkutan.
Menata
Pengusaha Aplikasi
Tarif yang murah dan
transparan sebenarnya merupakan dampak positif kemajuan teknologi sehingga
(secara alamiah) para pemilik angkutan online bisa menguasai pangsa pasar
(monopoly by nature) karena keinginan konsumen, bukan intrik persaingan.
Monopoli alamiah lahir secara wajar karena mekanisme pasar. Pelaku usaha bisa
saja unggul dalam persaingan karena kondisi objektif yang dimilikinya,
termasuk keunggulan teknologi.
Jadi, tarif murah akibat
kemajuan teknologi tidak bisa disamakan dengan perilaku predatory pricing
yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Persoalannya, kompetisi sengit
justru terjadi di antara pengusaha aplikasi (pemegang lisensi teknologi
angkutan online) yang bisa berdampak buruk terhadap mitranya, yaitu para
sopir ojek online. Dalam hal ini, negara memang wajib hadir sebagai pelindung
seluruh warganya.
Jangan sampai perang antar-’’gajah’’
perusahaan aplikasi online mengorbankan para pelaku usaha kecil tersebut.
Karena itu, negara harus menerapkan UU Antimonopoli terhadap pengusaha
aplikasi online. Misalnya, pasal 20 UU Antimonopoli (terkait predatory price)
menyebutkan: Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/jasa dengan
cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga/tarif yang sangat rendah
dengan maksud menyingkirkan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan.
Jadi, perilaku predatory
pricing (jual rugi) merupakan intrik kotor oknum pelaku usaha untuk
menyingkirkan pesaingnya. Lalu, ia menaikkan kembali harga produknya setelah
berhasil mengusir pesaingnya. Bahkan, tarif/harga yang diterapkannya di
kemudian hari bisa lebih mahal daripada tarif normal. Karena itu, demi
keadilan bagi semua pengusaha angkutan (aplikasi dan konvensional),
pemerintah sudah seharusnya konsisten dengan UU Antimonopoli yang tidak
mengatur soal batasan tarif bawah-atas.
Namun, UU Antimonopoli
mengatur bentuk-bentuk penguasaan pangsa pasar yang dilarang karena merugikan
konsumen, mitra, maupun kompetitor. Misalnya, pasal 4 sampai 16 UU
Antimonopoli mengatur tentang perjanjian terlarang bagi pelaku usaha yang
bisa melahirkan tarif/harga tinggi. Antara lain, larangan pembagian wilayah
pemasaran, larangan perjanjian dua atau lebih perusahaan untuk menguasai
lebih dari 75 persen pangsa pasar barang/ jasa sejenis (oligopoli), dan
larangan penetapan harga maupun kartel.
Kemudian, pasal 17 sampai
29 melarang penguasaan pangsa pasar maupun pasokan barang/jasa sejenis lebih
dari 50 persen oleh satu pengusaha. Juga, larangan posisi dominan terkait
akses pasokan dan penjualan barang/jasa. Persoalannya, apakah penguasaan
pangsa pasar angkutan oleh segelintir pengusaha aplikasi tergolong monopoli
produk jasa yang dilarang? Ini menjadi tugas KPPU untuk menelitinya.
Yang penting, semua
pengusaha angkutan offline sudah saatnya mengikuti perkembangan zaman menuju
efisiensi tinggi lewat sistem online.
Ketika pengusaha penyedia
aplikasi online tidak lagi dipertentangkan dengan pengusaha angkutan offline,
saatnya menata pengusaha aplikasi online sesuai spirit ekonomi jalan tengah
yang dianut pasal 33 UUD 1945. Pemerintah boleh saja membuat regulasi
persaingan, tapi wajib mengacu pada UU Antimonopoli yang merupakan acuan
dalam menciptakan kesimbangan bisnis di masyarakat.
Paling tidak, Kemenhub
mengajak KPPU untuk membahas masalah itu. Penegakan hukum atas kompetisi
angkutan pun sebaiknya diserahkan kepada KPPU, bukan ke Kemenhub. Sebab,
Kemenhub tidak berwenang mengurusi struktur penguasaan pangsa pasar dalam
bisnis jasa transportasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar