Blasphemy
Nasaruddin Umar ; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 April 2018
BLASPHEMY menurut bahasa berarti
penghujatan, pencemaran, penjelekan, dan pemfitnahan. Dalam bahasa populer,
blasphemy sering diartikan sebagai penghinaan, penistaan, atau penodaan
terhadap hal-hal yang menyangkut agama dan keyakinan seseorang atau kelompok.
Penistaan atau penodaan tersebut
bisa dalam bentuk kata-kata, tulisan, display gambar, karikatur, film, dan
aksi karikatur. Blasphemy oleh banyak negara termasuk pelanggaran pidana yang
diancam dikenai sanksi karena berpotensi menimbulkan keresahan dan kerusuhan
di dalam masyarakat. Di Indonesia, kata blasphemy sudah ditenggelamkan
pengertiannya oleh kosa kata 'ujaran kebencian', terutama dengan
diundangkannya sejumlah peraturan dan perundang-undangan.
Begitu pentingnya persoalan ini
maka dimunculkkan di dalam piagam International Covenant on Civil and
Political Rights, kemudian diserukan untuk diratifikasi seluruh negara.
Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasinya menjadi UU Nomor 12
Tahun 2005.
Salah satu pasal penting UU itu
ialah Pasal 18 ayat (1) dan (2) sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas
kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan
untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri. Dan kebebasan baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang
lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau
kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun boleh
dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. Jauh sebelum UU Nomor 12
Tahun 2005 ini, Indonesia sudah menetapkan UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menegaskan dalam
pasal 1 dan 2 sebagai berikut. Pasal 1, setiap orang dilarang dengan sengaja
di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum
untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia.
Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2, barang siapa melanggar
ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk
menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Apabila pelanggaran tersebut dalam
ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan maka
Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan
organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan
lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Sama dengan UU PNPS 1965 di atas,
UUD 1945 juga menegaskan dalam Pasal 28 J pasal (2): "Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dari pasal-pasal tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa jaminan kebebasan beragama tidak berarti seseorang dapat
semaunya menyatakan pendapat dan penilaian terhadap agama dan keyakinan orang
lain dengan cara melawan hukum, yakni dengan sengaja melakukan penistaan dan
penodaan dengan cara apa pun terhadap simbol-simbol agama dan keyakinan orang
lain.
Dengan kata lain, kebebasan
beragama tidak berarti kebebasan untuk mengacak-acak agama dan keyakinan
orang lain. Sebagai negara dan bangsa beradab seharusnya segenap warga negara
Indonesia menghindari ujaran kebencian (blasphemy).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar