Lingkaran
Setan Generasi Stunting
Ali Khomsan ; Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 24 April 2018
KATA atau istilah ‘setan’ sedang
rada sensitif akhir-akhir ini. Namun, tulisan ini tidak membahas partai atau
politik, tetapi problem stunting (generasi pendek) di negara yang kita cintai
ini. Stunting mendapat perhatian dari Kepala Bappenas dan bahkan Presiden
Joko Widodo dalam rapat di Istana Negara yang membahas khusus masalah ini.
Mengapa stunting perlu mendapat
perhatian serius? Berbagai kajian ilmiah telah mengungkap dampak buruk
stunting. Kemampuan kognitif anak stunting diketahui lebih rendah sehingga
mengakibatkan rendahnya mutu SDM. Pada saat dewasa anak stunting akan lebih
mudah mengembangkan penyakit kronis (misal diabetes) yang akan menurunkan
produktivitas kerja. Selain itu, stunting menyebabkan generasi yang akan
datang lebih mudah gemuk.
Kalau kita menelaah stunting,
pertama-tama yang harus kita cermati ialah tentang kondisi kehamilan kaum
perempuan Indonesia. Dalam periode sembilan bulan yang sangat genting, ibu
hamil harus mendapat asupan gizi cukup sehingga terhindar dari anemia maupun
KEK (kurang energi kronis).
Tragisnya, ibu hamil penderita
anemia di Indonesia masih cukup tinggi dan ini berpotensi pada rendahnya
kualitas output kelahiran, yaitu berat bayi lahir rendah (< 2,5 kg). Bayi
yang lahir kurang berat akan memunculkan gangguan pertumbuhan dalam periode
anak-anak. Jadi, stunting sesungguhnya diawali kurangnya gizi saat ibu hamil.
Selanjutnya, periode anak balita
yang sering disebut golden age ternyata menjadi titik rawan bagi seorang anak
untuk mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan, yang mendera 27 juta
penduduk Indonesia, akan menekan akses pangan keluarga dan yang menjadi
korban utama ialah anak balita.
Akibat
kemiskinan
Anak balita termasuk kelompok
rawan (vulnerable group), yang berarti tumbuh kembangnya mudah dipengaruhi
lingkungan sekitar, terutama ketersediaan pangan di tingkat keluarga.
Kemiskinan akan melahirkan generasi stunting.
Memasuki periode remaja, ancaman
gizi yang mereka hadapi ialah anemia. Anemia hingga kini masih menjadi
problem gizi yang paling sulit diatasi. Salah satu penyebabnya ialah
kurangnya asupan pangan hewani di kalangan masyarakat Indonesia.
Konsumsi ikan, telur, daging,
maupun susu yang rendah merupakan cermin daya beli kita. Jadi, kalau saat
remaja mereka sudah mengalami anemia, pada periode selanjutnya yakni dewasa
muda hingga memasuki jenjang pernikahan, mereka akan senantiasa diintip
problem gizi. Stunting menjadi lingkaran setan yang sulit diatasi, kecuali
dilakukan intervensi berbasis pangan dan kesejahteraan untuk seluruh siklus
daur kehidupan.
Generasi stunting akan mengalami
keterbatasan wawasan karena secara intelektual mereka akan kalah jika
dibandingkan dengan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Kemampuan kognitif
yang rendah akan mengancam daya saing generasi yang akan datang. Oleh sebab
itu, memerangi stunting harus mendapat perhatian serius pemerintah yang
dikabarkan baru akan menggenjot pembangunan SDM pada 2019.
Kinerja posyandu yang merupakan
ujung tombak program gizi di lapangan harus didongkrak. Citra bahwa posyandu
hanya tempat penimbangan anak balita dan pembagian bubur kacang hijau sudah
saatnya diperbaiki. Berbagai intervensi gizi seperti pemberian makanan
pendamping ASI untuk anak balita harus dilakukan. Kalau hanya berupa biskuit,
daya ungkitnya sungguh tidak kelihatan.
Anak balita tidak memerlukan
makanan khusus karena mereka umumnya makan seperti anggota keluarga lainnya.
Mereka minum susu, makan telur, makan daging ayam, makan ikan, dll. Jadi,
kalau pendekatan food-based akan menjadi strategi pengentasan stunting,
berikan saja akses pangan bagi keluarga miskin yang di dalamnya terdapat anak
balita, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Salah satu program bantuan pangan
yang bisa ditiru ialah yang dikembangkan pemerintah AS sejak puluhan tahun
lalu.
Metode voucer pangan sudah lama
diterapkan di Amerika Serikat untuk membantu keluarga miskin di sana. Program
Foodstamp atau program WIC (Women, Infants, and Children) ialah program yang
sangat populer di Amerika. Program Foodstamp orang miskin di Amerika
memperoleh voucer senilai uang tertentu yang kemudian dapat digunakan untuk
membeli makanan apa saja yang diinginkan di setiap toko swalayan yang
ada.
Program
pangan
Program WIC memberikan voucer yang
di dalamnya sudah tercantum jenis makanan tertentu sebatas pada sereal, susu,
telur, orange juice, dan peanut butter. Itu terjadi karena program WIC
sasarannya ialah anak balita, ibu hamil, dan menyusui dari keluarga miskin.
Jenis makanannya sengaja ditetapkan tertentu supaya dapat memenuhi gizi
kelompok khusus ini.
Kalau saya perhatikan,
penyelenggaraan program Foodstamp atau program WIC setali tiga uang dengan
program subsidi pangan. Makanan yang dibeli melalui voucer sama persis dengan
makanan yang tersedia sehari-hari di toko swalayan. Jadi, dalam hal ini orang
miskin mendapatkan bantuan pangan gratis, sementara toko swalayan tetap
mendapat penggantian dari pemerintah sesuai dengan harga yang berlaku di
pasaran.
Dalam implementasi program voucer
pangan ini, sesungguhnya bukan hanya orang miskin yang diuntungkan, melainkan
voucer ini menciptakan pasar sehingga ekonomi atau perdagangan bahan pangan
akan semakin menggeliat. Kebijakan beras miskin (raskin), kini disebut beras
sejahtera (rastra), dulu diberikan kepada masyarakat miskin berupa beras.
Mulai 2017 telah diujicobakan
bantuan pangan nontunai (BPNT) langsung ke keluarga miskin senilai Rp120 ribu
per keluarga per bulan. Komoditas pangan yang dapat dibeli dengan kartu BPNT
masih sangat terbatas dan belum sepenuhnya berorientasi pada pengentasan
masalah gizi atau pengurangan stunting. Diharapkan, model ini bisa semakin
disempurnakan dan mendekati bantuan pangan seperti di Amerika sehingga
problem stunting dapat segera diatasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar