Facebook
dan Hasrat Kita
Thomas Hidya Tjaya ; Pengajar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
26 April
2018
Ditinjau dari sudut ukuran
dan pengaruh, Facebook merupakan proyek manusia yang paling berhasil saat
ini. Dengan jumlah pengguna aktif sebanyak 2,13 miliar per bulan menurut data
akhir Desember 2017, perusahaan yang didirikan Mark Zuckerberg ini telah
melebarkan sayapnya dengan begitu cepat sejak peluncurannya secara terbatas
untuk para mahasiswa Harvard tahun 2004.
Tak ada teknologi atau
bentuk pelayanan yang diadopsi sedemikian cepat dan digunakan sedemikian
aktif sepanjang sejarah manusia. Indonesia, menurut laporan awal 2018 dari We
Are Social dan Hootsuite, berada di peringkat ketiga setelah Filipina dan
Brasil dalam kategori penggunaan waktu untuk media sosial, termasuk Facebook,
yaitu selama tiga jam 23 menit per hari.
Faktor di balik
keberhasilan Facebook bukan hanya menyangkut teknologi dan investasi, juga
menyangkut diri para penggunanya sebagai manusia. Perusahaan teknologi ini
tahu betul bagaimana memanfaatkan hasrat-hasrat mendalam manusia dan
mengarahkannya pada perilaku yang diharapkan.
Hasrat
mimetik
Tidak banyak orang
menyadari, ketika berada di Universitas Harvard, Zuckerberg tidak hanya
mempelajari sains komputer, juga psikologi. Bidang terakhir ini sangat
menentukan arah perkembangan Facebook yang bermula sebagai sebuah direktori
foto mahasiswa.
Ketika diluncurkan,
Facebook hanya dapat digunakan oleh para mahasiswa Harvard, lalu diperluas ke
sejumlah kampus elite lain di AS dan Inggris. Idenya adalah agar para
mahasiswa dapat saling melihat apa yang dilakukan rekan-rekan mereka di
kampus-kampus setingkat mereka. Di sinilah Zuckerberg tampaknya mulai
menerapkan ilmu psikologi dalam mengembangkan Facebook, khususnya dengan
memanfaatkan rasa ingin tahu manusia. Ia memahami cara berpikir dan perilaku
manusia, khususnya dalam dinamika sosial menyangkut popularitas dan status.
Kombinasi teknologi
komputer dan psikologi manusia mendapatkan bentuk yang lebih jelas lagi
ketika Facebook memperoleh investasi pertama pada Agustus 2004 sebesar
500.000 dolar AS dari Peter Thiel, pengusaha Sillicon Valley.
Ketika studi di
Universitas Stanford, Thiel memilih bidang konsentrasi filsafat dan tertarik
pada pemikiran sejarawan dan filsuf Perancis, Rene Girard, khususnya mengenai
hasrat untuk meniru (mimetic desire).
Dalam bukunya, Things Hidden Since the
Foundation of the World (1987), Girard memperlihatkan bahwa semua proses
pembelajaran dibangun atas tindakan meniru. Seandainya manusia tiba-tiba
berhenti meniru, demikian Girard, semua bentuk budaya akan hilang.
Dalam wawancaranya dengan
Business Insider tahun 2014, Thiel menegaskan pemikiran Girard bahwa tindakan
imitasi tidak dapat dihindari. Kita melakukan apa yang kita lakukan karena
orang lain melakukan hal yang sama. Karena itulah, menurut Thiel, manusia
sering bersaing untuk hal-hal yang sama: sekolah, pekerjaan, dan pasar yang
sama.
Tampaknya logika ”imitasi
sebagai akar dari semua perilaku” ada di balik keputusan Thiel untuk
melakukan investasi atas Facebook. Dalam media sosial ini setiap pengguna
dapat melihat semua yang dimiliki dan dilakukan oleh para pengguna lainnya
dalam bentuk kisah, foto, maupun video. Ia tidak perlu pergi jauh-jauh untuk
mendapatkan informasi tersebut karena para pengguna lain menyediakan semuanya
secara cuma-cuma.
Orang mendapatkan gagasan
mengenai tempat berlibur hanya karena melihat foto liburan yang diunggah
rekan pengguna. Demikian pula asal mula keputusan banyak pengguna membeli
baju, sepatu, anting, dan berbagai produk lainnya. Jadilah Facebook sebagai
wahana bagi para penggunanya untuk memenuhi hasrat mimetik mereka. Tidaklah
mengherankan Facebook menarik perhatian banyak perusahaan iklan yang ingin
menawarkan produknya kepada penggunanya.
Pengakuan
dan popularitas
Hasrat untuk meniru orang
lain tidak akan dapat dipenuhi jika kita tidak dapat melihat apa yang
dimiliki dan dilakukan oleh orang lain. Isi (content) seperti ini tidaklah
disediakan oleh Facebook, tetapi oleh para penggunanya. Tanpa berita, foto
atau video yang mereka unggah, Facebook bukanlah platform apa-apa. Karena
itu, tanpa disadari, para pengguna ini sebenarnya bekerja secara gratis untuk
perusahaan teknologi ini melalui unggahan mereka. Dalam zaman apa pun,
mencari pekerja gratis tentu saja sulit, kecuali ada faktor lain yang membuat
hal ini tidak dilihat sebagai sebuah pekerjaan. Faktor lain ini adalah hasrat
manusia terhadap pengakuan orang lain dan popularitas.
Mungkin sebagian orang
tidak setuju bahwa mereka memiliki keinginan untuk dikenal. Secara pribadi
mereka mungkin tidak. Akan tetapi, seandainya manusia tidak memiliki hasrat
tersebut, mustahil Facebook memiliki sekian banyak pengguna yang dengan
sukarela mengunggah foto dan video terbaik kegiatan-kegiatan mereka. Melalui
media sosial ini mereka ingin dilihat oleh orang lain sebagaimana mereka
ingin dilihat. Demi kepentingan ini, tidak jarang mereka mengedit foto-foto
yang diunggah agar wajah mereka tampak lebih cantik dan berseri. Facebook pun
dengan cepat menjadi wadah bagi para penggunanya untuk saling menunjukkan
status sosial, popularitas, kehebatan dan bahkan kekayaan.
Dalam hal ini misi awal
Facebook untuk ”membuat dunia semakin terbuka dan terkoneksi” tampaknya
memang tercapai karena para penggunanya dapat saling mengenal melampaui
batas-batas fisik dan geografis. Di sini konektivitas diperlihatkan sebagai
tujuan pada dirinya sendiri: to be on
Facebook is to be connected.
Mungkin karena menyadari
sejumlah akibat negatif dari keterbukaan dan konektivitas ini, termasuk
pengaruh Facebook terhadap hasil Pemilu AS tahun 2016 dan melimpahnya berita
bohong dalam platform ini, Zuckerberg pun memperbarui pernyataan misinya pada
pertengahan 2017 untuk memampukan orang guna membangun komunitas dan semakin
mendekatkan dunia.
Sementara pembaruan misi
ini patut diapresiasi, Facebook tetap menghadapi persoalan penyalahgunaan
platform tersebut untuk kepentingan pribadi, bisnis, maupun politik. Hasrat
terhadap pengakuan dan popularitas
membuat banyak orang tidak ragu melakukan apa saja untuk memenuhinya,
termasuk membentuk ”komunitas” akun-akun palsu dan bot.
Ketidakraguan para
pengguna untuk mengunggah berbagai materi menyangkut diri mereka di Facebook
sesungguhnya perlu diprihatinkan. Bayangkan kalau kita bertemu orang yang
tidak kita kenal di jalan dan orang tersebut menanyakan identitas kita
seperti nama, alamat, status relasi, anak, hobi. Hampir pasti kita tidak akan
memberikan informasi demikian karena khawatir informasi tersebut dapat
disalahgunakan dan membahayakan kita sendiri. Namun, dalam dunia digital
kewaspadaan ini sepertinya hilang begitu saja. Mengapa? Dugaan saya, dalam
dunia digital, kita mengasumsikan sebuah interaksi dengan mesin, bukan dengan
manusia. Karena itu, kita dengan mudah mengunggah di Facebook berbagai materi
menyangkut diri dan keluarga kita yang dalam kehidupan konkret tidak akan
kita bagikan dengan mudah.
Hal yang kita lupakan
adalah bahwa justru mesin atau komputer dapat mengingat dan mencatat jauh
lebih banyak daripada manusia mana pun. Artinya, Facebook mengenal kita jauh
lebih dalam daripada orang yang paling dekat dengan kita sekalipun, bukan
saja melalui foto dan video yang kita unggah, tetapi juga semua klik like dan
iklan yang kita tekan.
Bagi sejumlah pengamat
teknologi, seperti Jonathan Taplin dalam Move Fast and Break Things (2017)
dan Antonio Garcia Martinez dalam Chaos Monkeys (2016), Facebook merupakan
surga bagi para pemasang iklan, tetapi mimpi buruk bagi para penggiat
privasi.
Dalam pengamatan mereka,
sebenarnya para pengguna produk dari Facebook dan sebagai produk, (data)
mereka dijual kepada para pelanggannya, yaitu pemasang iklan yang ingin
menggunakan jaringan ini dan menargetkan iklan tertentu pada pengguna
tertentu.
Rekomendasi pengguna
kepada rekan- rekannya turut berperan dalam hal ini, seperti diungkapkan oleh
Zuckerberg ketika meluncurkan program Iklan Facebook (Facebook Ads) tahun
2007: ”Tidak ada yang lebih mampu memengaruhi orang daripada rekomendasi dari
seorang sahabat yang dapat dipercaya”.
Pola ini digunakan bukan
hanya menyangkut iklan, juga soal berita. Karena itu, digunakanlah algoritma
untuk menyeleksi berita-berita yang hendak disampaikan kepada para pengguna
tertentu, sebagaimana terungkap dalam skandal penyalahgunaan data pribadi
mereka oleh Cambridge Analytica demi kepentingan kampanye politik.
Facebook itu ibarat taman
bermain yang sangat besar dengan berbagai permainan yang selalu baru dan
tiada habisnya. Pengguna bebas menggunakan semua permainan asal mereka
bersedia mengungkap berbagai identitas mereka dan memberi sumbangan khas pada
taman itu. Rupanya banyak orang tak berkeberatan dengan persyaratan ini.
Distraksi
Haruslah diakui, ada
banyak hal yang dapat dilakukan, dilihat dan dinikmati pada Facebook. Karena
itu, media sosial seperti Facebook pun sering jadi tempat mencari distraksi
bagi banyak orang yang ingin keluar dari kegiatan rutin mereka.
Menatap ke luar jendela
untuk menikmati pemandangan bukan lagi cara bagi manusia zaman now dalam
melakukan sebuah perjalanan. Perhatian tertuju pada layar telepon seluler dan
apa saja yang dipresentasikan dalam dunia digital. Dengan keingintahuan yang
besar, termasuk pada hal-hal spektakuler dan mengejutkan, pengguna media
digital akan mengeklik apa saja yang menarik minat mereka.
Hasrat seperti ini membuat
berita bohong (fake news) mudah
sekali dibaca dan disebarkan, khususnya ketika penggunanya didorong juga
hasrat terhadap pengakuan dari orang lain dan popularitas.
Don’t
be evil, demikian moto dan kode etik Google ketika diluncurkan
tahun 2000. Barangkali moto tersebut dipilih karena pencetusnya tahu bahwa
ada banyak hal jahat yang dapat dilakukan dalam sebuah ranah baru seperti
internet. Kebaruan, ketidaktahuan dan tiadanya regulasi dapat membuat para
pemain dalam ranah ini jadi jahat dan bertindak dalam cara yang tidak
dipahami, baik oleh pengguna maupun penegak hukum. Didukung oleh
hasrat-hasrat manusiawi kita untuk meniru, diakui, menjadi populer, dan mencari
distraksi, unsur-unsur ini tampaknya menyatu menjadi sebuah perfect storm yang terungkap dalam
berbagai skandal yang melanda Facebook belakangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar