Mengundang
Dosen Asing
Ali Ghufron Mukti ; Dirjen Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi
|
KOMPAS,
24 April
2018
Peraturan Presiden Nomor 20/2018
tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing telah ditetapkan. Hal ini tentu membuka
peluang juga bagi dosen asing untuk datang dan bekerja lebih lama sebagai
dosen di perguruan tinggi di Indonesia.
Menteri Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi yang dikutip wartawan menyampaikan akan mengundang 200
dosen luar negeri. Beberapa pengamat pendidikan dan dosen memberikan
pemikiran untuk harus ekstra hati-hati dalam urusan dosen asing ini. Bahkan,
beberapa dosen merasa mendatangkan dosen asing sebagai sebuah ancaman bagi eksistensi
mereka. Sebagian bahkan mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap nilai-nilai
kebangsaan, lokal, dan keindonesiaan.
Di Asia Tenggara, Indonesia
memiiki jumlah dosen terbesar. Tidak kurang dari 265.000 orang. Bergantung
pada periode melihat data. Dari jumlah itu, kurang lebih hanya 37.543 yang
memiliki kualifikasi pendidikan doktor dan 189.651 magister, sisanya S-1 atau
diploma. Jenjang akademik mereka sebagai berikut: sekitar 50 persen belum
lulus sertifikasi dosen; 47.625 asisten ahli; 55.585 lektor; 31.681 lektor
kepala; dan 5.350 profesor.
Dosen sangat menentukan kualitas
perguruan tinggi (PT). Jumlah PT mencapai 4.538, tapi hanya tiga yang
menembus posisi 500 peringkat dunia versi Quacquarelli Symonds (QS). Sekali
lagi, selain mahasiswa, tenaga kependidikan, pimpinan PT, sarana-prasarana,
maka dosen sangat menentukan keberhasilan pencapaian visi-misi PT.
Produktivitas
dosen
UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen, dan PP No 37/2009 tentang Dosen, menyebutkan tugas fungsi pokok dosen
adalah pendidik mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat.
Produktivitas dosen dapat dilihat
dari pelaksanaan Tridharma PT tersebut. Dalam produktivitas unsur pendidikan,
dosen Indonesia cukup bagus, bahkan terdapat kecenderungan banyak dosen di
Indonesia waktunya habis untuk mengajar dan mendidik. Untuk produktivitas
pengabdian masyarakat masih diperlukan peningkatan kuantitas dan kualitas
serta perumusan pengukuran dan penghargaannya.
Dalam produktivitas unsur
penelitian, umumnya masih sangat jauh dibandingkan koleganya di negara maju,
bahkan dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia.
Produktivitas dalam penelitian, bisa dilihat jumlah penelitian per dosen,
jumlah temuan, jumlah inovasi, jumlah paten, jumlah kerja sama penelitian,
jumlah dana yang diperoleh untuk penelitian, jumlah publikasi per dosen per
tahun, jumlah publikasi bereputasi internasional, dan lain-lain.
Dalam peningkatan produktivitas
penelitian dengan berbagai indikator tersebut, dipandang perlu mengundang
dosen asing. Dengan kehadiran dosen yang memiliki hubungan rantai pendidikan
dengan penerima Hadiah Nobel atau di bawahnya sedikit diharapkan akan memacu
peningkatan produktivitas penelitian, inovasi, kerja sama, dan publikasi
bereputasi internasional.
Hal ini karena dosen yang
dihadirkan selain kompeten, berpengalaman, berkarakter, punya jaringan, juga
diharapkan berkontribusi dalam membangun atmosfer akademik di PT tempat
mereka berada di Indonesia. Sebagai
contoh dalam peningkatan publikasi jurnal internasional bereputasi dan
sitasi.
Dosen asing yang diundang dalam
program World Class Professor, minimal associate professor memiliki h-index
lebih dari 20 dan berpengalaman mendapatkan dana penelitian dari institusi
internasional. Maka, dengan mudah, mereka mendorong peningkatan produktivitas
publikasi dan sitasi. Bukan karena penguasaan keterampilan menulis ilmiah
dengan bahasa Inggris, melainkan karena sudah berpengalaman dan menguasai isi
dan metodologi penelitian.
Untuk diketahui, awal 2015
publikasi dosen Indonesia yang terindeks Scopus hanya 5.499, Thailand 12.350,
Singapura 17.450, dan Malaysia 30.150, sehingga Indonesia menduduki nomor
empat di ASEAN. Tahun 2017, Thailand 15.563, Indonesia 18.814, Singapura
20.459, dan Malaysia 30.681. Ini artinya, baru pertama dalam sejarah—atau
paling tidak 20 tahun terakhir—Indonesia mampu menyalip Thailand dalam hal
publikasi jurnal yang terindeks Scopus. Di bulan April 2018, Indonesia sudah
mencatatkan lebih dari 5.000 publikasi dan telah menyalip Singapura yang
tercatat 4.948. Hal ini selain dorongan dari kebijakan Kemristek dan Dikti
untuk melakukan evaluasi dosen lektor kepala dan profesor, juga karena
kontribusi program World Class Professor, diaspora, skema penelitian,
beasiswa, dan mahasiswa pascasarjana.
Apakah
ancaman?
Hal lain yang mendorong untuk ada
program mengundang dosen asing, sebagaimana kita ketahui, sekarang ini
terdapat ribuan mahasiswa pascasarjana di luar negeri. Untuk mengirim satu
mahasiswa program doktor, pemerintah dipastikan harus menyediakan anggaran
lebih dari Rp 1 miliar sampai selesai program. Kalau yang kita undang satu
dosen jelas tidak sampai Rp 0,5 miliar dan bisa dimanfaatkan lebih dari 20 mahasiswa
dan dosen muda. Artinya, lebih efisien mengundang dosen asing profesional
daripada mengirim mahasiswa. Meski mengirim mahasiswa ke luar negeri harus
tetap diperlukan.
Paling tidak ada dua pengertian
mengancam dalam konteks dosen asing. Pertama, mengancam pekerjaan dan
eksistensi dosen Indonesia. Kedua, mengancam
nilai-nilai, budaya lokal, bahkan rasa keindonesiaan dan kebangsaan,
atau nilai lain.
Untuk diketahui, dari 165.000
dosen dalam negeri, hanya sekitar 200 dosen asing berkualitas dan berkompeten
yang akan diundang dalam berbagai bentuk skema program. Diharapkan dosen
Indonesia dapat berkolaborasi dengan mereka dan memanfaatkan peluang.
Beberapa kegiatan seperti menulis
proposal untuk menarik dana penelitian dari institusi internasional, melakukan
penelitian bersama, menghasilkan inovasi atau paten bersama, pemanfaatan
laboratorium di tempat asal dosen
asing, supervisi bersama, publikasi di jurnal bereputasi bersama. Dengan
demikian sudah seharusnya dosen asing yang memiliki kualifikasi tinggi
tersebut, yang jumlahnya terbatas, tidak dianggap ancaman, tetapi peluang
untuk meningkatkan produktivitas Tridharma PT, khususnya penelitian.
Di dalam Rencana Strategis
2015-2019 Kemristek dan Dikti, antara lain, disebutkan bahwa arah PT adalah
untuk membangun karakter bangsa, membangun budaya agar bangsa kita berdaya
saing tinggi. Merupakan tugas sivitas akademika PT, khususnya dosen, untuk
menanamkan nilai-nilai agama, Pancasila, kebangsaan, bela negara, nilai-nilai
lokal, kepribadian, dan nilai-nilai keindonesiaan.
Dosen asing yang terseleksi tentu
kecil kemungkinan mengancam nilai-nilai tersebut jika dosen Indonesia yang
jumlahnya ratusan ribu tak saja menanamkan, tetapi memberikan teladan dalam
kehidupannya. Berdasar UU No 12/2012, Pasal 35 Ayat 3, dinyatakan kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia untuk program sarjana dan diploma. Jika
para dosen Indonesia berkomitmen dan bertanggung jawab akan tertanamnya
nilai-nilai tersebut, maka tidak perlu terlalu khawatir dosen asing akan
mengancam nilai-nilai yang dimaksud. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar