Jumat, 27 April 2018

Hoaks, Kesadaran Kritis, dan Kebangsaan

Hoaks, Kesadaran Kritis, dan Kebangsaan
Benni Setiawan ;  Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta;  Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
                                              MEDIA INDONESIA, 23 April 2018



                                                           
PERANG terhadap hoaks menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Tidak hanya rakyat biasa yang menyeru, tetapi pucuk pimpinan di negeri ini juga mendorong masyarakat melakukan perlawanan terhadap hoaks.

Presiden Joko Widodo menyeru agar media massa bersatu padu melawan penyebaran hoaks. Seruan itu kini dipikul media dengan mengukuhkan diri mengemban misi jurnalisme berkualitas dan berintegritas. Mereka menghindari penulisan berita yang jauh dari fakta.

Media massa, terutama media cetak, kini cukup selektif mengambil berita dari media sosial seperti Twitter dan Instagram. Pengambilan berita dari media sosial sering kali mudah disalahpahami pembaca. Kesalahan pembacaan itu melahirkan hoaks. Media massa cetak terus berkomitmen agar masyarakat kritis terhadap berita yang tersaji.

Namun, perjuangan itu mengalami kendala. Gempuran media sosial yang lebih cepat daripada berita harian cetak mendorong masyarakat mendapatkan informasi instan. Masyarakat sering kali kalap dan tidak jernih membaca informasi. Akhirnya, muncullah jejaring hoaks yang menyesatkan.

Bahkan, sebagian besar hoaks mengarah pada pelumpuhan nalar sehat. Sebabnya, hoaks diproduksi sekelompok orang terlatih dan mahir menggunakan media. Mereka berkumpul dan berjejaring melemparkan berita bohong guna kepentingan pribadi dan golongan. Saat mereka berbaris rapi dan terus memproduksi hoaks, kebangsaan akan lumpuh. Pertanyaan yang muncul, bagaimana mengurangi penyebaran hoaks?

Kecakapan membaca

Maraknya hoaks dan jejaring penyedia yang kuat menjadi bukti betapa kesadaran membaca masyarakat Indonesia masih lemah. Tidak aneh jika UNESCO menempatkan Indonesia di posisi ke-60 dari 61 negara yang disurvei dalam kecakapan membaca. Kuantitas dan kualitas membaca masyarakat Indonesia masih mengkhawatirkan. Saat kondisi literasi lemah, informasi bohong pun dianggap benar. Ironisnya, berita benar sering kali dianggap bohong.

Kondisi itu menggambarkan betapa masyarakat masih ada dalam kungkungan kesadaran naf--meminjam strata kesadaran ala Paulo Freire. Masyarakat masih belum mampu membedakan berita benar dan bohong. Mereka akan menelan mentah setiap informasi tanpa memasukkan kesadaran kritis.

Kesadaran kritis hanya dapat diperoleh dari kebiasaan membaca yang baik dan benar. Membaca koran, buku, dan karya ilmiahlah yang dapat menuntun seseorang mendapatkan kesadaran obyektif. Hal ini disebabkan buku tertulis berdasarkan permenungan. Membaca buku dan karya ilmiah ialah kerja sunyi yang membutuhkan ketekunan.

Ketekunan itu pertama harus dipaksa. Pemaksaan itu bukan berarti harus dengan jalan kekerasan. Namun, itu bisa dilakukan melalui pembudayaan. Pembudayaan membaca buku setiap pelajaran atau mata kuliah. Seorang guru/dosen perlu mendorong anak didiknya untuk membaca buku dan atau karya ilmiah. Melalui hal itu peserta didik akan terbiasa membaca. Kebiasaan membaca itu perlu terus dipantau dengan catatan kecil mengenal buku/karya ilmiah. Peserta didik perlu mengungkapkan apa yang mereka baca dalam sebuah tulisan.

Dua pembudayaan ini akan menjadi sarana mengasah kepekaan dan kecakapan membaca. Melalui kegiatan itu Indonesia dapat meningkatkan minat baca dari ruang pendidikan.

Data yang disebut Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani (Kompas, 28/3), rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sementara itu, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9. Berarti kebiasaan membaca belum tinggi. Mendorong siswa membaca dan membuat ulasan akan meningkatkan minat baca sekaligus menggairahkan industri buku.

Membaca buku dan karya ilmiah juga ritual berat yang hanya mampu dilakukan orang-orang yang tekun. Membaca bukan sekadar dilakukan untuk mendapatkan pengalaman baru dan ilmu, melainkan juga mengasah nalar kritis yang pada dasarnya ada di dalam diri seseorang.

Nalar kritis itu hanya dapat muncul atas asahan dan 'desakan' kebiasaan membaca yang baik. Kebiasaan itu akan memantik alam bawah sadar memahami logika sebuah informasi. Melalui kesadaran yang terasah, seseorang akan dengan mudah mengerti sebuah berita dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Apakah berita itu layak untuk dibagi kepada orang lain? Apakah saat berita itu viral, masyarakat akan melakukan sebuah kerja keadaban atau tidak?

Kebiasaan membagikan berita tanpa membaca dahulu isinya merupakan penyakit. Kebiasaan ini biasanya dilakukan mereka yang 'malas' membaca. Lebih suka 'berbagi' tulisan walaupun tidak paham isinya.

Tabayun

Karena itu, hoaks yang kini mengancam eksistensi sebuah tatanan beradab perlu dilawan dengan sikap kritis yang muncul dari kesadaran membaca yang tekun. Hoaks akan berhenti dengan sendirinya saat seseorang tidak dengan mudah menyebarkan berita yang ia dapatkan.

Ia memilih dan memilah mana berita yang 'bermanfaat' dan perlu dibagi kepada orang lain. Ia pun akan menghentikan penyebaran berita yang 'kurang berguna' demi kemaslahatan bersama.

Kemaslahatan hanya didapat saat seseorang berhasil melakukan klarifikasi (tabayun) (Al-Hujurat, 49:6) terhadap informasi yang ia peroleh. Tabayun sangat penting di era serbacepat ini. Saat kita enggan tabayun terhadap informasi yang diperoleh, kita akan mendapat stigma bohong dari orang lain. Inilah salah satu bahaya hoaks. Sebabnya, seseorang yang asal menyebarkan informasi akan mendapatkan stempel 'pembohong', sebuah julukan yang tentu tidak kita inginkan.

Kesadaran membaca yang baik dan sehat akan menyelamatkan kita dari persangkaan orang lain. Kita pun akan terselamatkan dari hoaks yang sering kali menyesatkan diri sendiri dan orang lain. Salah satu jalannya ialah memperbaiki kuantitas dan kualitas membaca. Memperbanyak membaca buku atau rujukan yang otoritatif akan mendorong seseorang terhindar dari hoaks.

Pada akhirnya, mari membaca koran, buku, dan karya ilmiah. Selain sebagai ketaatan menjalankan perintah Tuhan (Iqra) (Al-Alaq, 87:1), membaca bermanfaat untuk meningkatkan kualitas kebangsaan. Hoaks hanya dapat dilawan dengan kesadaran kritis yang terpatri dari kebiasaan membaca yang baik. Kebiasaan itu perlu terus dipantik dari ruang dialog pendidikan. Saat hoaks dapat ditekan, kebangsaan pun terselamatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar