Hoaks,
Kesadaran Kritis, dan Kebangsaan
Benni Setiawan ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU
Universitas Negeri Yogyakarta; Peneliti
Maarif Institute for Culture and Humanity
|
MEDIA
INDONESIA, 23 April 2018
PERANG terhadap hoaks menjadi
perbincangan hangat akhir-akhir ini. Tidak hanya rakyat biasa yang menyeru,
tetapi pucuk pimpinan di negeri ini juga mendorong masyarakat melakukan
perlawanan terhadap hoaks.
Presiden Joko Widodo menyeru agar
media massa bersatu padu melawan penyebaran hoaks. Seruan itu kini dipikul
media dengan mengukuhkan diri mengemban misi jurnalisme berkualitas dan
berintegritas. Mereka menghindari penulisan berita yang jauh dari fakta.
Media massa, terutama media cetak,
kini cukup selektif mengambil berita dari media sosial seperti Twitter dan
Instagram. Pengambilan berita dari media sosial sering kali mudah
disalahpahami pembaca. Kesalahan pembacaan itu melahirkan hoaks. Media massa
cetak terus berkomitmen agar masyarakat kritis terhadap berita yang tersaji.
Namun, perjuangan itu mengalami
kendala. Gempuran media sosial yang lebih cepat daripada berita harian cetak
mendorong masyarakat mendapatkan informasi instan. Masyarakat sering kali
kalap dan tidak jernih membaca informasi. Akhirnya, muncullah jejaring hoaks
yang menyesatkan.
Bahkan, sebagian besar hoaks
mengarah pada pelumpuhan nalar sehat. Sebabnya, hoaks diproduksi sekelompok
orang terlatih dan mahir menggunakan media. Mereka berkumpul dan berjejaring
melemparkan berita bohong guna kepentingan pribadi dan golongan. Saat mereka
berbaris rapi dan terus memproduksi hoaks, kebangsaan akan lumpuh. Pertanyaan
yang muncul, bagaimana mengurangi penyebaran hoaks?
Kecakapan
membaca
Maraknya hoaks dan jejaring
penyedia yang kuat menjadi bukti betapa kesadaran membaca masyarakat
Indonesia masih lemah. Tidak aneh jika UNESCO menempatkan Indonesia di posisi
ke-60 dari 61 negara yang disurvei dalam kecakapan membaca. Kuantitas dan
kualitas membaca masyarakat Indonesia masih mengkhawatirkan. Saat kondisi
literasi lemah, informasi bohong pun dianggap benar. Ironisnya, berita benar
sering kali dianggap bohong.
Kondisi itu menggambarkan betapa
masyarakat masih ada dalam kungkungan kesadaran naf--meminjam strata
kesadaran ala Paulo Freire. Masyarakat masih belum mampu membedakan berita
benar dan bohong. Mereka akan menelan mentah setiap informasi tanpa
memasukkan kesadaran kritis.
Kesadaran kritis hanya dapat
diperoleh dari kebiasaan membaca yang baik dan benar. Membaca koran, buku,
dan karya ilmiahlah yang dapat menuntun seseorang mendapatkan kesadaran
obyektif. Hal ini disebabkan buku tertulis berdasarkan permenungan. Membaca
buku dan karya ilmiah ialah kerja sunyi yang membutuhkan ketekunan.
Ketekunan itu pertama harus
dipaksa. Pemaksaan itu bukan berarti harus dengan jalan kekerasan. Namun, itu
bisa dilakukan melalui pembudayaan. Pembudayaan membaca buku setiap pelajaran
atau mata kuliah. Seorang guru/dosen perlu mendorong anak didiknya untuk membaca
buku dan atau karya ilmiah. Melalui hal itu peserta didik akan terbiasa
membaca. Kebiasaan membaca itu perlu terus dipantau dengan catatan kecil
mengenal buku/karya ilmiah. Peserta didik perlu mengungkapkan apa yang mereka
baca dalam sebuah tulisan.
Dua pembudayaan ini akan menjadi
sarana mengasah kepekaan dan kecakapan membaca. Melalui kegiatan itu
Indonesia dapat meningkatkan minat baca dari ruang pendidikan.
Data yang disebut Menko Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani (Kompas, 28/3), rata-rata
orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan waktu membaca
per hari rata-rata 30-59 menit. Sementara itu, jumlah buku yang ditamatkan
per tahun rata-rata hanya 5-9. Berarti kebiasaan membaca belum tinggi.
Mendorong siswa membaca dan membuat ulasan akan meningkatkan minat baca
sekaligus menggairahkan industri buku.
Membaca buku dan karya ilmiah juga
ritual berat yang hanya mampu dilakukan orang-orang yang tekun. Membaca bukan
sekadar dilakukan untuk mendapatkan pengalaman baru dan ilmu, melainkan juga
mengasah nalar kritis yang pada dasarnya ada di dalam diri seseorang.
Nalar kritis itu hanya dapat
muncul atas asahan dan 'desakan' kebiasaan membaca yang baik. Kebiasaan itu
akan memantik alam bawah sadar memahami logika sebuah informasi. Melalui
kesadaran yang terasah, seseorang akan dengan mudah mengerti sebuah berita
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Apakah berita itu layak untuk dibagi
kepada orang lain? Apakah saat berita itu viral, masyarakat akan melakukan sebuah
kerja keadaban atau tidak?
Kebiasaan membagikan berita tanpa
membaca dahulu isinya merupakan penyakit. Kebiasaan ini biasanya dilakukan
mereka yang 'malas' membaca. Lebih suka 'berbagi' tulisan walaupun tidak
paham isinya.
Tabayun
Karena itu, hoaks yang kini
mengancam eksistensi sebuah tatanan beradab perlu dilawan dengan sikap kritis
yang muncul dari kesadaran membaca yang tekun. Hoaks akan berhenti dengan
sendirinya saat seseorang tidak dengan mudah menyebarkan berita yang ia
dapatkan.
Ia memilih dan memilah mana berita
yang 'bermanfaat' dan perlu dibagi kepada orang lain. Ia pun akan
menghentikan penyebaran berita yang 'kurang berguna' demi kemaslahatan
bersama.
Kemaslahatan hanya didapat saat
seseorang berhasil melakukan klarifikasi (tabayun) (Al-Hujurat, 49:6)
terhadap informasi yang ia peroleh. Tabayun sangat penting di era serbacepat
ini. Saat kita enggan tabayun terhadap informasi yang diperoleh, kita akan
mendapat stigma bohong dari orang lain. Inilah salah satu bahaya hoaks.
Sebabnya, seseorang yang asal menyebarkan informasi akan mendapatkan stempel
'pembohong', sebuah julukan yang tentu tidak kita inginkan.
Kesadaran membaca yang baik dan
sehat akan menyelamatkan kita dari persangkaan orang lain. Kita pun akan
terselamatkan dari hoaks yang sering kali menyesatkan diri sendiri dan orang
lain. Salah satu jalannya ialah memperbaiki kuantitas dan kualitas membaca.
Memperbanyak membaca buku atau rujukan yang otoritatif akan mendorong
seseorang terhindar dari hoaks.
Pada akhirnya, mari membaca koran,
buku, dan karya ilmiah. Selain sebagai ketaatan menjalankan perintah Tuhan
(Iqra) (Al-Alaq, 87:1), membaca bermanfaat untuk meningkatkan kualitas
kebangsaan. Hoaks hanya dapat dilawan dengan kesadaran kritis yang terpatri
dari kebiasaan membaca yang baik. Kebiasaan itu perlu terus dipantik dari
ruang dialog pendidikan. Saat hoaks dapat ditekan, kebangsaan pun
terselamatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar