Konservasi
Laut di Indonesia
Arisetiarso Soemodinoto ; Pekerja Konservasi pada Wildlife Conservation Society (WCS)
Indonesia Program, Bogor
|
KOMPAS,
25 April
2018
Analisis ekonomi A Tony
Prasetiantono tentang revolusi industri gelombang keempat (Kompas,
10/4/2018), kolom berita Langkan (Kompas, 13/4/2018), dan artikel Arif Satria
(Kompas, 19/4/2018) menyarankan kita harus siap mengantisipasi revolusi
industri 4.0.
Direktur Eksekutif Forum
Ekonomi Dunia (WEF) Profesor Klaus Schwab pada 2017 menyatakan bahwa revolusi
industri 4.0 akan mengubah secara mendasar cara kita hidup, bekerja, dan
terhubung satu sama lain. Sebab, transformasi yang akan terjadi memiliki
skala, lingkup, dan kompleksitas yang tidak pernah dialami oleh manusia
sebelumnya.
Untuk itu, perlu kiranya
diketahui teknologi Revolusi Industri 4.0 apa saja yang dapat dimanfaatkan
oleh bidang-bidang di luar sektor manufaktur dan nonmanufaktur, selain
perdagangan dan keuangan. Tulisan ini mengulas potensi penerapan teknologi
revolusi industri 4.0 untuk konservasi laut di Indonesia dan tantangan yang
dihadapinya.
Mengapa
konservasi laut?
Dua per tiga wilayah
Indonesia adalah laut yang sangat kaya keanekaragaman hayati. Kita memiliki
75 persen spesies karang keras dunia dengan luas sekitar 18 persen dari luas
total terumbu karang dunia; sekitar 3.000 dari 15.000 lebih spesies ikan laut
dunia; dan sumber daya mikroba dan genetik laut berlimpah bagi pengembangan
bioteknologi dan biofarmakologi.
Di sisi lain,
keanekaragaman hayati Indonesia mengalami tekanan akibat kegiatan manusia.
Pada 2003-2016, persentase tutupan karang keras yang sehat menurun di seluruh
Indonesia; kini tinggal sekitar 6 persen yang masih dalam kondisi sangat baik
(Kompas,
8/6/2017). Sementara perikanan di beberapa bagian laut Indonesia dilaporkan
telah mengalami eksploitasi berlebihan atau telah tereksploitasi penuh (Suman
dkk, 2014).
Keanekaragaman hayati
dapat diperbarui. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memastikan agar
pemanfaatan saat ini tidak menghalangi pemanfaatan oleh generasi mendatang.
Konservasi adalah pilihan tepat untuk tujuan ini. Konservasi di abad ke-21
sudah sangat jauh berbeda dengan saat pertama kali dikembangkan lebih dari
satu setengah abad lalu.
Konservasi telah
berevolusi dari pelindungan bersifat eksklusif jadi inklusif, melibatkan
masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Konservasi hari ini adalah
tentang bagaimana mengendalikan perilaku dan praktik eksploitatif manusia.
Prinsip dasarnya adalah swa-pengaturan dan swa-pengendalian untuk
menyeimbangkan pelindungan dengan pemanfaatan berkelanjutan. Prinsip ini
penting karena tanpa pelindungan, keberlanjutan pasok jasa keanekaragaman
hayati tidak dapat dijamin dan tanpa pemanfaatan berkelanjutan akan sulit
untuk membiayai pelindungan keanekaragaman hayati.
Konservasi dilakukan
melalui pendirian kawasan seperti taman dan suaka laut atau melalui penerapan
kebijakan yang dikombinasikan dengan kuota dan insentif pasar untuk
konservasi spesies. Saat ini ada lebih dari 170 kawasan konservasi laut yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan luas sekitar 19 juta hektar.
Manfaat ekonominya nyata karena sebagian besar kegiatan wisata bahari terjadi
di dalam kawasan konservasi laut, seperti di Wakatobi dan Raja Ampat.
Demikian pula untuk perikanan; kawasan konservasi menyediakan tempat
bertelur, berpijah dan tumbuh-kembang ikan bernilai komersial yang kemudian
memasok perairan di luar kawasan untuk ditangkap oleh nelayan.
Kajian
PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Universitas Stanford untuk WEF pada 2017
menyebutkan bahwa delapan dari 14 gugus teknologi revolusi industri 4.0 dapat
digunakan untuk konservasi laut, khususnya untuk melindungi spesies dan
habitat serta menyokong perikanan berkelanjutan. Gugus teknologi revolusi
industri 4.0 tersebut, antara lain, adalah advanced sensor platforms, kecerdasan
buatan (artificial
intelligence/AI), pesawat nirawak dan wahana otonom, serta
bioteknologi.
Teknologi ini dapat
memperkuat pelindungan terhadap spesies, antara lain melalui penerapan sistem
cerdas untuk melacak dan mengelola spesies yang bermigrasi jauh dari satu
tempat ke tempat lain, seperti penyu, paus, dan hiu paus. Untuk pelindungan
habitat, wahana nirawak (drone)
dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ekstraksi sumber daya hayati secara
seketika atau untuk memantau batas-batas kawasan konservasi laut.
Peristiwa terumbu karang
ditabrak kapal pesiar di Raja Ampat tidak perlu terjadi jika semua kawasan
konservasi laut memiliki titik-titik dan garis-garis batas maya yang secara
digital terekam dan dapat diakses melalui satelit. Batas-batas digital
memberikan informasi tentang keberadaan dan letak kawasan konservasi kepada
setiap kapal pesiar yang akan mengarungi perairan Raja Ampat sejak awal.
Untuk perikanan
berkelanjutan, teknologi revolusi industri 4.0 digunakan untuk membangun
ketelusuran (traceability)
yang akan meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia. Ini untuk
memastikan bahwa ikan ditangkap dengan cara ramah lingkungan, tidak diambil
dari perairan kawasan konservasi, dan tidak mengancam keutuhan cadangan ikan
karena hanya ikan-ikan yang cukup umur atau layak tangkap saja yang ditangkap
dan dijual. Dengan demikian, produk perikanan Indonesia akan lebih mudah
menembus pasar yang menerapkan persyaratan ketat seperti negara-negara Eropa.
Kajian termutakhir PwC
yang diluncurkan pada Januari 2018 mengusulkan penggunaan AI untuk konservasi
laut. Kemajuan AI telah memungkinkan ia menjadi sebuah sistem yang dapat
”merasakan” lingkungannya; ”berpikir”, ”belajar”, dan ”bertindak” merespons
apa yang ”dirasakannya” melalui pemrograman yang sesuai. Dua dari empat
sistem AI, yaitu sistem kecerdasan diperkuat (augmented intelligence systems) dan sistem
kecerdasan otonom (autonomous
intelligence systems), dinilai paling potensial untuk menyokong
konservasi laut.
Sistem kecerdasan
diperkuat dapat digunakan untuk membantu memahami dan memprediksi masa depan
yang tidak pasti. Contohnya, untuk menguji apakah kebijakan pelindungan
spesies berstatus terancam punah dapat memulihkan populasi spesies tersebut,
AI dapat digunakan untuk menyusun skenario dan membangkitkan pilihan-pilihan
terbaik. Sistem kecerdasan otonom digunakan untuk melakukan pengambilan
keputusan secara otomatis tanpa bantuan manusia.
Sistem kecerdasan otonom
juga dapat digunakan untuk mencegah penangkapan ikan berlebih dengan
menerapkan ambang batas penangkapan ikan di suatu tempat. Jika terjadi
peningkatan permintaan terhadap satu spesies ikan bernilai komersial, sistem
AI akan mengambil keputusan untuk memandu seberapa banyak ikan boleh diambil
dengan mempertimbangkan ketersediaan dan laju pulih populasi ikan terkait.
Ketika nilai ambang batas tersebut tercapai, penangkapan ikan harus
dihentikan guna memberikan kesempatan populasi ikan untuk memulihkan diri.
Tantangan
bagi konservasi laut
Semua contoh di atas
memerlukan data dalam jumlah sangat besar. Tanpa data, revolusi industri 4.0
tak dapat dimanfaatkan untuk menyokong konservasi laut. Persoalannya, kita
masih sangat kekurangan data yang dibutuhkan dan orang yang mumpuni untuk
mengumpulkannya.
Agar revolusi industri 4.0
efektif menyokong konservasi laut, perlu ada perubahan paradigma pembangunan
yang melatari pemanfaatan sumber daya alam. Teknologi revolusi industri 4.0
hilang khasiatnya ketika bentuk-bentuk eksploitasi SDA untuk keuntungan
jangka pendek masih dominan di mana-mana. Paradigma yang dibutuhkan adalah
pembangunan berkelanjutan yang sebenar-benarnya untuk membangkitkan manfaat
ekonomi, sosial, dan lingkungan sekaligus.
Selain itu, Indonesia juga
jangan lupa untuk membuat cetak biru bagi pengembangan sains dan teknologi
untuk mengantisipasi revolusi industri 4.0. Untuk konservasi laut, ketiadaan
cetak biru akan mengakibatkan kita menjadi tuan di rumah sendiri, tetapi
untuk mengetahui isi rumah kita hanya dapat melongoknya melalui negeri asing
nun jauh di sana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar