Jumat, 27 April 2018

Konservasi Laut di Indonesia

Konservasi Laut di Indonesia
Arisetiarso Soemodinoto ;  Pekerja Konservasi pada Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Program, Bogor
                                                         KOMPAS, 25 April 2018



                                                           
Analisis ekonomi A Tony Prasetiantono tentang revolusi industri gelombang keempat (Kompas, 10/4/2018), kolom berita Langkan (Kompas, 13/4/2018), dan artikel Arif Satria (Kompas, 19/4/2018) menyarankan kita harus siap mengantisipasi revolusi industri 4.0.

Direktur Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (WEF) Profesor Klaus Schwab pada 2017 menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 akan mengubah secara mendasar cara kita hidup, bekerja, dan terhubung satu sama lain. Sebab, transformasi yang akan terjadi memiliki skala, lingkup, dan kompleksitas yang tidak pernah dialami oleh manusia sebelumnya.

Untuk itu, perlu kiranya diketahui teknologi Revolusi Industri 4.0 apa saja yang dapat dimanfaatkan oleh bidang-bidang di luar sektor manufaktur dan nonmanufaktur, selain perdagangan dan keuangan. Tulisan ini mengulas potensi penerapan teknologi revolusi industri 4.0 untuk konservasi laut di Indonesia dan tantangan yang dihadapinya.

Mengapa konservasi laut?

Dua per tiga wilayah Indonesia adalah laut yang sangat kaya keanekaragaman hayati. Kita memiliki 75 persen spesies karang keras dunia dengan luas sekitar 18 persen dari luas total terumbu karang dunia; sekitar 3.000 dari 15.000 lebih spesies ikan laut dunia; dan sumber daya mikroba dan genetik laut berlimpah bagi pengembangan bioteknologi dan biofarmakologi.

Di sisi lain, keanekaragaman hayati Indonesia mengalami tekanan akibat kegiatan manusia. Pada 2003-2016, persentase tutupan karang keras yang sehat menurun di seluruh Indonesia; kini tinggal sekitar 6 persen yang masih dalam kondisi sangat baik (Kompas, 8/6/2017). Sementara perikanan di beberapa bagian laut Indonesia dilaporkan telah mengalami eksploitasi berlebihan atau telah tereksploitasi penuh (Suman dkk, 2014).

Keanekaragaman hayati dapat diperbarui. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memastikan agar pemanfaatan saat ini tidak menghalangi pemanfaatan oleh generasi mendatang. Konservasi adalah pilihan tepat untuk tujuan ini. Konservasi di abad ke-21 sudah sangat jauh berbeda dengan saat pertama kali dikembangkan lebih dari satu setengah abad lalu.

Konservasi telah berevolusi dari pelindungan bersifat eksklusif jadi inklusif, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Konservasi hari ini adalah tentang bagaimana mengendalikan perilaku dan praktik eksploitatif manusia. Prinsip dasarnya adalah swa-pengaturan dan swa-pengendalian untuk menyeimbangkan pelindungan dengan pemanfaatan berkelanjutan. Prinsip ini penting karena tanpa pelindungan, keberlanjutan pasok jasa keanekaragaman hayati tidak dapat dijamin dan tanpa pemanfaatan berkelanjutan akan sulit untuk membiayai pelindungan keanekaragaman hayati.

Konservasi dilakukan melalui pendirian kawasan seperti taman dan suaka laut atau melalui penerapan kebijakan yang dikombinasikan dengan kuota dan insentif pasar untuk konservasi spesies. Saat ini ada lebih dari 170 kawasan konservasi laut yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan luas sekitar 19 juta hektar. Manfaat ekonominya nyata karena sebagian besar kegiatan wisata bahari terjadi di dalam kawasan konservasi laut, seperti di Wakatobi dan Raja Ampat. Demikian pula untuk perikanan; kawasan konservasi menyediakan tempat bertelur, berpijah dan tumbuh-kembang ikan bernilai komersial yang kemudian memasok perairan di luar kawasan untuk ditangkap oleh nelayan.

Kajian PricewaterhouseCoopers (PwC) dan Universitas Stanford untuk WEF pada 2017 menyebutkan bahwa delapan dari 14 gugus teknologi revolusi industri 4.0 dapat digunakan untuk konservasi laut, khususnya untuk melindungi spesies dan habitat serta menyokong perikanan berkelanjutan. Gugus teknologi revolusi industri 4.0 tersebut, antara lain, adalah advanced sensor platforms, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), pesawat nirawak dan wahana otonom, serta bioteknologi.
Teknologi ini dapat memperkuat pelindungan terhadap spesies, antara lain melalui penerapan sistem cerdas untuk melacak dan mengelola spesies yang bermigrasi jauh dari satu tempat ke tempat lain, seperti penyu, paus, dan hiu paus. Untuk pelindungan habitat, wahana nirawak (drone) dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ekstraksi sumber daya hayati secara seketika atau untuk memantau batas-batas kawasan konservasi laut.

Peristiwa terumbu karang ditabrak kapal pesiar di Raja Ampat tidak perlu terjadi jika semua kawasan konservasi laut memiliki titik-titik dan garis-garis batas maya yang secara digital terekam dan dapat diakses melalui satelit. Batas-batas digital memberikan informasi tentang keberadaan dan letak kawasan konservasi kepada setiap kapal pesiar yang akan mengarungi perairan Raja Ampat sejak awal.

Untuk perikanan berkelanjutan, teknologi revolusi industri 4.0 digunakan untuk membangun ketelusuran (traceability) yang akan meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia. Ini untuk memastikan bahwa ikan ditangkap dengan cara ramah lingkungan, tidak diambil dari perairan kawasan konservasi, dan tidak mengancam keutuhan cadangan ikan karena hanya ikan-ikan yang cukup umur atau layak tangkap saja yang ditangkap dan dijual. Dengan demikian, produk perikanan Indonesia akan lebih mudah menembus pasar yang menerapkan persyaratan ketat seperti negara-negara Eropa.

Kajian termutakhir PwC yang diluncurkan pada Januari 2018 mengusulkan penggunaan AI untuk konservasi laut. Kemajuan AI telah memungkinkan ia menjadi sebuah sistem yang dapat ”merasakan” lingkungannya; ”berpikir”, ”belajar”, dan ”bertindak” merespons apa yang ”dirasakannya” melalui pemrograman yang sesuai. Dua dari empat sistem AI, yaitu sistem kecerdasan diperkuat (augmented intelligence systems) dan sistem kecerdasan otonom (autonomous intelligence systems), dinilai paling potensial untuk menyokong konservasi laut.

Sistem kecerdasan diperkuat dapat digunakan untuk membantu memahami dan memprediksi masa depan yang tidak pasti. Contohnya, untuk menguji apakah kebijakan pelindungan spesies berstatus terancam punah dapat memulihkan populasi spesies tersebut, AI dapat digunakan untuk menyusun skenario dan membangkitkan pilihan-pilihan terbaik. Sistem kecerdasan otonom digunakan untuk melakukan pengambilan keputusan secara otomatis tanpa bantuan manusia.

Sistem kecerdasan otonom juga dapat digunakan untuk mencegah penangkapan ikan berlebih dengan menerapkan ambang batas penangkapan ikan di suatu tempat. Jika terjadi peningkatan permintaan terhadap satu spesies ikan bernilai komersial, sistem AI akan mengambil keputusan untuk memandu seberapa banyak ikan boleh diambil dengan mempertimbangkan ketersediaan dan laju pulih populasi ikan terkait. Ketika nilai ambang batas tersebut tercapai, penangkapan ikan harus dihentikan guna memberikan kesempatan populasi ikan untuk memulihkan diri.

Tantangan bagi konservasi laut

Semua contoh di atas memerlukan data dalam jumlah sangat besar. Tanpa data, revolusi industri 4.0 tak dapat dimanfaatkan untuk menyokong konservasi laut. Persoalannya, kita masih sangat kekurangan data yang dibutuhkan dan orang yang mumpuni untuk mengumpulkannya.

Agar revolusi industri 4.0 efektif menyokong konservasi laut, perlu ada perubahan paradigma pembangunan yang melatari pemanfaatan sumber daya alam. Teknologi revolusi industri 4.0 hilang  khasiatnya ketika bentuk-bentuk eksploitasi SDA untuk keuntungan jangka pendek masih dominan di mana-mana. Paradigma yang dibutuhkan adalah pembangunan berkelanjutan yang sebenar-benarnya untuk membangkitkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan sekaligus.

Selain itu, Indonesia juga jangan lupa untuk membuat cetak biru bagi pengembangan sains dan teknologi untuk mengantisipasi revolusi industri 4.0. Untuk konservasi laut, ketiadaan cetak biru akan mengakibatkan kita menjadi tuan di rumah sendiri, tetapi untuk mengetahui isi rumah kita hanya dapat melongoknya melalui negeri asing nun jauh di sana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar