Menertawakan
Diri
Asep Salahudin ; Staf Ahli UKP PIP; Ketua
Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS,
21 April
2018
Menertawakan orang lain itu mudah,
yang muskil sesungguhnya kesanggupan menertawakan diri sendiri. Mengkritik
liyan itu tak butuh pikiran panjang, yang harus terus dikedepankan sebenarnya
keterampilan mengkritik diri sendiri. Justru di sinilah letak persoalan itu.
Kita lebih awas melihat ke luar, dan enggan menelisik ke dalam. Lebih senang
mencela, daripada menata.
Sepanjang ini yang dilakukan maka
selamanya kehidupan menjadi
hiruk-pikuk dengan pernyataan, miskin
penghayatan. Gemuruh percakapan tetapi defisit pengamalan. Sibuk mencerca, tapi
tak mau mengaca.
Di titik ini saya menjadi paham
mengapa filsuf Konfusius berujar, bahwa
hal pertama yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat ketika hendak membangun
negara berkeadaban adalah terjaga dalam kata. Kecermatan mengelola
pembicaraan. Menata kata sebagai langkah awal menata batu-bata
peradaban. Ketika kata-kata tidak
tertib, jangan harapkan tercipta
ketertiban di ruang publik. Kata-kata itu, ucap Martin Haidegger, adalah
rumah eksistensial sekaligus modus manusia “mengada”. Kata-kata secara
otentik bisa merumuskan secara ontologis sejatinya siapakah kita.
Sebelum berubah menjadi konflik
fisik dan peperangan berkepanjangan, awalnya adalah kekerasan simbolik.
Kekerasan simbolik dalam konteks ini
ya kata-kata serampangan, tak bertanggung jawab dan semena-mena. Bisa
bernama penafsiran keliru, fatwa kebencian, sejarah yang dibelokkan atau
ramalan yang tak jelas acuannya.
Kekerasan simbolik biasanya
menjadi landasan legitimasi seseorang absah melakukan tindakan kekerasan
fisik. Ketika api sudah berkobar, yang terbakar segenap hal. Capaian
peradaban roboh. Yang sulit disembuhkan adalah hancurnya relasi sosial dan
trauma psikologis berkepanjangan.
Maka kita menjadi mengerti, etik
keutamaan yang selalu diserukan para nabi adalah kecermatan berbicara,
kefasihan menarasikan data dan keteguhan menyuarakan kebenaran. Sidharta Gautama sampai harus bermigrasi
dari posisi semula sebagai politisi menuju pohon Bodhi untuk bermeditasi
sampai kemudian pewahyuan Ilahi menghampiri dan akhirnya setiap kata-katanya
rajah kebenaran. Nabi Isa menyerukan puasa berbicara dan
atau Nabi Muhammad yang hanya memberika dua opsi: berkata benar atau
diam.
Pasca-Orde
Baru
Selepas khatamnya negara Orde Baru, yang benar-benar terasa wujud
kebebasan berbicara. Sayang kita sering kali jatuh dari kutub ekstrem satu
terdampar pada medan blok ekstrem lainnya. Masa Orde Baru pembicaraan
dikendalikan dan segenap penafsiran
dimonopoli penguasa. Hari ini situasinya berbanding terbalik secara
diametral. Sekarang tidak ada lagi yang tidak boleh dibicarakan. Semua
diterabas. Hasilnya adalah surplus kata-kata tapi tuna makna, sibuk berpidato
namun kehilangan arti, ramai orasi
tapi tak punya jejak faedah sama sekali.
Sekarang tidak saja politikus dan pemerintah, namun
masyarakat juga seperti sedang berlomba berebut mikrofon meneriakkan hal
ihwal. Semua merasa wajib ditulis tanpa mesti
memperhitungkan sama sekali siapa pembacanya. Tidak ada yang mau
mengambil posisi pendengar tapi seluruhnya bernafsu menjadi pembicara. Apa
isi pembicaraan? Tidak penting. Sebab yang penting bergeser menjadi bicara
itu sendiri.
Sepanjang garis khatulistiwa yang
nampak adalah podium yang disesaki kerumunan manusia Indonesia yang sedang
merayakan pembicaraan tanpa tapal batas.
Kalau dahulu ada yang dianggap
tabu semisal menyoal SARA, hari ini tabu itu punah. SARA justru menjadi komoditas menjanjikan
sebagai jualan paling efektif dan murah meriah untuk mendulang
suara.
Pemilihan gubernur DKI Jakarta
membuktikan hal itu. Sebenarnya tanpa harus melibatkan konsultan politik, pasangan
Anies-Sandiaga bisa menang mudah yang
penting ingatan tentang “penistaan” ayat-ayat Tuhan terus diaktifkan
dalam memori kolektif para pemilih yang tengah mabuk agama. Populisme kanan
yang jadi fenomena global itu bahan bakunya adalah politik yang dijangkarkan
pada sumbu pendek sentimentalisme identitas eksklusif.
Pasca Orde Baru menjadi panggung
buat para demagog, pendakwah dan tukang obat. Dan yang memerankan profesi itu
kita semua. Semuanya. Kalau dahulu
Bung Karno berpidato di lapangan Ikada segenap khalayak senyap menyimak
seksama, sekarang seorang pemimpin
berpidato semua ikut terlibat menanggapi dan tidak kalah banyaknya adalah
tanggapan nyinyir dan penuh hujatan. Tak pernah paham puisi tiba-tiba menjelmakan
diri sebagai kritikus. Puisi dibantai nalar teologi yang kebablasan. Tidak
mengerti agama, diingatkan malah murka. Ulama sungguhan di-bully, ustad
gadungan dibela. Bangsa dengan semangat menjadi komentator kalap dan
meluap-luap.
Kalau sepakbola dijadikan metafora
bernegara, maka seluruh penonton tampil riuh sebagai komentator dari
kesebelasan yang tidak kunjung beranjak mutunya. Sementara wasit mengambil
keputusan sering kali dirasuki keraguan sehingga oleh kedua belah dianggap
vonisnya merugikan. Kerumunan penonton partisan yang selalu siaga melakukan
tawuran dengan meneriakkan yel- yel kebencian. Siap menyulut stadion yang
justru dibangun dari pajak mereka sendiri.
Mimbar
media sosial
Tentu saja lapangan terbuka dan
pengerahan massa besar-besaran itu sekarang bermetamorfosa menjadi media
sosial. Karakteristik dan polahnya serupa. Status di Facebook, cuitan di
Twitter dan atau kabar di WhatsApp sesungguhnya bukan bentuk bahasa tulisan
tapi lebih dekat kepada bahasa lisan yang dituliskan serampangan. Tidak kita
temukan di dalamnya argumentasi memadai, refleksi dalam atau hujjah yang
cukup.
Lebih gila lagi pesan “verbal” itu
dikuatkan dengan meme. Agar sampai kepada khalayak luas maka diviralkan
sedemikian rupa. Sering kali isinya tidak kita baca tetapi karena semangat
menyala-nyala yang menggerakkan telunjuk selekasnya membagikan (share) kepada
orang atau grup yang kita anggap harus mengetahuinya. Pascakebenaran
followers (pengikut) menggeser konsep umat dan warga.
Berbeda dengan kerangka (frame)
umat dan warga, dalam followers sahih dan batil itu tolok ukurnya “viral”.
Kalau dalam kriteria Hadis ada yang namanya “mutawatir” di mana umat tak
mungkin bersekongkol bikin dusta, dalam media sosial dusta itu sengaja
“diciptakan” agar berita itu “menarik”, heboh dan banyak orang “tertipu”. Hak terjungkal, yang tersisa
adalah hoaks. Aletheia hilang dan yang menjamur doxa.
Demokrasi dan konsep kewargaan
abad 21 menemukan tantangannya sendiri, nasionalisme mendapatkan dinamiknya yang pelik. Keliru dalam menyikapi
kesimpangsiuran percakapan yang tak terkendali maka lonceng kehancuran
kita tinggal menunggu waktu. Tepat di
titik ini revolusi sosial Timur Tengah yang dikenal dengan “musim semi” Arab dimulai yang kemudian
menjalar ke mana-mana.
Tradisi
literasi
Hanya penguatan tradisi literasi
yang bisa menjadi jawaban sengkarut semua itu. Literasilah yang akan membuat
kita baik sebagai penganut agama atau bagian dari warga bangsa selalu
berbicara sesuai takarannya. Kapan harus berbicara dan isi pembicaraan
seperti apa yang mesti disampaikan.
Literasi sebagai jembatan emas supaya media sosial bisa dijadikan
modal sosial dan kapital kultural membangun keadaban publik.
Literasi menjadi persyaratan
mutlak agar kita tidak mudah ditipu para petualang politik dan juga tidak punya keinginan memanipulasi
berita untuk kepentingan tidak jelas.
Dalam atmosfer literasi maka gotong royong yang disebut-sebut roh
Pancasila oleh Bung Karno akan menemukan jiwanya yang hakiki. Orang saling
membantu satu dengan lainnya bukan karena alasan partisan tapi demi meretas jalan menuju
kebaikan semua (public good), tegaknya kehormatan kemanusiaan.
Bukankah ayat pertama yang
diserukan Nabi Muhammad adalah
keterampilan membaca. Iqra! Dalam jantung iqra kita menjadi komunitas
terdidik. Membaca diri, sejarah dan masa depan. Spirit membaca yang akan
menggerakkan mesin demokrasi tidak hanya berhenti sebatas
elektoral-prosedural tapi bergerak menuju khitahnya: demokrasi substansial.
Pendidikan sebagai gerbang pembebasan dilakukan secara paripurna dan
kemerdekaan bisa diserap dengan utuh. Tanpa semangat literasi, selamanya kita
sibuk menertawakan liyan sambil lebay melakukan pendakuan bahwa dirinya
paling benar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar