Perpres
No 20/2018 dan Pemberdayaan TKI
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI,
Pengampu Bidang Pengawasan Sumber
Daya Alam, Ketenagakerjaan dan Kepegawaian
|
MEDIA
INDONESIA, 25 April 2018
PENJELASAN Menaker Hanif Dhakiri
bahwa tenaga kerja asing (TKA) yang akan bekerja di RI hanya berlaku untuk
jabatan tertentu dan tidak memberi ruang untuk pekerja kasar (Media
Indonesia, 24/4/2018), akan sedikit meredakan ‘emosi’ dari sebagian kalangan
termasuk mereka yang berada dalam usia kerja produktif di negeri ini yang
masih belum bekerja (alias menganggur).
Pernyataan Menaker itu tentu
bagian dari ‘PR’ yang harus segera diselesaikannya, berupa peraturan menteri
sebagai panduan operasional implementasi Perpres No 20/2018. Mengapa?
Pertama, terkait dengan definisi pekerja kasar masih harus dijelaskan secara
terukur.
Secara sederhana, pekerja kasar
adalah buruh yang melakukan pekerjaannya dengan tenaga fisik (seperti pemikul
barang, kuli bangunan, pekerja perbaikan jalan); atau disebut dengan istilah
‘kuli’.
Sementara itu, dalam perspektif
sosiologi hubungan industrial, pekerja kasar sebenarnya merupakan ujung
tombak dalam proses-proses produksi barang dan atau jasa dari suatu
perusahaan. Posisi tawar mereka biasanya lemah karena harus selalu patuh
terhadap perintah dan atau apa yang dikehendaki pimpinan, mandor, atau bos.
Namun, jangan sampai salah tanggap
dengan berpikir bahwa pekerja kasar adalah hanya mereka yang tidak memiliki
keterampilan, atau mereka yang bisa mengerjakan secara serabutan saja sesuai
dengan perintah pimpinan. Karena, misalnya, sopir mobil, operator mesin
industri, bongkar pasang mur dan baut,ialah bagian jenis-jenis pekerjaan
kasar, yakni pekerjanya harus memiliki keterampilan khusus atau spesifik
untuk bidang itu.
Maka, pertanyaannya ialah apakah
posisi pekerja untuk mengoperasikan mesin industri atau bongkar pasang baut
dari peralatan yang dibuat di luar negeri itu bukan dikategorikan sebagai
jabatan pekerjaan tertentu? Kedua, memang pada Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Perpres No 20/2018 menegaskan bahwa pemberi pekerjaan TKA untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam
negeri, tetapi istilah ‘jabatan tertentu’ sebenarnya masih bersifat
‘abu-abu.
Karena seperti yang dijelaskan
pada poin pertama tersebut, banyak pekerjaan kasar sebenarnya bisa dianggap
merupakan posisi ‘jabatan tertentu’, karena akan sangat terbatas TKI (tenaga
kerja Indonesia) yang mampu melaksanakan atau mengerjakannya. Apalagi, jika suatu pekerjaan masih
memerlukan panduan yang berbahasa asing, niscaya orang-orang yang berasal
dari negara produksi segala perlengkapan pekerjaan berikut bahasanya itulah
yang bisa menanganinya.
Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa
mesti harus lebih bijak dalam memahami dinamika ke-TKA-an yang belakangan ini
marak diperbincangkan. Ketika arus investasi atau modal asing masuk ke suatu
negara, selalu niscaya adanya keikutsertaan sumber daya manusia di dalamnya.
Ya, tentu saja mereka yang bisa cepat memahami dan sekaligus mengoperasikan
segala peralatan yang merupakan bagian modal asing itu.
Barangkali seperti itulah yang
terjadi di RI, yakni karena gencar nan derasnya arus investasi asing dalam
beberapa tahun terakhir menimbulkan adanya semacam keterkejutan psikologis
sosial yang diekspresikan dalam bentuk kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK
bahwa rezim ini lebih ‘proasing’ dan sekaligus sudah cenderung menggadaikan
Indonesia.
Tentu bukan secara kebetulan juga
(karena antara lain berkat gerakan promosi Indonesia oleh Presiden Jokowi)
bahwa, investasi terbesar berikut gelombang tenaga kerjanya berasal dari
negara Tiongkok-negara yang dulu berseberangan secara ideologi, tetapi
belakangan menunjukkan perkembangan kemajuan yang pesat di bidang ekonomi,
teknologi, dan sumber daya manusianya.
Terkait dengan adanya investasi
asing khususnya dari Tiongkok itu, menurut kajian Ombudsman RI (2018), juga
pada saat bersamaan ada dua kebijakan yang justru mempermudah masuknya TKA,
yakni pertama, perubahan Permenaker No 16/2015 menjadi Permenaker No 35/2015.
Jika dalam Permenaker No 16/2015 ada kewajiban penguasaan bahasa Indonesia
bagi TKA dan perbandingan 1:10 (yakni TKA wajib menyerap 10 TKI), dalam
Permenaker No 35/2015 persyaratan itu sudah dihilangkan.
Kedua, adanya Perpres No 21/2016
tentang Bebas Visa Kunjungan (bagi mereka yang berasal dari 169 negara di
dunia), diduga sebagian telah disalahgunakan untuk bekerja secara illegal di
RI. Kendati demikian, ini juga harus jujur diakui, yang lalai dilakukan
pemerintah Indonesia ialah tiadanya kebijakan antisipatif terhadap arus
tenaga kerja kasar yang hingga saat ini masih banyak digunakan umumnya
perusahaan PMA asal Tiongkok.
Gencarnya arus dan keberadaan TKA
dengan berbagai perilakunya itu menjadi bagian dari berita yang berseliweran
di media sosial sekaligus bagian dari upaya untuk ‘serangan kampanye negatif’
terhadap Presiden Jokowi. Pemerintah, sebelum masuknya modal asing berikut
TKA bawaannya itu, tidak melakukan berbagai agenda persiapan sosial untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal.
Kecenderungan fakta fenomenal
seperti itu memang menjadikan bagian pemicu kegelisahan sosial di tingkat
lokal, baik pemerintah daerah (baik kabupaten/kota/provinsi) maupun
masyarakat lokal, lebih merasa tidak diuntungkan dengan hadirnya investasi
asing itu di daerah mereka.
Secara ekonomi kontribusi PMA
terhadap pemda belum dirasakan secara signifikan, bahkan justru sebaliknya
menimbulkan potensi gangguan instabilitas sosial di tingkat lokal akibat dari
suasana batin sosial yang marah atau ‘cemburu’ terhadap investasi asing itu.
Masyarakat lokal, singkatnya, lebih banyak berposisi sebagai penonton di
tengah proses eksploitasi sumber daya alam atau perusakan lingkungan di
sekitar daerah domisili dan atau hanya menguntungkan orang-orang asing yang
datang di daerah mereka.
Kemarahan atau kecemburuan sosial
seperti itu juga tampaknya hendak diatasi melalui Perpres No 20/2018 ini.
Tentu saja jika ada keinginan politik yang nanti diwujudkan dalam agenda
sistematik dan hasilnya terukur. Mengapa? Dalam perpres itu, antara lain
secara tegas mewajibkan pihak pengguna TKA melakukan transfer pengetahuan dan
keterampilan dari TKA ke TKI melalui program TKI pendamping TKA (pasal 26).
Kementerian Tenaga Kerja harus menjadikan ini sebagai pijakan utama
memberdayakan warga bangsa ini untuk memperoleh penghasilan atau meningkatkan
kesejahteraan melalui perusahaan-perusahaan PMA yang ada di Nusantara ini.
Jika pemerintah benar-benar bisa
membuat skenario skematik yang terukur, bukan mustahil pada jangka waktu yang
tidak terlalu lama TKA akan berkurang secara siginifikan. Umumnya jenis
jabatan atau pekerjaan yang semula TKI hanya sebagai pendamping,
berangsur-angsur menggantikan posisi TKA.
Hal ini tentu harus dibarengi
dengan pemerintah setidaknya melakukan dua hal. Pertama, membuat program
pendampingan sampai tercapainya pengetahuan dan keterampilan TKI yang diakui
(besertifikat). Kedua, adanya semacam kebijakan terminasi atau pengakhiran
TKA bersifat koersif bagi semua perusahaan pengguna TKA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar