Jumat, 27 April 2018

Perpres No 20/2018 dan Pemberdayaan TKI

Perpres No 20/2018 dan Pemberdayaan TKI
Laode Ida ;  Komisioner Ombudsman RI,
Pengampu Bidang Pengawasan Sumber Daya Alam, Ketenagakerjaan dan Kepegawaian
                                              MEDIA INDONESIA, 25 April 2018



                                                           
PENJELASAN Menaker Hanif Dhakiri bahwa tenaga kerja asing (TKA) yang akan bekerja di RI hanya berlaku untuk jabatan tertentu dan tidak memberi ruang untuk pekerja kasar (Media Indonesia, 24/4/2018), akan sedikit meredakan ‘emosi’ dari sebagian kalangan termasuk mereka yang berada dalam usia kerja produktif di negeri ini yang masih belum bekerja (alias menganggur).

Pernyataan Menaker itu tentu bagian dari ‘PR’ yang harus segera diselesaikannya, berupa peraturan menteri sebagai panduan operasional implementasi Perpres No 20/2018. Mengapa? Pertama, terkait dengan definisi pekerja kasar masih harus dijelaskan secara terukur.
Secara sederhana, pekerja kasar adalah buruh yang melakukan pekerjaannya dengan tenaga fisik (seperti pemikul barang, kuli bangunan, pekerja perbaikan jalan); atau disebut dengan istilah ‘kuli’.

Sementara itu, dalam perspektif sosiologi hubungan industrial, pekerja kasar sebenarnya merupakan ujung tombak dalam proses-proses produksi barang dan atau jasa dari suatu perusahaan. Posisi tawar mereka biasanya lemah karena harus selalu patuh terhadap perintah dan atau apa yang dikehendaki pimpinan, mandor, atau bos.

Namun, jangan sampai salah tanggap dengan berpikir bahwa pekerja kasar adalah hanya mereka yang tidak memiliki keterampilan, atau mereka yang bisa mengerjakan secara serabutan saja sesuai dengan perintah pimpinan. Karena, misalnya, sopir mobil, operator mesin industri, bongkar pasang mur dan baut,ialah bagian jenis-jenis pekerjaan kasar, yakni pekerjanya harus memiliki keterampilan khusus atau spesifik untuk bidang itu.

Maka, pertanyaannya ialah apakah posisi pekerja untuk mengoperasikan mesin industri atau bongkar pasang baut dari peralatan yang dibuat di luar negeri itu bukan dikategorikan sebagai jabatan pekerjaan tertentu? Kedua, memang pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Perpres No 20/2018 menegaskan bahwa pemberi pekerjaan TKA untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu dengan memperhatikan kondisi pasar kerja dalam negeri, tetapi istilah ‘jabatan tertentu’ sebenarnya masih bersifat ‘abu-abu.   

Karena seperti yang dijelaskan pada poin pertama tersebut, banyak pekerjaan kasar sebenarnya bisa dianggap merupakan posisi ‘jabatan tertentu’, karena akan sangat terbatas TKI (tenaga kerja Indonesia) yang mampu melaksanakan atau mengerjakannya.  Apalagi, jika suatu pekerjaan masih memerlukan panduan yang berbahasa asing, niscaya orang-orang yang berasal dari negara produksi segala perlengkapan pekerjaan berikut bahasanya itulah yang bisa menanganinya.

Apa yang mau dikatakan di sini, bahwa mesti harus lebih bijak dalam memahami dinamika ke-TKA-an yang belakangan ini marak diperbincangkan. Ketika arus investasi atau modal asing masuk ke suatu negara, selalu niscaya adanya keikutsertaan sumber daya manusia di dalamnya. Ya, tentu saja mereka yang bisa cepat memahami dan sekaligus mengoperasikan segala peralatan yang merupakan bagian modal asing itu.

Barangkali seperti itulah yang terjadi di RI, yakni karena gencar nan derasnya arus investasi asing dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan adanya semacam keterkejutan psikologis sosial yang diekspresikan dalam bentuk kritik terhadap pemerintahan Jokowi-JK bahwa rezim ini lebih ‘proasing’ dan sekaligus sudah cenderung menggadaikan Indonesia.

Tentu bukan secara kebetulan juga (karena antara lain berkat gerakan promosi Indonesia oleh Presiden Jokowi) bahwa, investasi terbesar berikut gelombang tenaga kerjanya berasal dari negara Tiongkok-negara yang dulu berseberangan secara ideologi, tetapi belakangan menunjukkan perkembangan kemajuan yang pesat di bidang ekonomi, teknologi, dan sumber daya manusianya.

Terkait dengan adanya investasi asing khususnya dari Tiongkok itu, menurut kajian Ombudsman RI (2018), juga pada saat bersamaan ada dua kebijakan yang justru mempermudah masuknya TKA, yakni pertama, perubahan Permenaker No 16/2015 menjadi Permenaker No 35/2015. Jika dalam Permenaker No 16/2015 ada kewajiban penguasaan bahasa Indonesia bagi TKA dan perbandingan 1:10 (yakni TKA wajib menyerap 10 TKI), dalam Permenaker No 35/2015 persyaratan itu sudah dihilangkan.    

Kedua, adanya Perpres No 21/2016 tentang Bebas Visa Kunjungan (bagi mereka yang berasal dari 169 negara di dunia), diduga sebagian telah disalahgunakan untuk bekerja secara illegal di RI. Kendati demikian, ini juga harus jujur diakui, yang lalai dilakukan pemerintah Indonesia ialah tiadanya kebijakan antisipatif terhadap arus tenaga kerja kasar yang hingga saat ini masih banyak digunakan umumnya perusahaan PMA asal Tiongkok.

Gencarnya arus dan keberadaan TKA dengan berbagai perilakunya itu menjadi bagian dari berita yang berseliweran di media sosial sekaligus bagian dari upaya untuk ‘serangan kampanye negatif’ terhadap Presiden Jokowi. Pemerintah, sebelum masuknya modal asing berikut TKA bawaannya itu, tidak melakukan berbagai agenda persiapan sosial untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat lokal.

Kecenderungan fakta fenomenal seperti itu memang menjadikan bagian pemicu kegelisahan sosial di tingkat lokal, baik pemerintah daerah (baik kabupaten/kota/provinsi) maupun masyarakat lokal, lebih merasa tidak diuntungkan dengan hadirnya investasi asing itu di daerah mereka.

Secara ekonomi kontribusi PMA terhadap pemda belum dirasakan secara signifikan, bahkan justru sebaliknya menimbulkan potensi gangguan instabilitas sosial di tingkat lokal akibat dari suasana batin sosial yang marah atau ‘cemburu’ terhadap investasi asing itu. Masyarakat lokal, singkatnya, lebih banyak berposisi sebagai penonton di tengah proses eksploitasi sumber daya alam atau perusakan lingkungan di sekitar daerah domisili dan atau hanya menguntungkan orang-orang asing yang datang di daerah mereka.

Kemarahan atau kecemburuan sosial seperti itu juga tampaknya hendak diatasi melalui Perpres No 20/2018 ini. Tentu saja jika ada keinginan politik yang nanti diwujudkan dalam agenda sistematik dan hasilnya terukur. Mengapa? Dalam perpres itu, antara lain secara tegas mewajibkan pihak pengguna TKA melakukan transfer pengetahuan dan keterampilan dari TKA ke TKI melalui program TKI pendamping TKA (pasal 26). Kementerian Tenaga Kerja harus menjadikan ini sebagai pijakan utama memberdayakan warga bangsa ini untuk memperoleh penghasilan atau meningkatkan kesejahteraan melalui perusahaan-perusahaan PMA yang ada di Nusantara ini.

Jika pemerintah benar-benar bisa membuat skenario skematik yang terukur, bukan mustahil pada jangka waktu yang tidak terlalu lama TKA akan berkurang secara siginifikan. Umumnya jenis jabatan atau pekerjaan yang semula TKI hanya sebagai pendamping, berangsur-angsur menggantikan posisi TKA.

Hal ini tentu harus dibarengi dengan pemerintah setidaknya melakukan dua hal. Pertama, membuat program pendampingan sampai tercapainya pengetahuan dan keterampilan TKI yang diakui (besertifikat). Kedua, adanya semacam kebijakan terminasi atau pengakhiran TKA bersifat koersif bagi semua perusahaan pengguna TKA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar