Memaknai
Negara Paling Bahagia
Adrianto Dwi Nugroho ; Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM;
Mahasiswa Doktoral di University of
Helsinki, Finlandia
|
KOMPAS,
20 April
2018
Pada 14 Maret 2018, The World
Happiness Report (WHR 2018) dirilis di Pontifical Academy of Sciences di
Vatikan, dan menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Kebahagiaan
Internasional (International Day of Happiness), yang sejak 2013 diperingati
oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) setiap tanggal 20 Maret.
Dokumen yang diterbitkan oleh
United Nations Sustainable Development Solutions Network (UN SDSN) itu
menempatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia di antara 156 negara,
berdasarkan survei yang dilakukan oleh Gallup World Poll pada periode
2015-2017 (worldhappiness.report). Pada laporan yang sama, Indonesia
ditempatkan di posisi 96. Pertanyaan logis: bagaimana memaknai pemeringkatan
negara paling bahagia?
Pertama, laporan ini berbicara
kepada institusi negara, dan bukan orang-orang yang menjadi penduduk suatu
negara. Artinya, ketika Finlandia ditempatkan sebagai negara paling bahagia,
fokus tertuju pada peran optimal yang telah dijalankan oleh pemerintah negara
itu dalam memenuhi enam kriteria yang memengaruhi hajat hidup orang
perseorangan versi laporan tersebut, yaitu penghasilan (peringkat 22),
ekspektasi hidup sehat (24), dukungan sosial (3), kebebasan (5), kepercayaan
terhadap pemerintah (persepsi korupsi: 145, tertinggi keempat), dan
kedermawanan (37).
Selain data yang berasal dari
survei tersebut, beberapa instrumen pengukur lainnya yang dapat menjadi
pembanding antara lain data Transparency International (transparency.org)
yang menempatkan Finlandia di peringkat ketiga pada Indeks Persepsi Korupsi, dan
data Social Progress Index/Indeks Kemajuan Sosial 2017
(socialprogressindex.com).
Data Indeks Kemajuan Sosial
menempatkan negara itu di peringkat pertama pada aspek pemenuhan nutrisi,
tingkat kematian ibu hamil yang rendah, akses air bersih, akses listrik,
tingkat kejahatan yang rendah, partisipasi pada pendidikan menengah, indeks
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan serta toleransi
beragama.
Sementara itu, salah satu
eksperimen kebijakan kontemporer yang sedang dijalankan di Finlandia adalah
universal basic income, di mana 2.000 orang pengangguran berusia 25-58 tahun
akan menerima penghasilan bulanan sebesar 560 euro selama kurun waktu
2017-2018, tanpa syarat dan tes apapun (kela.fi).
Kedua, oleh karena laporan ini
berbicara kepada institusi negara, maka orang-orang yang menjadi penduduk
suatu negara tidak harus menjadikan laporan ini sebagai dasar untuk
bermigrasi, walaupun laporan yang sama juga menempatkan Finlandia sebagai
negara paling bahagia bagi para imigran (WHR 2018: 30).
Bahkan, dalam kesimpulannya, para
penulis dari laporan ini menekankan bahwa apabila seseorang memerhatikan
corak hubungan sosial dan keadaan dari masyarakat, pemerintah dan tempat
kerja di negara-negara paling bahagia di dunia, maka solusi yang tepat
bukanlah dengan cara melakukan migrasi ke negara-negara tersebut, melainkan
dengan cara mempelajari dan berupaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang
serupa di negara tempat orang itu tinggal sekarang (WHR 2018: 40).
Kesimpulan ini dapat dimaknai
sebagai retorika untuk melemahkan gelombang migrasi, khususnya ke
negara-negara yang menduduki peringkat teratas dalam WHR 2018. Namun
demikian, apabila ditelusuri lebih lanjut, maka kesimpulan tersebut adalah
proporsional, karena terdapat faktor-faktor eksternal yang perlu dianalisis
untuk membandingkan pencapaian negara-negara dalam laporan itu.
Posisi Indonesia
Pertanyaan logis selanjutnya,
apakah Indonesia perlu khawatir dengan posisinya pada WHR 2018, yang berada
95 peringkat di bawah Finlandia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, ya dan tidak. Di satu sisi, pemerintah dan masyarakat perlu khawatir dengan kesenjangan peringkat tersebut karena pencapaian Indonesia dalam elemen-elemen pengukur yang digunakan pada WHR 2018 merefleksikan permasalahan-permasalahan mendasar yang harus diantisipasi.
Dalam laporan itu, Indonesia
berada di peringkat 84 pada aspek penghasilan, 103 pada aspek ekspektasi
hidup sehat, 92 pada aspek dukungan sosial, 57 pada aspek kebebasan, dan 9
(persepsi korupsi: 9, tertinggi ke-140) pada aspek kepercayaan terhadap
pemerintah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga masih berada di peringkat
96 (transparency.org), sedangkan pada Indeks Kemajuan Sosial 2017, Indonesia
menempati peringkat 79 dari 128 negara yang dinilai oleh lembaga itu
(socialprogressindex.com).
Khusus untuk aspek kedermawanan,
Indonesia berada pada peringkat dua teratas, sehingga pemerintah patut
menjadikan aspek ini sebagai modal sosial dalam menaikkan peringkat Indonesia
pada kriteria lainnya.
Negara kesejahteraan
Di sisi lain, pemerintah dan
masyarakat tak perlu khawatir dengan kesenjangan itu, terutama karena
Finlandia menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state) di mana negara
memberikan perhatian yang besar terhadap warganya, termasuk—tetapi tidak
terbatas— pada social security (Zink, 1958: 177).
Walaupun penelitian Hellman (2017)
menyimpulkan bahwa karakter negara kesejahteraan di Finlandia, yang
diimplementasikan sejak 1950, telah hilang sejak 2015, hingga saat ini
perhatian pada kesejahteraan masih diwujudkan dalam bentuk pemberian
tunjangan biaya hidup saat tidak bekerja (unemployment benefit) dan tunjangan
anak (child benefit) (kela.fi).
Sistem negara kesejahteraan
memberi konsekuensi pada besaran pajak penghasilan yang dipungut oleh
Finlandia kepada wajib pajaknya. Tarif progresif Pajak Penghasilan (PPh)
tertinggi yang dikenakan terhadap wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Finlandia, misalnya, ditetapkan sebesar 31,25 persen (Tuloverolaki
1535/1992), di mana angka tersebut masih ditambah lagi dengan pajak daerah
sebesar 16-23 persen, pajak gereja sebesar 1-2 persen, dan kontribusi sosial
sebesar 0-2 persen. Sementara itu, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di
Finlandia adalah 24 persen, atau terbesar kedua di Uni Eropa (ec.europa.eu).
Selain pengenaan pajak yang
relatif besar, Finlandia juga memiliki potensi ekonomi yang besar yang
berasal dari hutannya. Luas wilayah hutan di Finlandia mencapai 26,1 juta
hektare, atau mencapai 86,1 persen dari total wilayah daratannya (smy.fi).
Dari potensi tersebut, nilai ekspor produk industri hutan mencapai 11,357
juta euro, atau 21,9 persen dari total ekspornya hingga Maret 2018 (stat.fi).
Uniknya, Finlandia, dan juga
negara-negara Nordik lainnya, menganut konsep hukum everyman’s right, yang
mengizinkan siapapun untuk melakukan aktivitas di wilayah hutan, seperti
berjalan kaki, bermain ski, dan yang paling unik, memetik jamur dan buah beri
(finland.fi).
Walaupun memiliki beberapa
keuntungan geografis di atas, negara yang merayakan ulang tahun ke-100 pada 6
Desember 2017 lalu ini tidak diuntungkan dengan iklim dinginnya. Ibu kota
Helsinki, yang berada di selatan Finlandia, misalnya, memiliki rata-rata suhu
sepanjang tahun sebesar 5,8 derajat Celsius, pada periode 1981-2010
(ilmatieteenlaitos.fi).
Secara demografis, jumlah penduduk Finlandia juga
relatif sedikit, yaitu sebanyak 5.516.812 jiwa pada akhir Januari 2018
(stat.fi), walaupun 62,5 persen dari jumlah itu berada pada usia produktif
(stat.fi, Desember 2017).
Akhirnya, pemerintah dan
masyarakat Indonesia tidak perlu pesimistis dengan capaian Indonesia pada WHR
2018. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat perlu mengidentifikasi
modal-modal sosial yang dimiliki negara Indonesia saat ini dan
memanfaatkannya secara optimal untuk menghadirkan kebahagiaan kolektif bagi
segenap rakyat Indonesia.
Sementara itu, kriteria kebahagiaan yang dipilih
dalam menyusun WHR 2018menguji sistem perekonomian Indonesia dalam merespons
perubahan persepsi masyarakat terhadap kebahagiaan tanpa perlu menggadaikan
nilai-nilai luhur yang terejawantahkan dalam falsafah negara Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar