Kamis, 26 April 2018

Memaknai Negara Paling Bahagia

Memaknai Negara Paling Bahagia
Adrianto Dwi Nugroho ;  Dosen Hukum Pajak Fakultas Hukum UGM;
Mahasiswa Doktoral di University of Helsinki, Finlandia
                                                         KOMPAS, 20 April 2018



                                                           
Pada 14 Maret 2018, The World Happiness Report (WHR 2018) dirilis di Pontifical Academy of Sciences di Vatikan, dan menjadi bagian dari rangkaian peringatan Hari Kebahagiaan Internasional (International Day of Happiness), yang sejak 2013 diperingati oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) setiap tanggal 20 Maret.

Dokumen yang diterbitkan oleh United Nations Sustainable Development Solutions Network (UN SDSN) itu menempatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia di antara 156 negara, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Gallup World Poll pada periode 2015-2017 (worldhappiness.report). Pada laporan yang sama, Indonesia ditempatkan di posisi 96. Pertanyaan logis: bagaimana memaknai pemeringkatan negara paling bahagia?

Pertama, laporan ini berbicara kepada institusi negara, dan bukan orang-orang yang menjadi penduduk suatu negara. Artinya, ketika Finlandia ditempatkan sebagai negara paling bahagia, fokus tertuju pada peran optimal yang telah dijalankan oleh pemerintah negara itu dalam memenuhi enam kriteria yang memengaruhi hajat hidup orang perseorangan versi laporan tersebut, yaitu penghasilan (peringkat 22), ekspektasi hidup sehat (24), dukungan sosial (3), kebebasan (5), kepercayaan terhadap pemerintah (persepsi korupsi: 145, tertinggi keempat), dan kedermawanan (37).

Selain data yang berasal dari survei tersebut, beberapa instrumen pengukur lainnya yang dapat menjadi pembanding antara lain data Transparency International (transparency.org) yang menempatkan Finlandia di peringkat ketiga pada Indeks Persepsi Korupsi, dan data Social Progress Index/Indeks Kemajuan Sosial 2017 (socialprogressindex.com).

Data Indeks Kemajuan Sosial menempatkan negara itu di peringkat pertama pada aspek pemenuhan nutrisi, tingkat kematian ibu hamil yang rendah, akses air bersih, akses listrik, tingkat kejahatan yang rendah, partisipasi pada pendidikan menengah, indeks kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan kebebasan serta toleransi beragama.

Sementara itu, salah satu eksperimen kebijakan kontemporer yang sedang dijalankan di Finlandia adalah universal basic income, di mana 2.000 orang pengangguran berusia 25-58 tahun akan menerima penghasilan bulanan sebesar 560 euro selama kurun waktu 2017-2018, tanpa syarat dan tes apapun (kela.fi).

Kedua, oleh karena laporan ini berbicara kepada institusi negara, maka orang-orang yang menjadi penduduk suatu negara tidak harus menjadikan laporan ini sebagai dasar untuk bermigrasi, walaupun laporan yang sama juga menempatkan Finlandia sebagai negara paling bahagia bagi para imigran (WHR 2018: 30).

Bahkan, dalam kesimpulannya, para penulis dari laporan ini menekankan bahwa apabila seseorang memerhatikan corak hubungan sosial dan keadaan dari masyarakat, pemerintah dan tempat kerja di negara-negara paling bahagia di dunia, maka solusi yang tepat bukanlah dengan cara melakukan migrasi ke negara-negara tersebut, melainkan dengan cara mempelajari dan berupaya untuk menciptakan kondisi-kondisi yang serupa di negara tempat orang itu tinggal sekarang (WHR 2018: 40).

Kesimpulan ini dapat dimaknai sebagai retorika untuk melemahkan gelombang migrasi, khususnya ke negara-negara yang menduduki peringkat teratas dalam WHR 2018. Namun demikian, apabila ditelusuri lebih lanjut, maka kesimpulan tersebut adalah proporsional, karena terdapat faktor-faktor eksternal yang perlu dianalisis untuk membandingkan pencapaian negara-negara dalam laporan itu.

Posisi Indonesia

Pertanyaan logis selanjutnya, apakah Indonesia perlu khawatir dengan posisinya pada WHR 2018, yang berada 95 peringkat di bawah Finlandia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, ya dan tidak. Di satu sisi, pemerintah dan masyarakat perlu khawatir dengan kesenjangan peringkat tersebut karena pencapaian Indonesia dalam elemen-elemen pengukur yang digunakan pada WHR 2018 merefleksikan permasalahan-permasalahan mendasar yang harus diantisipasi.

Dalam laporan itu, Indonesia berada di peringkat 84 pada aspek penghasilan, 103 pada aspek ekspektasi hidup sehat, 92 pada aspek dukungan sosial, 57 pada aspek kebebasan, dan 9 (persepsi korupsi: 9, tertinggi ke-140) pada aspek kepercayaan terhadap pemerintah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia juga masih berada di peringkat 96 (transparency.org), sedangkan pada Indeks Kemajuan Sosial 2017, Indonesia menempati peringkat 79 dari 128 negara yang dinilai oleh lembaga itu (socialprogressindex.com).

Khusus untuk aspek kedermawanan, Indonesia berada pada peringkat dua teratas, sehingga pemerintah patut menjadikan aspek ini sebagai modal sosial dalam menaikkan peringkat Indonesia pada kriteria lainnya.

Negara kesejahteraan

Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat tak perlu khawatir dengan kesenjangan itu, terutama karena Finlandia menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state) di mana negara memberikan perhatian yang besar terhadap warganya, termasuk—tetapi tidak terbatas— pada social security (Zink, 1958: 177).

Walaupun penelitian Hellman (2017) menyimpulkan bahwa karakter negara kesejahteraan di Finlandia, yang diimplementasikan sejak 1950, telah hilang sejak 2015, hingga saat ini perhatian pada kesejahteraan masih diwujudkan dalam bentuk pemberian tunjangan biaya hidup saat tidak bekerja (unemployment benefit) dan tunjangan anak (child benefit) (kela.fi).

Sistem negara kesejahteraan memberi konsekuensi pada besaran pajak penghasilan yang dipungut oleh Finlandia kepada wajib pajaknya. Tarif progresif Pajak Penghasilan (PPh) tertinggi yang dikenakan terhadap wajib pajak orang pribadi dalam negeri Finlandia, misalnya, ditetapkan sebesar 31,25 persen (Tuloverolaki 1535/1992), di mana angka tersebut masih ditambah lagi dengan pajak daerah sebesar 16-23 persen, pajak gereja sebesar 1-2 persen, dan kontribusi sosial sebesar 0-2 persen. Sementara itu, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Finlandia adalah 24 persen, atau terbesar kedua di Uni Eropa (ec.europa.eu).

Selain pengenaan pajak yang relatif besar, Finlandia juga memiliki potensi ekonomi yang besar yang berasal dari hutannya. Luas wilayah hutan di Finlandia mencapai 26,1 juta hektare, atau mencapai 86,1 persen dari total wilayah daratannya (smy.fi). Dari potensi tersebut, nilai ekspor produk industri hutan mencapai 11,357 juta euro, atau 21,9 persen dari total ekspornya hingga Maret 2018 (stat.fi).

Uniknya, Finlandia, dan juga negara-negara Nordik lainnya, menganut konsep hukum everyman’s right, yang mengizinkan siapapun untuk melakukan aktivitas di wilayah hutan, seperti berjalan kaki, bermain ski, dan yang paling unik, memetik jamur dan buah beri (finland.fi).

Walaupun memiliki beberapa keuntungan geografis di atas, negara yang merayakan ulang tahun ke-100 pada 6 Desember 2017 lalu ini tidak diuntungkan dengan iklim dinginnya. Ibu kota Helsinki, yang berada di selatan Finlandia, misalnya, memiliki rata-rata suhu sepanjang tahun sebesar 5,8 derajat Celsius, pada periode 1981-2010 (ilmatieteenlaitos.fi). 

Secara demografis, jumlah penduduk Finlandia juga relatif sedikit, yaitu sebanyak 5.516.812 jiwa pada akhir Januari 2018 (stat.fi), walaupun 62,5 persen dari jumlah itu berada pada usia produktif (stat.fi, Desember 2017).

Akhirnya, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu pesimistis dengan capaian Indonesia pada WHR 2018. Sebaliknya, pemerintah dan masyarakat perlu mengidentifikasi modal-modal sosial yang dimiliki negara Indonesia saat ini dan memanfaatkannya secara optimal untuk menghadirkan kebahagiaan kolektif bagi segenap rakyat Indonesia. 

Sementara itu, kriteria kebahagiaan yang dipilih dalam menyusun WHR 2018menguji sistem perekonomian Indonesia dalam merespons perubahan persepsi masyarakat terhadap kebahagiaan tanpa perlu menggadaikan nilai-nilai luhur yang terejawantahkan dalam falsafah negara Pancasila.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar