Mencegat
Kolonialisme Data
Tri Wahyuni ; Peneliti pada Institute for Population and National
Security
|
KOMPAS,
24 April
2018
“Data
is not the new oil. It is the new land that is being rapidly colonised by
corporations with the means to exploit this new resource.” Begitu kalimat Joseph Smith (”Data is New Colonialism”)
Data kini tengah dieksploitasi
secara besar-besaran oleh industri-industri, perusahaan teknologi, dan bahkan
partai politik. Dan, sialnya, sangat sedikit dari kita yang menyadari hal
itu.
Kita menyerahkan detail informasi
pribadi kepada platform-platform media sosial, berbagai aplikasi, dan
sebagainya tanpa membaca betul terms and conditions (syarat dan ketentuan). Kita
terlalu malas barangkali untuk membaca panjang lebar, dan secara tidak sadar
telah melepaskan hak atas privasi diri.
Kemudian kita sudah berada di
bawah kontrol dan permainan kolonialisme data. Ketika sedang berkeluh kesah,
berdebat dengan orang lain yang berlainan paham—atau apa pun status yang kita
buat di media sosial—para pengontrol data tengah merencanakan pemasaran
produk, strategi kampanye politik, dan industri baru.
Meracuni
demokrasi
Investigasi New York Times
menggambarkan, Cambridge Analytica tak hanya mempermainkan penduduk Amerika,
juga telah bereksperimen di luar negeri, di negara-negara dengan aturan
privasi lemah atau bahkan tidak ada. Sebelum dunia gempar dengan kasus
permainan Cambridge Analytica dalam kampanye politik Donald Trump, lembaga
ini telah melakukan studi kasus di banyak negara di Afrika, Asia, Timur
Tengah, Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Karibia.
Facebook, Twitter, Google, dan
perusahaan teknologi lainnya dapat dikatakan telah memfasilitasi atau
memperkuat pekerjaan perusahaan semacam Cambridge Analytica, yang kemudian
terlibat dalam meracuni demokrasi di seluruh dunia. Di Sri Lanka, Facebook
telah dituduh mengipasi ujaran kebencian yang menyebabkan kerusuhan
anti-Muslim di sana. Ini yang kemudian memaksa negara itu untuk melarang
media sosial setelah bentrokan yang menyebabkan sedikitnya dua orang tewas
(The Guardian, 7/3/2018). Tim PBB yang menyelidiki genosida di Myanmar
mengatakan, Facebook digunakan untuk menyebarkan vitriol terhadap Muslim
Rohingya (The National, 17/3/2018).
Pertempuran politik di Kamboja
antara tokoh oposisi dan perdana menteri otoriter negara itu atas tuduhan
likes palsu di halaman Facebook telah diajukan ke pengadilan AS (The New York
Times, 9/2/2018). Kelompok teroris yang bermarkas di Somalia, Al-Shabab,
menyiarkan serangannya di Twitter terhadap Mal Westgate di Nairobi pada 2013
(Telegraph, 22/9/2013).
Apakah menggunakan informasi yang
telah diberikan itu salah? Terlepas ada atau lemahnya perlindungan data
pribadi di suatu negara, kejadian semacam ini telah membawa dampak yang
berbahaya dan buruk sekali.
Para pengontrol data, dan
merekayasa suatu hal terhadapnya, sangat tak etis berkata, ”Who’s put that
out?” Sebagaimana juga ujaran Mark Turnbull, Direktur Pelaksana Cambridge
Analytica, ketika melontarkan pertanyaan balik ketika ditanya wartawan. Ini
bukan sekadar soal telah diberikannya akses informasi terhadap data tersebut.
Pertama, kasus seperti penargetan
psikografis dalam bentuk game di Facebook, yang kemudian mengantongi data
pengguna, dan dimanfaatkan untuk kepentingan politik, jelas telah melampaui
syarat dan ketentuan penggunaan data.
Kedua, perlu kiranya diterangkan
kepada pengguna bahwa data mereka sangat berharga dan berhati-hatilah saat
pemberian akses informasi. McKinsey Global Institute menyebutkan, nilai
ekonomi data kini berada pada urutan 3 triliun dollar AS. Angka yang tak
sempat terbayangkan sebelumnya bagi kita saat mendapat layanan media sosial
yang gratis itu.
Dengan metode Cambridge Analytica,
Donald Trump sukses mengumpulkan sekitar 80 juta dollar AS dana kampanye
lewat pemanfaatan data ilegal. Sementara ia (baca: Trump), sebagaimana
catatan Komisi Pemilihan Federal AS, merekrut lembaga itu pada pertengahan
2016 hanya dengan membayar sebesar 6,2 juta dollar AS. Sungguh eksploitasi
data ini begitu menguntungkan para pengontrol dan merugikan pengguna.
Perlindungan
data pribadi
Saat ini belumlah terang apa yang
terjadi di Indonesia. Namun, Cambridge Analytica dalam situsnya menyebutkan
bahwa mereka telah dikontrak untuk mengelola kampanye pemilihan salah satu
partai politik utama Indonesia setelah pemulihan demokrasi pada tahun 1999.
Kampanye ini sangat kompleks dan
diperlukan untuk menarik lebih dari 200 juta orang di 40 bahasa di kepulauan
Indonesia. Dengan krisis keuangan Asia baru-baru ini dan keberangkatan mantan
penguasa, Cambridge Analytica memainkan peran penting dalam mengelola emosi
yang ada di masyarakat.
Ini bisa menggemparkan jagat
politik nasional apabila juga diinvestigasi. Apakah politikus-politikus
partai yang menjabat di eksekutif ataupun legislatif di tingkat pusat maupun
daerah negeri ini juga terlibat skandal data ilegal? Tentu saja masih tanda
tanya.
Terkait perlindungan data pribadi
dari penggunaan tanpa izin menurut hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mensyaratkan bahwa
penggunaan setiap data pribadi dalam sebuah media elektronik harus mendapat
persetujuan pemilik data bersangkutan.
Setiap penyelenggara sistem
elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi
jika terjadi kegagalan perlindungan rahasia data pribadi dalam sistem
elektronik yang dikelolanya. Setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat
digugat atas kerugian yang ditimbulkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar