Politik
dan Imajinasi Perang
Geger Riyanto ; Mahasiswa PhD Bidang Etnologi Universitas Heidelberg
|
KOMPAS,
25 April
2018
Kepresidenan Trump
merupakan contoh telanjang kepemimpinan politik yang dijalankan dengan logika
awam. Logika awam sayap kanan, tentu saja. Hal ini kian kentara ketika
selepas penyerangan Suriah, ia mencuitkan tanpa ragu-ragu di akun
Twitter-nya, ”mission accomplished!” (misi telah ditunaikan!).
Cuitan Trump tersebut
segera menuai gugatan dari berbagai penjuru. Ia dianggap buta sejarah. George
Bush sebelumnya menyampaikan hal serupa selepas sebuah misi ke Irak dan,
nyatanya, Perang Irak berlarut-larut, menghamburkan uang dan nyawa, dan
menenggelamkan reputasinya. Trump dianggap bebal akan bagaimana langkahnya
bisa memprovokasi eskalasi konflik dengan kekuatan besar, yakni Rusia dan
Iran. Namun, komentar Trump juga memperlihatkan bagaimana perang
diimajinasikan secara awam.
Seperti apakah ia
dibayangkan? Ia adalah sesuatu yang dibayangkan harus dimenangi alih-alih
dipikirkan serenteng konsekuensi riilnya—kenestapaan banyak orang,
terkurasnya harta dan keajekan emosional, trauma berkepanjangan. Keberanian
menjajal tantangan lawan, tak peduli lawan imajiner belaka, dianggap akan
menegakkan citra diri yang gagah. Dan, bayangan memenangi perang merupakan
kail yang memancing insan-insan khilaf mengejarnya.
Mobilisasi
emosional
Hal ini menjelaskan
mengapa idiom-idiom yang menjadi wahana mobilisasi politik tak pernah jauh-jauh
dari perang. Kebanyakan dari kita hidup di sebuah kurun dan di tempat di mana
perang menjadi realitas yang jauh—sangat jauh. Akan tetapi, simbol-simbolnya
tak pernah henti mengepung kita. Belum lagi, ia mengemuka dalam wujud yang
menggoda orang bergerak, bertindak, serta terpantik.
Di antara akun-akun anonim
yang mencoba menggaet pengikut dan menyebarluaskan pesan lewat provokasi
politik, misalkan. Identitas yang acap digunakan adalah identitas yang
menyiratkan tengah bergulirnya perang atau perjuangan seperti ”cyber army”,
”laskar”, atau ”pejuang”. Muatan-muatan yang diangkatnya mengisyaratkan bahwa
ancaman eksistensial tengah menghalau kelompok mereka dan mereka harus
berjuang demi menyambung keberadaannya.
Dan, ketika kekerasan
benar-benar terjadi—katakanlah, persekusi keji terhadap Rohingya—ia segera
ditafsirkan sebagai bukti nyata adanya peperangan. Foto dari berita-berita
segera diambil secara serampangan dan ditandai dengan keterangan kelompoknya
tengah diperangi kelompok lain. Apakah kerja-kerja ini sukses? Sejauh yang
saya yakin bisa kita semua temukan, di luar berita-berita media massa resmi,
berita politik paling rentan tersebar lewat metode dan saluran seperti ini.
Lantas, di antara para
penggerak massa ketika perhelatan politik menjelang, apa yang acap muncul di
sudut-sudut yang tak terlalu kasatmata adalah pihak lawan politik diumpamakan
sebagai lawan peperangan yang kemenangannya akan memunahkan pihaknya sendiri.
Kemenangan pihaknya, karena itu, adalah suatu keharusan. Perhelatan politik
adalah peperangan mempertaruhkan keberadaan yang di dalamnya segala cara
menjadi diperkenankan.
Yang
terabaikan
Pengumpamaan dengan perang
memang memikat. Lantaran alasan inilah, sejauh apa pun kita berjarak dari
kenyataan perang, simbol-simbolnya akan selalu menghampiri kita lagi.
Sayangnya, ia juga menggiring kita untuk menyederhanakan kompleksitas yang
tidak seharusnya kita tampik.
Perhelatan politik adalah
momen-momen kala sumber daya diperebutkan. Medan pergulatannya adalah medan
abu-abu di mana partai dan kandidat apa pun—tak peduli ideologinya—selalu
rentan berakhir merampungkan oligarki dan tak mencetuskan kebijakan apa pun
yang berfaedah untuk konstituennya, lebih-lebih mengikis kesenjangan. Namun,
potret yang rumit dan bercabang-cabang ini akan mengental menjadi dua sisi
hitam-putih melalui pengumpamaan perang.
Logika perang, pasalnya,
berwatak agon. Artinya, mengutip penjelasan sosiolog Roger Cailois tentang
agon, insan yang terlibat di dalamnya akan terpacu untuk memenangkannya
sesederhana karena dengannya ia dapat mengungguli yang lain dan memamerkan
keberdayaannya. Apakah insan-insan ini memerlukan alasan lain yang lebih
masuk akal? Tidak!
Keberdayaan, keunggulan,
kegagahan adalah tujuan tunggalnya. Yang ada di dalamnya hanyalah diri dan
lawan tanding.
Ketika pemilihan kepala
daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) diibaratkan dengan perang—dan
watak kompetitifnya memang menyebabkannya rentan diumpamakan demikian—apa
yang terjadi adalah pertautan-pertautan kepentingan yang justru riil menjadi
terkubur. Manuver-manuver yang kelak menentukan rezim seperti apa yang akan
berdiri terabaikan. Belum lagi, apa yang perlu dilakukan selanjutnya setelah
kemenangan tak pernah terbayangkan. Apa yang diketahui oleh para pendukung
hanya sebatas memenangi peperangan atau—menggunakan kata-kata
Trump—menunaikan misi.
Lantas, masalah
selanjutnya dari penggunaan idiom-idiom perang ini adalah kerawanannya
membidik kelompok yang berbeda identitas sebagai sasaran kemarahan. Mereka
yang terlekat dengan atribut-atribut lawan politik akan dianggap sebagai
sumber persoalan, dan penyingkiran mereka identik dengan usainya kemelut
hidup.
Urgen
Bukan sebuah kebetulan,
saya kira, beriringan dengan perhelatan politik yang menyita perhatian,
jumlah insiden main hakim sendiri meningkat. Dan, darinya terungkap pula
bahwa kelompok minoritas kian rentan menjadi sasarannya.
Pertanyaannya adalah
apakah setelah segenap keangkaramurkaan dilampiaskan kepada kelompok ini
perkara akan kelar? Tidak! Sebagaimana keadaan juga tidak akan berubah—atau
malah semakin mengeruh—apabila negara-negara Barat benar-benar menyingkirkan
para pendatang mengikuti ajakan-ajakan ”memerangi mereka” dari politisi
populis sayap kanan. Sebagaimana pembangunan tembok panjang yang memisahkan
Amerika Serikat dan Meksiko hanya akan menghamburkan uang pajak warga AS
kepada para kontraktor pembangunnya.
Dengan keampuhan retorika
peperangan ini mendatangkan perhatian khalayak, dukungan elektoral, dan
akhirnya kesempatan terbaik meraup kekuasaan, rasanya tidak realistis
berharap eksploitasi-eksploitasi vulgarnya akan pupus dengan sendirinya.
Malah, boleh jadi, seiring waktu kita hanya akan kian marak berhadapan
dengannya. Lebih-lebih ketika semua kini mudah terhantar ke hadapan kita
dengan perantaraan media sosial dan algoritmanya.
Namun, tentu saja,
langkah-langkah perlu diambil. Adalah hal yang sulit untuk bergeming ketika
elite-elite berebut kekuasaan dengan cara yang demikian tak bertanggung jawab
dan menjadikan warga dengan tidak berperasaan sebagai batu pijakannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar