Jumat, 27 April 2018

Politik dan Imajinasi Perang

Politik dan Imajinasi Perang
Geger Riyanto ;  Mahasiswa PhD Bidang Etnologi Universitas Heidelberg
                                                         KOMPAS, 25 April 2018



                                                           
Kepresidenan Trump merupakan contoh telanjang kepemimpinan politik yang dijalankan dengan logika awam. Logika awam sayap kanan, tentu saja. Hal ini kian kentara ketika selepas penyerangan Suriah, ia mencuitkan tanpa ragu-ragu di akun Twitter-nya, ”mission accomplished!” (misi telah ditunaikan!).

Cuitan Trump tersebut segera menuai gugatan dari berbagai penjuru. Ia dianggap buta sejarah. George Bush sebelumnya menyampaikan hal serupa selepas sebuah misi ke Irak dan, nyatanya, Perang Irak berlarut-larut, menghamburkan uang dan nyawa, dan menenggelamkan reputasinya. Trump dianggap bebal akan bagaimana langkahnya bisa memprovokasi eskalasi konflik dengan kekuatan besar, yakni Rusia dan Iran. Namun, komentar Trump juga memperlihatkan bagaimana perang diimajinasikan secara awam.

Seperti apakah ia dibayangkan? Ia adalah sesuatu yang dibayangkan harus dimenangi alih-alih dipikirkan serenteng konsekuensi riilnya—kenestapaan banyak orang, terkurasnya harta dan keajekan emosional, trauma berkepanjangan. Keberanian menjajal tantangan lawan, tak peduli lawan imajiner belaka, dianggap akan menegakkan citra diri yang gagah. Dan, bayangan memenangi perang merupakan kail yang memancing insan-insan khilaf mengejarnya.

Mobilisasi emosional

Hal ini menjelaskan mengapa idiom-idiom yang menjadi wahana mobilisasi politik tak pernah jauh-jauh dari perang. Kebanyakan dari kita hidup di sebuah kurun dan di tempat di mana perang menjadi realitas yang jauh—sangat jauh. Akan tetapi, simbol-simbolnya tak pernah henti mengepung kita. Belum lagi, ia mengemuka dalam wujud yang menggoda orang bergerak, bertindak, serta terpantik.

Di antara akun-akun anonim yang mencoba menggaet pengikut dan menyebarluaskan pesan lewat provokasi politik, misalkan. Identitas yang acap digunakan adalah identitas yang menyiratkan tengah bergulirnya perang atau perjuangan seperti ”cyber army”, ”laskar”, atau ”pejuang”. Muatan-muatan yang diangkatnya mengisyaratkan bahwa ancaman eksistensial tengah menghalau kelompok mereka dan mereka harus berjuang demi menyambung keberadaannya.

Dan, ketika kekerasan benar-benar terjadi—katakanlah, persekusi keji terhadap Rohingya—ia segera ditafsirkan sebagai bukti nyata adanya peperangan. Foto dari berita-berita segera diambil secara serampangan dan ditandai dengan keterangan kelompoknya tengah diperangi kelompok lain. Apakah kerja-kerja ini sukses? Sejauh yang saya yakin bisa kita semua temukan, di luar berita-berita media massa resmi, berita politik paling rentan tersebar lewat metode dan saluran seperti ini.

Lantas, di antara para penggerak massa ketika perhelatan politik menjelang, apa yang acap muncul di sudut-sudut yang tak terlalu kasatmata adalah pihak lawan politik diumpamakan sebagai lawan peperangan yang kemenangannya akan memunahkan pihaknya sendiri. Kemenangan pihaknya, karena itu, adalah suatu keharusan. Perhelatan politik adalah peperangan mempertaruhkan keberadaan yang di dalamnya segala cara menjadi diperkenankan.

Yang terabaikan

Pengumpamaan dengan perang memang memikat. Lantaran alasan inilah, sejauh apa pun kita berjarak dari kenyataan perang, simbol-simbolnya akan selalu menghampiri kita lagi. Sayangnya, ia juga menggiring kita untuk menyederhanakan kompleksitas yang tidak seharusnya kita tampik.

Perhelatan politik adalah momen-momen kala sumber daya diperebutkan. Medan pergulatannya adalah medan abu-abu di mana partai dan kandidat apa pun—tak peduli ideologinya—selalu rentan berakhir merampungkan oligarki dan tak mencetuskan kebijakan apa pun yang berfaedah untuk konstituennya, lebih-lebih mengikis kesenjangan. Namun, potret yang rumit dan bercabang-cabang ini akan mengental menjadi dua sisi hitam-putih melalui pengumpamaan perang.

Logika perang, pasalnya, berwatak agon. Artinya, mengutip penjelasan sosiolog Roger Cailois tentang agon, insan yang terlibat di dalamnya akan terpacu untuk memenangkannya sesederhana karena dengannya ia dapat mengungguli yang lain dan memamerkan keberdayaannya. Apakah insan-insan ini memerlukan alasan lain yang lebih masuk akal? Tidak!
Keberdayaan, keunggulan, kegagahan adalah tujuan tunggalnya. Yang ada di dalamnya hanyalah diri dan lawan tanding.

Ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum (pemilu) diibaratkan dengan perang—dan watak kompetitifnya memang menyebabkannya rentan diumpamakan demikian—apa yang terjadi adalah pertautan-pertautan kepentingan yang justru riil menjadi terkubur. Manuver-manuver yang kelak menentukan rezim seperti apa yang akan berdiri terabaikan. Belum lagi, apa yang perlu dilakukan selanjutnya setelah kemenangan tak pernah terbayangkan. Apa yang diketahui oleh para pendukung hanya sebatas memenangi peperangan atau—menggunakan kata-kata Trump—menunaikan misi.

Lantas, masalah selanjutnya dari penggunaan idiom-idiom perang ini adalah kerawanannya membidik kelompok yang berbeda identitas sebagai sasaran kemarahan. Mereka yang terlekat dengan atribut-atribut lawan politik akan dianggap sebagai sumber persoalan, dan penyingkiran mereka identik dengan usainya kemelut hidup.

Urgen

Bukan sebuah kebetulan, saya kira, beriringan dengan perhelatan politik yang menyita perhatian, jumlah insiden main hakim sendiri meningkat. Dan, darinya terungkap pula bahwa kelompok minoritas kian rentan menjadi sasarannya.

Pertanyaannya adalah apakah setelah segenap keangkaramurkaan dilampiaskan kepada kelompok ini perkara akan kelar? Tidak! Sebagaimana keadaan juga tidak akan berubah—atau malah semakin mengeruh—apabila negara-negara Barat benar-benar menyingkirkan para pendatang mengikuti ajakan-ajakan ”memerangi mereka” dari politisi populis sayap kanan. Sebagaimana pembangunan tembok panjang yang memisahkan Amerika Serikat dan Meksiko hanya akan menghamburkan uang pajak warga AS kepada para kontraktor pembangunnya.

Dengan keampuhan retorika peperangan ini mendatangkan perhatian khalayak, dukungan elektoral, dan akhirnya kesempatan terbaik meraup kekuasaan, rasanya tidak realistis berharap eksploitasi-eksploitasi vulgarnya akan pupus dengan sendirinya. Malah, boleh jadi, seiring waktu kita hanya akan kian marak berhadapan dengannya. Lebih-lebih ketika semua kini mudah terhantar ke hadapan kita dengan perantaraan media sosial dan algoritmanya.

Namun, tentu saja, langkah-langkah perlu diambil. Adalah hal yang sulit untuk bergeming ketika elite-elite berebut kekuasaan dengan cara yang demikian tak bertanggung jawab dan menjadikan warga dengan tidak berperasaan sebagai batu pijakannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar