Kualitas
Kandidat Kepala Daerah
Aminuddin ; Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk
Demokrasi
|
KOMPAS,
21 April
2018
Munculnya sejumlah nama yang
tersandung masalah korupsi mengindikasikan bahwa kualitas kandidat kepala
daerah masih jauh panggang dari api. Fenomena tersebut tentu saja mengurangi
bobot nilai dalam pilkada serentak 2018.
Bagaimanapun, kualitas kepala
daerah akan menentukan sejauh mana nantinya hajatan demokrasi lokal
menelurkan kepala daerah berkualitas, setidaknya antikorupsi. Jika banyak
kepala daerah yang lebih sibuk menghadapi masalah hukum ketimbang konsolidasi
politik dengan konstituen, dipastikan hak publik dalam mencerna visi misi
kandidat tersendat.
Masih jauhnya kualitas kandidat di
pilkada serentak tidak bisa lepas dari dua variabel penting, yakni buruknya
regulasi dan permisifnya partai politik terhadap kandidat bermasalah.
Regulasi yang ada saat ini cenderung menguntungkan parpol dan kandidat.
Dikatakan menguntungkan karena kandidat yang telah ditetapkan sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau calon yang memang sejak awal
sudah bermasalah bisa memaksakan diri untuk maju.
Hal ini dilakukan karena tak ada
konsekuensi hukum yang akan membelitnya. Pasalnya, ketika mereka sudah
terdaftar tidak bisa mengundurkan diri atau diganti oleh partai pengusung.
Ini sesuai amanat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang melarang
menarik calon sejak disahkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU dan
larangan pembatalan calon kepala daerah kecuali meninggal, bukan karena
melakukan pelanggaran hukum tertentu.
Sementara bagi parpol, regulasi
tersebut berimbas terhadap komitmennya dalam mengusung kandidat yang bersih.
Artinya, regulasi tersebut telah membuka keran abainya parpol mencari
kandidat yang tak berpotensi dibelit masalah hukum.
Parpol juga enggan meminang
kandidat yang dikehendaki publik. Dalam posisi ini, logika yang dibangun
bukan sejauh mana ”mata batin” parpol memandang kelayakan kandidat dan
konsekuensinya ke depan, melainkan parpol lebih memilih kandidat yang kuat
secara finansial. Implikasinya, pertimbangan logistik jadi acuan utama dalam
menentukan kandidat yang akan diusung.
Anasir di atas sangat mudah
dideteksi dalam proses pencalonan kepala daerah. Tak sedikit tokoh potensial
yang ingin maju merasa diperas oleh partai jika ingin mendapat rekomendasi.
Tokoh non-parpol harus menyerahkan sejumlah uang kepada partai politik. Jika
tidak, jangan harap akan memperoleh perahu politik.
Karena itu, tak heran banyak tokoh
potensial layu sebelum menjadi kandidat. Di sinilah kemudian lahir kandidat
yang tidak melalui mekanisme ketat di internal parpol, layaknya kader parpol
yang ingin maju dalam pemilihan legislatif (pileg).
Memang terdapat perbedaan mencolok
antara perekrutan kandidat kepala daerah dan calon anggota legislatif
(caleg). Caleg biasanya melalui proses seleksi ketat dan sistem kaderisasi.
Mereka harus paham betul ideologi partai dan harus melalui prosedur AD/ART
yang berlaku.
Sementara bagi calon kepala
daerah, parpol tidak perlu melakukan seleksi ketat layaknya calon DPR dan
DPRD. Calon kepala daerah cukup memiliki modal popularitas, elektabilitas,
dan bisa saja modal logistik. Inilah mengapa banyak kandidat yang dicalonkan
oleh parpol, tetapi tidak memiliki ikatan ideologi. Pada akhirnya, partai
bermetamorfosis menjadi organisasi politik penyedia ”lowongan pekerjaan”.
Tak
sesuai ekspektasi
Sulitnya kandidat dengan kualitas
mumpuni membuat dilema bagi pemilih.
Di satu sisi, masyarakat menginginkan calon kepala daerah yang bersih dari
masalah hukum. Namun, di sisi lain, kandidat yang bersih dari masalah hukum
tidak mudah untuk maju karena problem prosedural-formal. Akibatnya, kandidat
yang maju hanya itu-itu saja tanpa ada pembaruan keringat kerja-kerja
politik, kandidat minus kinerja dan kualitas rendah.
Maka, tidak heran jika banyak
kandidat yang tersedia hanya dari kalangan petahana, kandidat bermasalah, dan
politik dinasti. Tidak sedikit juga kandidat harus berlumuran ”dosa” politik
akibat sanak keluarganya yang terlebih dahulu memimpin tersangkut masalah
hukum. Inilah mengapa kualitas kandidat dalam pilkada acap kali bertolak
belakang dengan ekspektasi publik.
Melihat keruhnya problem di atas,
hajatan pilkada dihadapkan pada ancaman penting. Pertama, proses demokrasi
hanya dikuasai kelompok kecil yang antidemokrasi. Para pembajak demokrasi
mengartikan bahwa demokrasi sebatas proses pencoblosan di hari pemilihan.
Proses seperti itu diagungkan
sebagai proses yang sangat demokratis karena publik sudah diberi hak untuk
memilih kandidat yang disediakan oleh parpol. Setelah itu, hasilnya
dikendalikan oleh kelompok kecil yang antidemokrasi.
Kedua, hajatan pilkada dikuasai
oleh kaum oligarki dan para pemodal. Mekanisme pemilihan dan menentukan
kandidat kita memang di desain secara demokratis. Namun, pada kenyataannya,
elite politik dan pemodal yang menjadi dwitunggal tunggal penentu.
Publik tidak lagi memiliki
kesempatan untuk memberikan masukan kepada parpol terkait rekam jejak
kandidat yang dicalonkan. Sekali lagi, publik hanya mentok berpartisipasi di
hari pemungutan suara.
Demi melahirkan kandidat
berkualitas, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, revisi terhadap UU No
10/2016 terkait larangan menarik dan membatalkan calon kepala daerah harus
segera dilakukan. UU tersebut didesain agar tersangka korupsi dapat diganti.
Tujuannya agar calon yang tersedia bersih dari masalah hukum.
Kedua, rakyat harus dilibatkan
dalam setiap proses pencalonan hingga akhir pesta demokrasi. Jika perlu,
semua parpol melakukan konvensi pemilihan calon kepala daerah untuk menguji
secara terbuka kualitas kandidat di mata publik. Dengan demikian, publik juga
akan merasa memiliki tanggung jawab moral politik karena calon yang diusung
oleh setiap partai atau gabungan sudah melalui seleksi secara mandiri.
Pada akhirnya, kandidat yang akan
dipilih merupakan tokoh pilihan dengan standar tinggi. Bukan lagi politisi
instan yang hanya menghamba kepada kepentingan kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar