Jumat, 27 April 2018

Nasionalisme, Sekali Bangkit Tak Padam Lagi

Kesenjangan Pembangunan Manusia
Razali Ritonga ;  Kepala Pusdiklat BPS
                                                         KOMPAS, 26 April 2018



                                                           
Badan Pusat Statistik, (16/4/20118), mengumumkan, pembangunan manusia di Tanah Air terus mengalami kemajuan. Selama 2016-2017, nilai Indeks Pembangunan Manusia meningkat 0,90 persen, dari 70,18 pada 2016 menjadi 70,81 pada 2017. Hal itu berarti pembangunan manusia di Indonesia kini termasuk kategori tinggi dengan nilai indeks di atas 70.

Namun, pencapaian pembangunan manusia secara nasional itu tidak diikuti semua daerah. Secara faktual, pembangunan manusia antardaerah di Tanah Air masih menunjukkan kesenjangan. Pada 2017, hanya DKI yang mencapai nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sangat tinggi (di atas 80), yakni 80,06, sedangkan Papua adalah satu-satunya dari 34 provinsi yang nilai IPM-nya rendah (kurang dari 60), yaitu 59,09. Adapun provinsi lain berada di kelompok tinggi (antara 70 hingga kurang dari 80) dan sedang (antara 60-kurang dari 70).

Perbedaan nilai IPM tertinggi (DKI) dan terendah (Papua), menurut provinsi di Tanah Air pada 2017, tercatat 20,97 poin. Sementara pada 2016, perbedaan nilai IPM tertinggi (DKI, 79,60) dan terendah (Papua, 58,05) sebesar 21.55 poin. Hal itu berarti kesenjangan pembangunan manusia antarprovinsi di Tanah Air selama 2016-2017 mulai menyempit.

Meski demikian, pemerintah perlu terus mengupayakan pembangunan manusia, khususnya pada daerah-daerah dengan IPM rendah. Sebab, jika tidak dilakukan akselerasi pembangunan manusia pada daerah-daerah IPM rendah  itu, keadaannya akan tetap tertinggal dari daerah- daerah lain dengan IPM tinggi.

Untuk menyamai IPM DKI saat ini, misalnya, Papua memerlukan waktu lebih dari 30 tahun. Hal ini didasarkan pada pencapaian nilai IPM setiap tahunnya yang lebih kecil dari satu poin. Secara nasional, selama 20102017, misalnya, rata-rata peningkatan IPM per tahunnya 0,61 poin, yakni dari 66,53 pada 2010 menjadi 70,81 pada 2017.

Masih senjangnya pembangunan manusia antardaerah kiranya cukup mengkhawatirkan karena kian menyulitkan daerah dengan IPM rendah untuk meningkatkan kesejahteraannya agar sejajar dengan daerah-daerah lain dengan IPM tinggi. Sebab, rendahnya nilai IPM di suatu daerah sekaligus merepresentasikan rendahnya kapabilitas penduduk di daerah itu. Dalam konteks ini ada dua faktor yang memengaruhi kapabilitas penduduk, yakni pendidikan dan kesehatan.

Sekadar gambaran, rata-rata lama sekolah di DKI 11,02 tahun atau setara kelas II SMA dan angka harapan hidup 72,55 tahun. Sementara rata-rata lama sekolah di Papua 6,27 tahun atau setara tamat SD dan angka harapan hidup 65,14 tahun. Adapun standar angka umur harapan hidup maksimum yang ditetapkan Program Pembangunan PBB (UNDP) ialah 85 tahun dan standar rata-rata lama sekolah tertinggi 15 tahun atau setara diploma III dan rata-rata harapan lama sekolah 18 tahun atau setara tamat pascasarjana.

Rendahnya kapabilitas penduduk, seperti halnya di Papua, menyebabkan mereka tak cukup mudah diberdayakan dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan. Meski, misalnya, tersedia infrastruktur yang memadai, hal itu belum menjamin penduduk dengan kapabilitas rendah dapat berpartisipasi secara optimal dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan.

Aksesibilitas layanan dasar

Maka, untuk mempersempit kesenjangan pembangunan manusia di Tanah Air, pemerintah perlu memprioritaskan pembangunan di daerah-daerah dengan IPM rendah, khususnya Papua. Pada level kabupaten, tercatat ada 32 daerah yang IPM-nya rendah, terbanyak di Papua (18 kabupaten), menyusul Papua Barat (5), Nusa Tenggara Timur (4), Sumatera Utara (3), Maluku Utara (1), dan Jawa Timur (1).

Patut diketahui, tingginya angka kemiskinan di suatu daerah ternyata bukan merupakan faktor tunggal penyebab rendahnya pencapaian IPM. Di Maluku Utara, misalnya, pada September 2017 angka kemiskinan 6,4 persen, jauh lebih rendah daripada angka kemiskinan nasional (10,1 persen),  tetapi IPM-nya (67,20) jauh di bawah IPM nasional (70,81). Sebaliknya,  DI Yogyakarta, meski angka kemiskinan (12,4 persen) di atas angka kemiskinan nasional (10,1 persen), IPM-nya (78,89) jauh lebih tinggi daripada IPM nasional.

Rendahnya angka kemiskinan yang belum sejalan dengan capaian IPM, seperti halnya di Maluku Utara, mengindikasikan adanya persoalan pada dua dimensi lain dari pembangunan manusia, yakni pendidikan dan kesehatan. Persoalan itu ialah faktor kesulitan mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan umumnya jauh dari permukiman penduduk sehingga tidak mudah diakses dan memerlukan biaya transportasi yang mahal.

Bahkan, dalam kasus ekstrem, penduduk di daerah terpencil (terluar, terjauh, terdepan, dan terisolasi) sama sekali tidak dapat mengakses pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya, hal itu tentu akan menyulitkan penduduk di daerah terpencil dalam meningkatkan pendidikan dan kesehatannya. Berbeda halnya dengan daerah tak terpencil, seperti DI Yogyakarta yang jarak permukiman dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan relatif cukup terjangkau.

Saling menguatkan

Absennya penduduk dalam pemanfaatan fasilitas pendidikan dan kesehatan karena kesulitan mengakses, menyebabkan bantuan pendidikan dan kesehatan—khususnya bagi sebagian penduduk miskin—jadi kurang bermakna. Hal ini pada gilirannya akan menyulitkan penduduk dalam meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikannya sehingga memperlambat pencapaian pembangunan manusia.

Secara faktual, hal itu sekaligus menegaskan bahwa untuk meningkatkan pembangunan manusia, khususnya pada daerah terpencil, tampaknya tidak cukup hanya dengan bantuan sosial untuk pengentasan rakyat miskin, serta meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Pemerintah juga perlu menyiapkan aneka perangkat untuk mempermudah aksesibilitas ke layanan pendidikan dan kesehatan. Caranya memperbanyak dan mendekatkan ketersediaan infrastruktur layanan dasar dan kemudahan transportasi dari permukiman penduduk ke layanan dasar.

Dalam konteks ini, pemerintah daerah, khususnya pada daerahdaerah dengan IPM rendah, perlu memprioritaskan pembangunan manusia guna mengejar ketertinggalan dari daerah lain dengan IPM tinggi. Meski diketahui hal itu tidak cukup mudah dilakukan mengingat dalam penentuan prioritas pembangunan kerap terjadi ulur-tarik: apakah pembangunan ekonomi didahulukan untuk memperoleh pembiayaan pembangunan manusia yang dilakukan kemudian, atau pembangunan manusia didahulukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi kemudian?

Jawabannya ialah pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia perlu dilakukan sekaligus secara paralel sehingga diharapkan akan terjadi hubungan yang saling menguatkan diantara keduanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar