Kesenjangan
Pembangunan Manusia
Razali Ritonga ; Kepala Pusdiklat BPS
|
KOMPAS,
26 April
2018
Badan Pusat Statistik,
(16/4/20118), mengumumkan, pembangunan manusia di Tanah Air terus mengalami
kemajuan. Selama 2016-2017, nilai Indeks Pembangunan Manusia meningkat 0,90
persen, dari 70,18 pada 2016 menjadi 70,81 pada 2017. Hal itu berarti
pembangunan manusia di Indonesia kini termasuk kategori tinggi dengan nilai
indeks di atas 70.
Namun, pencapaian
pembangunan manusia secara nasional itu tidak diikuti semua daerah. Secara
faktual, pembangunan manusia antardaerah di Tanah Air masih menunjukkan
kesenjangan. Pada 2017, hanya DKI yang mencapai nilai Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) sangat tinggi (di atas 80), yakni 80,06, sedangkan Papua adalah
satu-satunya dari 34 provinsi yang nilai IPM-nya rendah (kurang dari 60),
yaitu 59,09. Adapun provinsi lain berada di kelompok tinggi (antara 70 hingga
kurang dari 80) dan sedang (antara 60-kurang dari 70).
Perbedaan nilai IPM
tertinggi (DKI) dan terendah (Papua), menurut provinsi di Tanah Air pada
2017, tercatat 20,97 poin. Sementara pada 2016, perbedaan nilai IPM tertinggi
(DKI, 79,60) dan terendah (Papua, 58,05) sebesar 21.55 poin. Hal itu berarti
kesenjangan pembangunan manusia antarprovinsi di Tanah Air selama 2016-2017
mulai menyempit.
Meski demikian, pemerintah
perlu terus mengupayakan pembangunan manusia, khususnya pada daerah-daerah
dengan IPM rendah. Sebab, jika tidak dilakukan akselerasi pembangunan manusia
pada daerah-daerah IPM rendah itu,
keadaannya akan tetap tertinggal dari daerah- daerah lain dengan IPM tinggi.
Untuk menyamai IPM DKI
saat ini, misalnya, Papua memerlukan waktu lebih dari 30 tahun. Hal ini
didasarkan pada pencapaian nilai IPM setiap tahunnya yang lebih kecil dari
satu poin. Secara nasional, selama 20102017, misalnya, rata-rata peningkatan
IPM per tahunnya 0,61 poin, yakni dari 66,53 pada 2010 menjadi 70,81 pada
2017.
Masih senjangnya
pembangunan manusia antardaerah kiranya cukup mengkhawatirkan karena kian
menyulitkan daerah dengan IPM rendah untuk meningkatkan kesejahteraannya agar
sejajar dengan daerah-daerah lain dengan IPM tinggi. Sebab, rendahnya nilai
IPM di suatu daerah sekaligus merepresentasikan rendahnya kapabilitas
penduduk di daerah itu. Dalam konteks ini ada dua faktor yang memengaruhi
kapabilitas penduduk, yakni pendidikan dan kesehatan.
Sekadar gambaran,
rata-rata lama sekolah di DKI 11,02 tahun atau setara kelas II SMA dan angka
harapan hidup 72,55 tahun. Sementara rata-rata lama sekolah di Papua 6,27
tahun atau setara tamat SD dan angka harapan hidup 65,14 tahun. Adapun
standar angka umur harapan hidup maksimum yang ditetapkan Program Pembangunan
PBB (UNDP) ialah 85 tahun dan standar rata-rata lama sekolah tertinggi 15
tahun atau setara diploma III dan rata-rata harapan lama sekolah 18 tahun
atau setara tamat pascasarjana.
Rendahnya kapabilitas
penduduk, seperti halnya di Papua, menyebabkan mereka tak cukup mudah
diberdayakan dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan. Meski, misalnya,
tersedia infrastruktur yang memadai, hal itu belum menjamin penduduk dengan
kapabilitas rendah dapat berpartisipasi secara optimal dalam kegiatan ekonomi
dan pembangunan.
Aksesibilitas
layanan dasar
Maka, untuk mempersempit kesenjangan
pembangunan manusia di Tanah Air, pemerintah perlu memprioritaskan
pembangunan di daerah-daerah dengan IPM rendah, khususnya Papua. Pada level
kabupaten, tercatat ada 32 daerah yang IPM-nya rendah, terbanyak di Papua (18
kabupaten), menyusul Papua Barat (5), Nusa Tenggara Timur (4), Sumatera Utara
(3), Maluku Utara (1), dan Jawa Timur (1).
Patut diketahui, tingginya
angka kemiskinan di suatu daerah ternyata bukan merupakan faktor tunggal
penyebab rendahnya pencapaian IPM. Di Maluku Utara, misalnya, pada September
2017 angka kemiskinan 6,4 persen, jauh lebih rendah daripada angka kemiskinan
nasional (10,1 persen), tetapi IPM-nya
(67,20) jauh di bawah IPM nasional (70,81). Sebaliknya, DI Yogyakarta, meski angka kemiskinan (12,4
persen) di atas angka kemiskinan nasional (10,1 persen), IPM-nya (78,89) jauh
lebih tinggi daripada IPM nasional.
Rendahnya angka kemiskinan
yang belum sejalan dengan capaian IPM, seperti halnya di Maluku Utara,
mengindikasikan adanya persoalan pada dua dimensi lain dari pembangunan
manusia, yakni pendidikan dan kesehatan. Persoalan itu ialah faktor kesulitan
mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Ketersediaan fasilitas pendidikan
dan kesehatan umumnya jauh dari permukiman penduduk sehingga tidak mudah
diakses dan memerlukan biaya transportasi yang mahal.
Bahkan, dalam kasus
ekstrem, penduduk di daerah terpencil (terluar, terjauh, terdepan, dan
terisolasi) sama sekali tidak dapat mengakses pendidikan dan kesehatan. Pada
gilirannya, hal itu tentu akan menyulitkan penduduk di daerah terpencil dalam
meningkatkan pendidikan dan kesehatannya. Berbeda halnya dengan daerah tak
terpencil, seperti DI Yogyakarta yang jarak permukiman dengan fasilitas
pendidikan dan kesehatan relatif cukup terjangkau.
Saling
menguatkan
Absennya penduduk dalam
pemanfaatan fasilitas pendidikan dan kesehatan karena kesulitan mengakses,
menyebabkan bantuan pendidikan dan kesehatan—khususnya bagi sebagian penduduk
miskin—jadi kurang bermakna. Hal ini pada gilirannya akan menyulitkan
penduduk dalam meningkatkan derajat kesehatan dan pendidikannya sehingga
memperlambat pencapaian pembangunan manusia.
Secara faktual, hal itu
sekaligus menegaskan bahwa untuk meningkatkan pembangunan manusia, khususnya
pada daerah terpencil, tampaknya tidak cukup hanya dengan bantuan sosial
untuk pengentasan rakyat miskin, serta meningkatkan pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah juga perlu menyiapkan aneka perangkat untuk mempermudah
aksesibilitas ke layanan pendidikan dan kesehatan. Caranya memperbanyak dan
mendekatkan ketersediaan infrastruktur layanan dasar dan kemudahan
transportasi dari permukiman penduduk ke layanan dasar.
Dalam konteks ini,
pemerintah daerah, khususnya pada daerahdaerah dengan IPM rendah, perlu
memprioritaskan pembangunan manusia guna mengejar ketertinggalan dari daerah
lain dengan IPM tinggi. Meski diketahui hal itu tidak cukup mudah dilakukan
mengingat dalam penentuan prioritas pembangunan kerap terjadi ulur-tarik:
apakah pembangunan ekonomi didahulukan untuk memperoleh pembiayaan
pembangunan manusia yang dilakukan kemudian, atau pembangunan manusia
didahulukan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi kemudian?
Jawabannya ialah
pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia perlu dilakukan sekaligus secara
paralel sehingga diharapkan akan terjadi hubungan yang saling menguatkan
diantara keduanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar