Membangun
Akal Sehat
Chudori Sukra ; Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten
|
KOMPAS,
24 April
2018
Merinding saya menyaksikan film
”The Shape of Water” yang berhasil masuk nominasi Oscar sebagai film drama
terbaik tahun 2018 ini. Film yang disutradarai Guillermo del Toro itu
mengentakkan tali renungan saya, betapa sulitnya mencari orang yang mau
berbaik sangka kepada makhluk Tuhan di zaman yang diselimuti peradaban Perang
Dingin ini.
Film tersebut menunjukkan kepada
kita bahwa hakikat dari paradigma Perang Dingin yang digembar-gemborkan
Amerika Serikat sebagai ”sudah berakhir” itu pada hakikatnya terus berjalan
dan esensinya tetap valid hingga saat ini. Deklarasi tentang usainya Perang
Dingin yang ditandatangani Presiden AS dan Rusia, beberapa dasawarsa lalu,
seakan hanya retorika politis belaka. Film The Shape of Water sekaligus
menohok para pemain dan petualang politik di republik ini, dalam suatu era
yang dikatakan ”Zaman Reformasi”, tetapi sebenarnya tak lepas dari mata
rantai antara induk semang (negeri adikuasa) bersama abdi-abdi lokalnya di
Dunia Ketiga.
Berdamai
dengan masa lalu
Dalam pentas politik nasional,
wawasan paradigma Perang Dingin dapat diibaratkan sebagai perangkat lunak
yang masih terus berjalan dan berpraktik hingga saat ini. Realitas itu
terefleksi sepenuhnya karena segenap permesinan, aparat, hingga ke sel-sel
paradigma Orde Baru sebagai pengemban dan pelaksana paradigma Perang Dingin
masih utuh dan kukuh, serta berfungsi dalam seluruh strata kehidupan nasional
kita.
Beda dengan The Act of Killing
garapan Joshua Oppenheimer, film tentang sejarah Indonesia yang juga pernah
masuk dalam jajaran nominasi Oscar 2014, The Shape of Water lebih bermuatan
sosial yang mengandung aspek humanitas tinggi. Diperankan tokoh wanita
tunawicara yang memiliki sikap toleransi, bukan saja kepada sesama manusia,
melainkan juga terhadap makhluk Tuhan lainnya. Pesan-pesan moral dalam film
tersebut mengandung hikmah yang universal, mengajarkan kita semua agar
bersikap rendah hati, berani untuk becermin diri, agar dapat rujuk dan
berdamai dengan masa lalu.
Film-film yang mengandung
religiositas tinggi seperti itu seakan menegur kita bahwa bukan saatnya lagi
orang Indonesia berdebat soal kebenaran dan kesalahan mazhab atau aliran
kepercayaan tertentu. Tetapi, di abad historia ini, masyarakat dunia hanya
akan bertanya seberapa besar kemaslahatan diri kita bagi pembangunan
peradaban umat. Terkait dengan itu, selayaknya kita nyatakan salut kepada
para jurnalis, sejarawan, dan budayawan yang tetap tegar dan berani mengambil
risiko ”dimusuhi” oleh kepentingan politik tertentu (status quo), tetapi mereka
terus bergerak, istiqomah berkarya, konsisten menyuarakan kebenaran. Meskipun
tidak jarang dihadapkan pada ancaman mental persekusi, yang pada titik
tertentu bisa mengancam keselamatan mereka.
Sebagian jurnalis dan budayawan
itu memahami bahwa stigma politik Orde Baru yang membuat sebagian masyarakat
terjangkiti delusi paranoid hingga skizofrenia, perlu diberi pendidikan dan
penyadaran pada proses pencerdasan dan pendewasaan mereka. Ketika bangsa ini
sedang dilanda kegilaan pada dunia dan materi, godaan-godaan untuk melemahkan
mentalitas kian menjadi-jadi. Godaan itu ingin menjauhkan pikiran umat dari
kehidupan yang realistis, seakan-akan menghendaki agar bangsa ini kehilangan
akal sehatnya. Lihatlah fenomena Dimas Kanjeng, Brajamusti, dan sederet penipu
yang menyamar jadi orang pintar, orang suci, dengan mem-politisasi agama dan
Tuhan sebagai alat legitimasi mereka.
Hal ini mengingatkan kita pada
suatu generasi (ordo) yang menampilkan seorang jenderal bekas didikan KNIL,
yang kemudian disebut ”Bapak Pembangunan”. Setelah mengisolasi bapak bangsa
Sukarno di Wisma Yaso, serta mencabut semua hak politiknya, ordo yang baru
ini mengawali kekuasaan dengan permainan semantik, lantas menjuluki masa
kepemimpinan Sukarno sebagai ”Orde Lama”. Persis seperti pemberian nama
”Banten Lama” yang dilegitimasi kekuasaan dinasti Atut Chosiyah, hingga
merasa tak perlu untuk merawat, merehabilitasi, dan melestarikan monumen
bersejarah di masa kesultanan Islam tersebut.
Permainan semantik itu terus
berlanjut dengan memunculkan ordo yang baru (Orde Baru), menjadikan ekonomi
sebagai panglima, dengan mengadopsi cara-cara manajemen pemerintahan di
negeri-negeri yang ekonominya dianggap maju. Dasar-dasar dan falsafah negara
yang dirintis dan digagas Bapak Bangsa hanya menjadi slogan kosong tanpa
makna. Nilai-nilai Pancasila yang bernapaskan Islami disulap jadi proyek
pembangunan semata. Dalam perjalanannya, terjadilah praktik ekonomi
materialis dan hedonistik, suatu pola hidup yang kelebihan mencintai dunia
berikut aksesorinya: harta, pangkat, jabatan, dan popularitas duniawi.
Di sisi lain, pendidikan dan
pengajaran ikut dibangun di atas landasan dan asas kehidupan duniawi, bukan
atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Semua orientasi dan proses
pendidikan akhirnya bermuara pada gaya hidup hedonis yang menghamba pada
kesuksesan dan popularitas duniawi. Pelajar-pelajar menjadi tak terdidik,
hingga di kemudian hari melahirkan intelektual-intelektual tukang semata.
Mental warisan Orde Baru ini harus
diakui dengan jujur oleh masyarakat Indonesia yang mudah tergiur dengan cara-cara
instan untuk meraih sesuatu. Tak usah heran bila kita menyaksikan di antara
mereka masih sibuk dengan persaingan kepentingan duniawi. Rebutan kedudukan
dan kursi politik, gila harta, dan keserakahan. Hal ini sangat berkaitan
dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa cinta dunia adalah pangkal dari
segala kerusakan dan ketakseimbangan kosmik.
Secara implisit, Albert Einstein
pernah menyatakan bahwa perbedaan antara orang baik dan orang jahat adalah
bahwa, ”Sesungguhnya ambisi orang baik itu ada batasnya. Sebab, tak setiap
yang terjangkau oleh kekuatan otak boleh dilakukan manusia dengan sesuka
hatinya.” Hal ini mengandung arti bahwa kejahatan manusia bersumber dari
kebodohan karena orang-orang bodoh selalu saja tidak mengenal batas-batas
kewajaran.
Sebagai pendidik dan pengasuh di
lingkungan pesantren, saya lebih cenderung mengacu dari pernyataan Ayatullah
Khomeini mengenai beberapa kriteria orang-orang bodoh. Sebagai pemimpin
spiritual Iran, saat itu ia berceramah di hadapan rakyatnya, bahwa orang
bodoh dapat menyakiti orang lain tanpa menyadari efek dari perbuatannya.
Selanjutnya, orang bodoh selalu berbuat salah serta tidak mau mencari tahu di
mana akar permasalahannya. Selain itu, orang bodoh juga dapat diperalat dan
dikendalikan orang lain untuk berbuat kerusakan.
Dengan otoritasnya sebagai
pemimpin revolusi di Republik Iran, Khomeini menyadari, sebuah revolusi
mental tak akan menghasilkan apa-apa jika masyarakatnya terus terbenam dalam
kebodohan. Maka, yang harus diberi perhatian sepenuhnya adalah bagaimana
membangun kesadaran baru hingga mencapai kualitas moral bagi kemaslahatan
banyak orang.
Pemuja
dan pembenci
Beberapa waktu lalu, di Pesantren
Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten, saya menghadiri acara peluncuran novel Pikiran Orang Indonesia, yang ditulis
seorang alumnus jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta. Novel itu
bicara tentang psiko-histori manusia Indonesia pasca-1965. Dalam novelnya
itu, ia menggambarkan bahwa yang paling utama harus dibangun adalah
mentalitas dan moralitas manusia Indonesia, yang akan memengaruhi sikap yang
tepat dalam menghadapi hari ini dan hari esok.
Kita menunggu gerakan yang lebih
realistis dari pihak pemerintah, suatu keputusan politik yang dapat memperkokoh
solidaritas dan kesetiakawanan sosial untuk bangkit bersama-sama. Secara
pribadi, saya pernah menaruh harapan baik ketika mendengar gagasan tentang
revolusi mental mengingat mentalitas masyarakat kita sejak 1965 seakan-akan
jalan di tempat. Psikologi bangsa ini terbelah antara kutub ekstrem pemuja
dan pembenci, atau kutub ketiga yang jadi penonton yang mencemooh kubu pemuja
dan pembenci.
Sebagai bangsa Indonesia, kita
semua tahu sesungguhnya kebencian manusia berpangkal pada kebodohan yang
sulit ditanggulangi. Ia mudah saja diperalat kaum politisi dan penguasa,
melalui bisingnya persaingan serta kampanye hitam antarkandidat dengan
mengesampingkan nalar dan akal sehatnya. Sebagian politisi begitu entengnya
menikmati popularitas dengan menyuarakan kebencian. Mereka memiliki pendukung
yang sangat militan. Mereka mudah mengklaim sesuatu secara hitam-putih,
analisis pukul rata, simplifikasi kesimpulan, dan seterusnya. Sementara
pemerintah yang baik tentu akan berkorban untuk melayani umat, berupaya
sekeras mungkin mencerdaskan dan mendewasakan rakyatnya.
”Yang namanya pemimpin, berbuat
lurus dan adil pun tetap akan ada pihak yang menentang dan memusuhinya,
apalagi berbuat curang. Untuk itu, tak ada pilihan bagi pemimpin yang adil
selain bertindak di atas rel-rel kebenaran dan keadilan,” demikian orasi
penulis buku Pikiran Orang Indonesia
saat peluncuran.
Sementara bagi penguasa korup dan
zalim, ia akan terus berupaya melestarikan kebodohan dan kebencian sebagai
pilihan politiknya. Sebab, dengan memelihara orang-orang bodoh dan para
pembenci itulah popularitas akan terus dinikmati, seakan takhta dan kekuasaan
akan dapat bertahan abadi untuk selama-lamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar