Jumat, 27 April 2018

Membangun Akal Sehat

Membangun Akal Sehat
Chudori Sukra ;  Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten
                                                         KOMPAS, 24 April 2018



                                                           
Merinding saya menyaksikan film ”The Shape of Water” yang berhasil masuk nominasi Oscar sebagai film drama terbaik tahun 2018 ini. Film yang disutradarai Guillermo del Toro itu mengentakkan tali renungan saya, betapa sulitnya mencari orang yang mau berbaik sangka kepada makhluk Tuhan di zaman yang diselimuti peradaban Perang Dingin ini.

Film tersebut menunjukkan kepada kita bahwa hakikat dari paradigma Perang Dingin yang digembar-gemborkan Amerika Serikat sebagai ”sudah berakhir” itu pada hakikatnya terus berjalan dan esensinya tetap valid hingga saat ini. Deklarasi tentang usainya Perang Dingin yang ditandatangani Presiden AS dan Rusia, beberapa dasawarsa lalu, seakan hanya retorika politis belaka. Film The Shape of Water sekaligus menohok para pemain dan petualang politik di republik ini, dalam suatu era yang dikatakan ”Zaman Reformasi”, tetapi sebenarnya tak lepas dari mata rantai antara induk semang (negeri adikuasa) bersama abdi-abdi lokalnya di Dunia Ketiga.

Berdamai dengan masa lalu

Dalam pentas politik nasional, wawasan paradigma Perang Dingin dapat diibaratkan sebagai perangkat lunak yang masih terus berjalan dan berpraktik hingga saat ini. Realitas itu terefleksi sepenuhnya karena segenap permesinan, aparat, hingga ke sel-sel paradigma Orde Baru sebagai pengemban dan pelaksana paradigma Perang Dingin masih utuh dan kukuh, serta berfungsi dalam seluruh strata kehidupan nasional kita.

Beda dengan The Act of Killing garapan Joshua Oppenheimer, film tentang sejarah Indonesia yang juga pernah masuk dalam jajaran nominasi Oscar 2014, The Shape of Water lebih bermuatan sosial yang mengandung aspek humanitas tinggi. Diperankan tokoh wanita tunawicara yang memiliki sikap toleransi, bukan saja kepada sesama manusia, melainkan juga terhadap makhluk Tuhan lainnya. Pesan-pesan moral dalam film tersebut mengandung hikmah yang universal, mengajarkan kita semua agar bersikap rendah hati, berani untuk becermin diri, agar dapat rujuk dan berdamai dengan masa lalu.

Film-film yang mengandung religiositas tinggi seperti itu seakan menegur kita bahwa bukan saatnya lagi orang Indonesia berdebat soal kebenaran dan kesalahan mazhab atau aliran kepercayaan tertentu. Tetapi, di abad historia ini, masyarakat dunia hanya akan bertanya seberapa besar kemaslahatan diri kita bagi pembangunan peradaban umat. Terkait dengan itu, selayaknya kita nyatakan salut kepada para jurnalis, sejarawan, dan budayawan yang tetap tegar dan berani mengambil risiko ”dimusuhi” oleh kepentingan politik tertentu (status quo), tetapi mereka terus bergerak, istiqomah berkarya, konsisten menyuarakan kebenaran. Meskipun tidak jarang dihadapkan pada ancaman mental persekusi, yang pada titik tertentu bisa mengancam keselamatan mereka.

Sebagian jurnalis dan budayawan itu memahami bahwa stigma politik Orde Baru yang membuat sebagian masyarakat terjangkiti delusi paranoid hingga skizofrenia, perlu diberi pendidikan dan penyadaran pada proses pencerdasan dan pendewasaan mereka. Ketika bangsa ini sedang dilanda kegilaan pada dunia dan materi, godaan-godaan untuk melemahkan mentalitas kian menjadi-jadi. Godaan itu ingin menjauhkan pikiran umat dari kehidupan yang realistis, seakan-akan menghendaki agar bangsa ini kehilangan akal sehatnya. Lihatlah fenomena Dimas Kanjeng, Brajamusti, dan sederet penipu yang menyamar jadi orang pintar, orang suci, dengan mem-politisasi agama dan Tuhan sebagai alat legitimasi mereka.

Hal ini mengingatkan kita pada suatu generasi (ordo) yang menampilkan seorang jenderal bekas didikan KNIL, yang kemudian disebut ”Bapak Pembangunan”. Setelah mengisolasi bapak bangsa Sukarno di Wisma Yaso, serta mencabut semua hak politiknya, ordo yang baru ini mengawali kekuasaan dengan permainan semantik, lantas menjuluki masa kepemimpinan Sukarno sebagai ”Orde Lama”. Persis seperti pemberian nama ”Banten Lama” yang dilegitimasi kekuasaan dinasti Atut Chosiyah, hingga merasa tak perlu untuk merawat, merehabilitasi, dan melestarikan monumen bersejarah di masa kesultanan Islam tersebut.

Permainan semantik itu terus berlanjut dengan memunculkan ordo yang baru (Orde Baru), menjadikan ekonomi sebagai panglima, dengan mengadopsi cara-cara manajemen pemerintahan di negeri-negeri yang ekonominya dianggap maju. Dasar-dasar dan falsafah negara yang dirintis dan digagas Bapak Bangsa hanya menjadi slogan kosong tanpa makna. Nilai-nilai Pancasila yang bernapaskan Islami disulap jadi proyek pembangunan semata. Dalam perjalanannya, terjadilah praktik ekonomi materialis dan hedonistik, suatu pola hidup yang kelebihan mencintai dunia berikut aksesorinya: harta, pangkat, jabatan, dan popularitas duniawi.

Di sisi lain, pendidikan dan pengajaran ikut dibangun di atas landasan dan asas kehidupan duniawi, bukan atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Semua orientasi dan proses pendidikan akhirnya bermuara pada gaya hidup hedonis yang menghamba pada kesuksesan dan popularitas duniawi. Pelajar-pelajar menjadi tak terdidik, hingga di kemudian hari melahirkan intelektual-intelektual tukang semata.

Mental warisan Orde Baru ini harus diakui dengan jujur oleh masyarakat Indonesia yang mudah tergiur dengan cara-cara instan untuk meraih sesuatu. Tak usah heran bila kita menyaksikan di antara mereka masih sibuk dengan persaingan kepentingan duniawi. Rebutan kedudukan dan kursi politik, gila harta, dan keserakahan. Hal ini sangat berkaitan dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa cinta dunia adalah pangkal dari segala kerusakan dan ketakseimbangan kosmik.

Secara implisit, Albert Einstein pernah menyatakan bahwa perbedaan antara orang baik dan orang jahat adalah bahwa, ”Sesungguhnya ambisi orang baik itu ada batasnya. Sebab, tak setiap yang terjangkau oleh kekuatan otak boleh dilakukan manusia dengan sesuka hatinya.” Hal ini mengandung arti bahwa kejahatan manusia bersumber dari kebodohan karena orang-orang bodoh selalu saja tidak mengenal batas-batas kewajaran.

Sebagai pendidik dan pengasuh di lingkungan pesantren, saya lebih cenderung mengacu dari pernyataan Ayatullah Khomeini mengenai beberapa kriteria orang-orang bodoh. Sebagai pemimpin spiritual Iran, saat itu ia berceramah di hadapan rakyatnya, bahwa orang bodoh dapat menyakiti orang lain tanpa menyadari efek dari perbuatannya. Selanjutnya, orang bodoh selalu berbuat salah serta tidak mau mencari tahu di mana akar permasalahannya. Selain itu, orang bodoh juga dapat diperalat dan dikendalikan orang lain untuk berbuat kerusakan.

Dengan otoritasnya sebagai pemimpin revolusi di Republik Iran, Khomeini menyadari, sebuah revolusi mental tak akan menghasilkan apa-apa jika masyarakatnya terus terbenam dalam kebodohan. Maka, yang harus diberi perhatian sepenuhnya adalah bagaimana membangun kesadaran baru hingga mencapai kualitas moral bagi kemaslahatan banyak orang.

Pemuja dan pembenci

Beberapa waktu lalu, di Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten, saya menghadiri acara peluncuran novel Pikiran Orang Indonesia, yang ditulis seorang alumnus jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta. Novel itu bicara tentang psiko-histori manusia Indonesia pasca-1965. Dalam novelnya itu, ia menggambarkan bahwa yang paling utama harus dibangun adalah mentalitas dan moralitas manusia Indonesia, yang akan memengaruhi sikap yang tepat dalam menghadapi hari ini dan hari esok.

Kita menunggu gerakan yang lebih realistis dari pihak pemerintah, suatu keputusan politik yang dapat memperkokoh solidaritas dan kesetiakawanan sosial untuk bangkit bersama-sama. Secara pribadi, saya pernah menaruh harapan baik ketika mendengar gagasan tentang revolusi mental mengingat mentalitas masyarakat kita sejak 1965 seakan-akan jalan di tempat. Psikologi bangsa ini terbelah antara kutub ekstrem pemuja dan pembenci, atau kutub ketiga yang jadi penonton yang mencemooh kubu pemuja dan pembenci.

Sebagai bangsa Indonesia, kita semua tahu sesungguhnya kebencian manusia berpangkal pada kebodohan yang sulit ditanggulangi. Ia mudah saja diperalat kaum politisi dan penguasa, melalui bisingnya persaingan serta kampanye hitam antarkandidat dengan mengesampingkan nalar dan akal sehatnya. Sebagian politisi begitu entengnya menikmati popularitas dengan menyuarakan kebencian. Mereka memiliki pendukung yang sangat militan. Mereka mudah mengklaim sesuatu secara hitam-putih, analisis pukul rata, simplifikasi kesimpulan, dan seterusnya. Sementara pemerintah yang baik tentu akan berkorban untuk melayani umat, berupaya sekeras mungkin mencerdaskan dan mendewasakan rakyatnya.

”Yang namanya pemimpin, berbuat lurus dan adil pun tetap akan ada pihak yang menentang dan memusuhinya, apalagi berbuat curang. Untuk itu, tak ada pilihan bagi pemimpin yang adil selain bertindak di atas rel-rel kebenaran dan keadilan,” demikian orasi penulis buku Pikiran Orang Indonesia saat peluncuran.

Sementara bagi penguasa korup dan zalim, ia akan terus berupaya melestarikan kebodohan dan kebencian sebagai pilihan politiknya. Sebab, dengan memelihara orang-orang bodoh dan para pembenci itulah popularitas akan terus dinikmati, seakan takhta dan kekuasaan akan dapat bertahan abadi untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar