Skandal
Petrobras dan Lula
Dedi Haryadi ; Ketua Beyond Anti Corruption; Peneliti Lembaga Ekolabel Indonesia
|
KOMPAS,
27 April
2018
Mantan Presiden Brasil
Luiz Inacio Lula da Silva menyerahkan diri dan mulai menjalani hukuman
(Kompas, 9/4/2018). Perubahan transformatif apa di balik eksekusi vonis Lula
dan pengungkapan skandal korupsi Petrobras (Petroleo Brasileiro)?
Sekurangnya ada dua hal.
Pertama, transformasi peradilan Brasil dari yang tadinya padat
impunitas—terutama bagi orang kaya dan penguasa—ke arah peradilan tanpa
impunitas. Kedua, keterlibatan kawasan sekretif dalam membangun kerja sama
penanganan korupsi lintas batas.
Lula
terima suap
Juli 2017, Lula
divonis bersalah menerima suap 8 juta
dollar AS—berupa apartemen di pinggir pantai dan donasi ke Lula
Institute—dari perusahaan multinasional
OAS yang bergerak di bidang teknik, konstruksi, minyak, gas, dan
lain-lain.
Di pengadilan banding hukumannya malah diperberat. Dari 9 tahun 6
bulan menjadi 12 tahun 1 bulan. Pleidoi Lula, pengacaranya dan kelompok kiri,
tampaknya lebih politis ketimbang hukum. Mereka seirama menuduh pengadilan
sebagai orkestrasi politik untuk menyingkirkan Lula dari gelanggang politik.
Sebagai penyuap, lima mantan Direktur OAS juga dijatuhi hukuman dari 11 tahun
sampai 16 tahun penjara.
Selain Lula pribadi,
Partai Buruh sebagai partai penguasa juga menerima dana kick back 1 persen
dari nilai kontrak OAS dengan
Petrobras. Suap dan kick back itu membuat OAS memenangi dua kontrak
pembangunan kilang minyak Petrobras. OAS merupakan salah satu dari 27 kartel
kontraktor yang terlibat skandal korupsi Petrobras.
Ini skandal korupsi
terbesar se-Amerika Latin dengan nilai kerugian negara 2,1-3,0 miliar dollar AS.
Sepanjang 2004-2012, Petrobras dikadali oleh kartel tersebut sehingga harus
membayar nilai kontrak pengadaan barang dan jasa 3 persen lebih tinggi
daripada yang seharusnya.
Diadili dan
dipenjarakannya sekitar 80 pebisnis dan politisi dalam skandal Petrobras
menandai berakhirnya impunitas. Seperti di Tanah Air, kelompok elite militer
mungkin masih menikmati impunitas.
Ada dua aktor yang
berperan penting dalam transformasi peradilan Brasil ini. Pertama, Sergio
Fernando Moro (SFM), 46 tahun, hakim federal yang desisif (menentukan) dalam
pengungkapan dan pengadilan skandal korupsi.
Kedua, secara kelembagaan,
Kementerian Publik, sejenis dengan lembaga kejaksaan yang bebas dan mandiri.
Lembaga ini dirancang spesifik
menangani berbagai kasus yang menjadi sorotan publik. Mereka punya anggaran
sendiri dan para jaksanya otonom, bukan hanya terhadap pemerintah, melainkan
juga di antara para jaksa. Lembaga ini dibangun semasa transisi dari junta
militer (1964-1985) ke demokrasi (1985-sekarang). Dengan sandi Lava Jato atau ”Operation Car
Wash”, lembaga ini membongkar dan mengadili skandal korupsi Petrobras sampai
ke akarnya.
Sergio
Fernando Moro
SFM adalah orang yang berpengetahuan dan berkeahlian dalam
bidang antikorupsi dan pencucian uang. Sikapnya bebas dan mandiri,
integritasnya tinggi dan bernyali besar.
Tahun 2016 ia menyabet
tiga penghargaan bergengsi: 1) urutan ke-13
dalam Fortune’s List of World’s
Greates Leaders, 2) masuk daftar
100 orang paling berpengaruh versi majalah Time, dan 3) menempati urutan
ke-10 dari 50 orang paling berpengaruh dalam dunia keuangan versi Bloomberg
Bussinessweeks.
Tahun 2017 ia juga
dianugerahi Notre Dame Award. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang
mengabdikan diri pada nilai-nilai luhur Universitas Notre Dame, seperti
toleransi, pendidikan, keadilan, pelayanan publik, perdamaian, dan kepedulian
pada kelompok marjinal.
Namun, SFM tak imun
terhadap kritik. Koleganya menuduh SFM eksesif berperan ganda, ya hakim, ya
penyidik. Sepak terjangnya dianggap memihak kelompok politik tertentu.
Sebelum mengadili dan
memenjarakan Lula, Moro juga mengadili dan memenjarakan konglomerat Marcelo
Odebrecht (MO). MO memimpin kelompok bisnis raksasa Odebrecht yang berbisnis
segala macam rekayasa, konstruksi, minyak, dan gas.
Kelompok bisnis Odebrecht
merupakan donor keuangan politik terbesar bagi para politisi di Brasil. Maret
2015, MO divonis bersalah karena
menyuap—nilai suap mencapai 30 juta dollar AS—dan dihukum 19 tahun.
Desember 2016, hukumannya
dikurangi menjadi 10 tahun karena mengaku bersalah, membayar denda Rp 2,6
miliar dollar AS, dan mau bekerja sama mengungkapkan praktik kejahatan.
Testimoninya antara lain
mengaku menggelontorkan dana ilegal senilai 48 juta dollar AS untuk membiayai
kampanye politik Dilma Rousseff dan Michel Timner. Presiden Rousseff— yang
dimentori Lula—dimakzulan pada Oktober 2016. Ia diganti oleh Michel Timner.
Pengakuan MO itu menyulitkan posisi Timner sekarang. Apakah pemakzulan akan
terulang?
Pemakzulan
Rousseff—presiden perempuan pertama Brasil—difilmkan dengan judul O
Processo atau The Trial. Film ini
menggambarkan keterbelahan masyarakat Brasil selama dan setelah pemakzulan.
Banyak yang menilai pemakzulan Rousseff merupakan kudeta politik yang dilakukan
parlemen.
Uji
nyali KPK
Nyali tinggi SFM yang
mengadili OAS, Odebrecht, dan Lula tidak kita dapati pada saat KPK menyidik
kasus reklamasi teluk Jakarta yang menyeret dua korporasi pengembang besar.
Kasus skandal korupsi Bank Century juga terkatung-katung.
Padahal, Lula itu kurang
prestasi apa? Ia adalah Presiden Brasil (dua periode) terbaik dan paling
sukses mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Toh, ia diadili
dan dipenjarakan juga.
Oleh karena itu, KPK harus
bisa mengungkap dan mengadili siapa aktor the
untouchable di balik kasus Century.
Ini momen penting bagi KPK
untuk menunjukkan: 1) bahwa integritas dan nyali KPK melampaui penegak hukum
lain, 2) mampu mengakhiri impunitas yang lebih banyak dinikmati segelintir
elite, dan 3) balas budi kepada publik. Publik yang telah berkali-kali
menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan
dan penistaan para politisi.
Apakah transformasi
peradilan Brasil yang mematikan impunitas mengubah persepsi orang tentang
risiko korupsi di Brasil? Tidak ternyata.
Indeks persepsi korupsi
malah makin memburuk. Pada 2015, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Brasil 38
(dari skala 0-100) dengan peringkat ke-78 dari 176 negara. Pada 2017, IPK-nya
malah turun ke-37, dengan peringkat ke-96. Bandingkan dengan IPK kita, yang
pada kurun yang sama, naik dari 36 menjadi 37, dengan peringkat turun dari
ke-88 menjadi ke-96. Ada apa dengan IPK?
Skandal korupsi Petrobras
masuk kategori korupsi lintas batas (cross
border corruption). Sebagian transaksi keuangan, di antaranya pembayaran
suap, menggunakan jasa lembaga keuangan Swiss. Demikian juga dana hasil
korupsi diparkir di bank-bank Swiss. Sudah jadi pengetahuan umum, Swiss merupakan kawasan sekretif
terbaik dunia. Dalam mengungkap dan mengadili skandal Petrobras, otoritas
Swiss (kejaksaan dan regulator lembaga keuangan) bersemangat membangun kerja
sama dengan penegak hukum Brasil.
Empat
langkah
Ada empat langkah yang
dilakukan otoritas Swiss dalam membantu penegak hukum Brasil membongkar kasus
ini: 1) menyelidiki puluhan transaksi terkait, 2) membekukan lembaga keuangan
yang menampung dana hasil korupsi, 3) membekukan dana hasil korupsi hampir
senilai 800 juta dollar AS, dan 4) merepatriasi dana hasil korupsi ke
otoritas Brasil. Idealnya, ditambah dengan langkah kelima, yaitu kesediaan
dan kesiapan mengekstradisi pelaku korupsi.
Kerja sama Swiss-Brasil
mengusut dan mengadili skandal Petrobras bisa jadi model penanganan korupsi
lintas batas yang efisien dan efektif. Model ini perlu dikembangkan dan
direplikasi bagi penanganan korupsi lintas batas lain. Dengan cara ini
niscaya prevalensi korupsi lintas batas akan berkurang.
Pengembangan model kerja
sama ini sangat dimungkinkan karena
tindakan kooperatif yang diperlihatkan Swiss bukan hal yang unik. Ada
kecenderungan umum kawasan sekretif yang sekarang lebih bersahabat dalam
menangani kejahatan keuangan lintas batas. Hal ini tecermin dari banyaknya
kawasan sekretif yang menandatangani dan berkomitmen mengimplementasikan
pertukaran informasi rekening keuangan (The
Multilateral Competent Authority Agreement on Authomatic Exchange on Financial Account Information).
Beberapa kawasan sekretif
terkemuka, yakni Swiss, Inggris (plus belasan kawasan sekretif satelitnya),
Singapura, Luksemburg, dan lain-lain, ikut menandatangani dokumen ini.
Sampai Januari 2018, ada
98 negara/kawasan sudah tanda tangan. Panama—yang terkenal dengan fenomena
Dokumen Panama—menjadi kawasan ke-98 yang ikut bergabung dalam gerakan ini. Padahal, sebelumnya Panama dikenal
sebagai kawasan sekretif garis keras yang kerap menolak bekerja sama dengan
lembaga internasional yang mempromosikan transparansi dan pertukaran
informasi tentang keuangan dan
perpajakan.
Dalam hal ini, reproduksi
penegak hukum berintegritas dan bernyali tinggi amat diperlukan. Kepemimpinan
dan kepeloporan penegak hukum yang berani
dan berintegritas telah memainkan peranan penting dalam menangani korupsi
lintas batas, termasuk dengan mengikis impunitas di peradilan Brasil.
Kita perlu mereproduksi
orang seperti SFM agar muncul dan eksis dalam institusi peradilan kita, baik
di kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar