Manajemen
Pangan
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and
Finance (InDEF)
|
KOMPAS,
24 April
2018
Pangan merupakan kebutuhan paling
mendasar untuk masyarakat. Sangat ironis jika sebuah negara agraris masih
berkutat mengatasi masalah pangan. Sementara hampir semua negara sudah sibuk
memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan, bahkan saling berjibaku guna
memenangi kompetisi menuju revolusi industri 4.0.
Jika mengurus pangan saja masih
terus menjadi pekerjaan rumah, harapan perbaikan kualitas hidup masyarakat
pun akan semakin menjauh. Kecukupan pangan menjadi salah satu penentu
kualitas sumber daya manusia (SDM). Sayangnya, sepertiga dari anak Indonesia
ditemukan dalam kondisi kurang gizi. Salah satu penyebabnya, tentu akses
pemenuhan kecukupan kebutuhan pangan masyarakat. Stabilitas harga pangan
memiliki andil yang sangat signifikan.
Nyatanya, harga pangan (volatile
foods) justru jadi penyumbang inflasi yang cukup dominan, selain harga
energi. Bahkan, lebih dari 70 persen penghasilan dari 40 persen masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah habis untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Artinya, setiap terjadi lonjakan harga pangan, daya beli masyarakat
terpengaruh. Ini termasuk daya beli petani yang menjadi penghasil pangan,
tetapi sekaligus sebagai konsumer. Apalagi setiap masa panen atau menjelang
hari raya, selalu diikuti gejolak harga pangan. Akhirnya, angka inflasi yang
rendah justru menjadi paradoks terhadap turunnya daya beli masyarakat.
Agar harga pangan terjangkau dan
stabil, petani harus menjual murah hasil panennya. Jika insentif ekonomi
semakin hilang dari sektor pertanian, produktivitas sektor pertanian akan
semakin merosot.
Padahal, rumus utama stabilisasi
harga sederhana dan jelas, yaitu keseimbangan pasokan dan permintaan. Pangan
merupakan kebutuhan pokok, sifat permintaannya pasti inelastis. Berapa pun
harganya tidak akan memengaruhi secara signifikan jumlah permintaan. Artinya,
tren jumlah permintaan dengan tepat dapat dikalkulasi, tinggal menyesuaikan
pertumbuhan penduduk. Dengan kata lain, kunci stabilisasi mestinya menjadi
sangat jelas, yaitu manajemen stok atau pasokan dan upaya diversifikasi
pangan.
Manajemen pasokan penentu utamanya
tentu dari hulu, yaitu peningkatan produksi pangan. Formula baku fungsi
produksi juga sangat jelas, yaitu efisiensi faktor input dan insentif ekonomi
harga output. Sepanjang sejarah, lahan petani di Indonesia memang sempit.
Program Inmas dan Bimas pernah mampu mengantarkan swasembada pangan. Artinya,
keefektifan subsidi benih dan pupuk, penyuluh pertanian, terpenuhinya
irigasi, dan rekayasa kelembagaan melalui koperasi unit desa mampu mengatasi
problem petani gurem.
Jangan
berasumsi
Harga pembelian pemerintah (HPP)
untuk petani tidak ditentukan berdasarkan asumsi. Biaya produksi petani akan
efisien dengan beberapa syarat. Syarat itu antara lain subsidi pupuk
dinikmati petani, petani mendapat benih yang berkualitas tepat waktu,
kebutuhan irigasi terpenuhi, tenaga penyuluh efektif mendampingi petani
dengan teknologi tepat guna, dan bantuan alat-alat pertanian sampai ke
petani.
Efektivitas penetapan harga eceran
tertinggi ditentukan oleh struktur pasar dan persaingan yang sehat. Sekalipun
pasar gagal mencapai persaingan yang sehat, pemerintah akan hadir untuk
mengatasi market failure.
Melalui keberadaan badan penyangga
(Bulog), pemerintah memiliki instrumen stabilisasi harga, antara lain melalui
operasi pasar dari cadangan pemerintah. Jadi, sekalipun ada pihak yang
mendominasi pasokan, dia tidak akan punya ruang sebagai penentu harga. Tentu
akan berbeda hasilnya ketika operasi pasar berevolusi hanya sekadar menjadi
proyek pasar murah.
Sejalan dengan dinamika
perkembangan konektivitas antardaerah dan kemajuan teknologi, manajemen stok
pangan mestinya makin mudah. Pemantauan data posisi neraca komoditas
antardaerah akan membantu memetakan potensi daerah dan siklus tanam atau
panen setiap komoditas. Dengan koordinasi, siklus tanam atau panen dapat
diatur dan dikelola. Jadi, akan terjadi kesinambungan pasokan dan dapat
mencegah jatuhnya harga di tingkat petani ketika panen raya.
Dengan didukung sistem informasi
neraca komoditas antardaerah, tim pengendalian inflasi daerah (TPID) juga
dapat dioptimalkan. TPID tidak hanya memantau perkembangan inflasi, tetapi
juga dapat mengantisipasi potensi dan merekomendasikan solusi pengendalian
inflasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar