Hipokrisi,
Amnesia, Trauma
Limas Sutanto ; Psikiater
|
KOMPAS,
24 April
2018
Kabar tentang Joko Widodo akan
dipasangkan dengan Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden pada Pilpres
2019, bisa saja diperdebatkan pada perspektif moral, etis, pengembangan
demokrasi, dan filosofis.
Tetapi yang menegunkan justru
alasan di balik gagasan tersebut. Sebagaimana dikabarkan oleh Romahurmuziy,
Ketua Umum PPP, alasan yang dikemukakan oleh Jokowi adalah untuk mencegah
perpecahan yang dibakar dengan kebencian dan sentimen suku, agama, dan ras
(kompas.com, Sabtu, 14 April 2018, pukul 07.18 WIB, “Mayoritas Partai Koalisi
dan Relawan Tak Restui Jokowi Gandeng Prabowo”).
Kata Romahurmuziy, Jokowi berkaca
pada apa yang sudah terjadi dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017,
yang ternyata luar biasa memecah belah masyarakat dengan sentimen dan
kebencian kesukuan, agama, dan ras. Jokowi khawatir, jika di DKI Jakarta saja
terjadi efek destruktif disintegratif masif yang parah, betapa mengerikan
akibatnya apabila keadaan seperti itu terjadi pada luasan nasional dalam
kaitan dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, yang saat
penyelenggaraannya bersamaan dengan pemilihan umum legislatif.
Mungkin kekhawatiran Jokowi adalah
sekadar sebuah anggapan, yang tidak serta-merta merupakan kebenaran sahih;
tetapi mungkin kekhawatiran itu adalah gut feeling, semacam perasaan intuitif
yang berakar dalam pengalaman dan kebijaksanaan nirsadar, dari seorang
politisi ulung yang adalah pemimpin sekaligus pencinta bangsa dan negaranya,
yang selama ini tampak nyata berupaya merawat keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Refleksi
atas realitas
Oleh karena itu, alasan tersebut
layak dan patut dianggap penting serta diperlakukan lebih dari sekadar sebuah
asumsi. Ia adalah sebuah refleksi penting tentang suatu realitas yang
sedemikian ironis dalam bangsa dan negara Indonesia hari kini, yaitu betapa
ancaman perpecahan bangsa dengan ketertanaman kebencian di dalamnya.
Dan, itu terjadi bukan karena
secara asali hamparan warga bangsa terpisah-pisah dalam berbagai kelompok
yang baku memusuhi dan saling menghancurkan karena ketidakadilan dan
kecemburuan. Yang terjadi justru kehadiran kelompok-kelompok elite luar biasa
berambisi berkuasa, yang karena termakan oleh ambisi itu maka mereka
menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Lalu, salah satu cara utama
yang dihalalkan penggunaannya adalah pengobaran keadaan saling memusuhi,
perpecahan, penanaman rasa baku membenci di tengah masyarakat dengan
mengeksploitasi perbedaan suku, agama, dan ras.
Mereka—para elite itu—dengan
enteng beranggapan bahwa biar saja masyarakat dan bangsa terpecah belah,
nanti sesudah berhasil meraih kekuasaan mereka akan dapat menyatukan kembali
kelompok-kelompok masyarakat dan mengakhiri permusuhan serta kebencian.
Padahal perpecahan dan tindakan saling memusuhi telah telanjur menciptakan
trauma dalam pengalaman batin warga masyarakat. Ini adalah suatu keadaan
patologik psikososial yang penyembuhannya tidak gampang.
Di mana tanggung jawab elite di
negara dan bangsa Indonesia? Bolehkah mereka seenak kepentingan sendiri
membuat kebohongan, memecah belah, mengobarkan permusuhan, menanamkan
kebencian, tanpa dapat dimintai pertanggungjawaban?
Banyak elite di panggung- panggung
wicara publik menyerukan kekhawatiran bakal terpecahbelahnya bangsa karena
berbagai alasan, seolah mereka adalah penyeru peringatan bahaya yang bakal
melanda masyarakat. Dengan menempatkan diri sebagai penyeru peringatan
bahaya, kaum elite menobatkan diri seolah sebagai pihak yang mampu bertindak
sebagai penyelamat bangsa dari disintegrasi; padahal mereka sendirilah yang
menyumberi ancaman disintegrasi. Gambaran yang terbentang adalah sebuah
hipokrisi yang parah di kalangan elite.
Keparahan hipokrisi terlihat kian
kental tatkala disadari betapa gejala psikososial itu juga melanda masyarakat
non-elite yang seperti merelakan diri digunakan oleh elite yang menjalankan
skenario pembelahan masyarakat untuk meraih kuasa.
Kelompok-kelompok masyarakat
seperti begitu enggan menggunakan akal sehat dan hati nurani buat menyadari
kemunafikan yang sedang berlangsung; mereka kehilangan pikiran kritis dan
hanya dilanda semangat berkobar untuk ikut belaka. Kendati kesalahan mereka
tidak seberat yang dilakukan oleh elite, tetapi kelompok-kelompok masyarakat
yang mau mengalami kematian pikir kritis dan membiarkan diri bersemangat
untuk ikut saja, tetap saja salah. Terutama karena ihwal mempertahankan dan
menggunakan pikiran kritis itu merupakan tanggung jawab setiap manusia, dan
mematikan pikiran kritis diri sendiri adalah penanggalan tanggung jawab yang
mendasar.
Kembali
ke kejujuran
Kesalahan lain yang melanda
masyarakat adalah mudahnya mereka melupakan kesalahan yang telah dibuat elite
pemecah belah bangsa. Setelah masyarakat terpecah belah dan baku memusuhi,
perguliran waktu yang tak usah lama dan ucapan-ucapan manis elite begitu
gampang membuat masyarakat melupakan kesalahan mendasar elite. Sementara
secara psikososial mereka masih menyimpan trauma perpecahan dan permusuhan
yang belum tersembuhkan.
Bangsa lantas dikungkung dalam
tiga serangkai patologi psikososial: hipokrisi, amnesia, trauma. Kombinasi
absurd ketiga keadaan itu sangat mempersulit bangsa untuk mendapatkan
kesehatan psikososial tingkat minimal yang diperlukan buat berlangsungnya
pemerdekaan dan penumbuhkembangan bakat-bakat manusia. Bangsa menjadi
terhambat dalam melaju mengarungi kemajuan, mengejar ketertinggalan, dan
menjalani persaingan tak terhindarkan dengan bangsa-bangsa lain.
Saatnya kini rakyat menyadari
kembali kejujuran yang selama ini tak mereka sadari lagi sebagai sebentuk
kepemilikan nilai yang begitu penting dan berharga. Dengan kejujuran, rakyat
perlu menolak untuk secara emosional dilibatkan dan diikutkan dalam
perpecahan, baku memusuhi dan membenci, yang dikobarkan oleh elite. Tentang
elite sendiri, dalam kondisi kini tak banyak yang dapat diharapkan. Kalau
mungkin, penegakan hukum bagi elite yang memecah-belah bangsa dapat
diterapkan dengan keras agar menjerakan; tetapi yang terpenting adalah rakyat
mesti menolak diajak tidak jujur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar