Keadilan
Restoratif Kasus Pertamina
Sudjito Atmoredjo ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KOMPAS,
25 April
2018
Pemberhentian Direktur
Utama Pertamina Elia Massa Manik mendapat apresiasi banyak pihak. Pencopotan
jabatan diumumkan oleh Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha
Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN (Jumat,
20/4/2018).
Pemberhentian itu
dilatarbelakangi oleh dua masalah serius, yakni: (1) terjadinya kasus
Balikpapan, yaitu: peristiwa patahnya pipa kilang minyak; dan (2) kelangkaan
bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis premium—disertai naiknya harga
jenis BBM lain—sejak beberapa waktu lalu.
Dari hasil investigasi
diketahui bahwa kasus Balikpapan terjadi karena kelalaian, terkait standar
gawat darurat sementara di internal Pertamina. Peristiwa berawal ditemukannya
tumpahan minyak. Lalu petugas berpatroli mencari penyebabnya. Melintasnya
kapal pengangkut batubara, Ever Judger, memicu terbakarnya tumpahan minyak
hingga akhirnya melahap korban jiwa dan kapal itu sendiri. Pipa sudah berumur
20 tahun, tetapi tidak disertai teknologi shut down, yakni teknologi
pemberhentian otomatis aliran minyak manakala terjadi kebocoran.
Masyarakat
jadi korban
Ihwal kelangkaan premium
terjadi masif, mulai dari Sabang sampai Merauke. Atas dasar pencermatan BPH
Migas, kelangkaan premium dinyatakan valid. Kelangkaan premium bukan karena
terbatasnya stok dan kendala distribusi, melainkan karena Pertamina mematok
harga premium mestinya Rp 8.600 per liter. Itulah makanya, Pertamina memilih menjual pertalite ketimbang
premium.
Di lapangan terindikasikan
terjadi dua skenario pemasokan, yakni, pertama, beberapa wilayah yang
dikhawatirkan tidak cukup stok sampai akhir tahun, maka pasokan dikurangi.
Kedua, pada setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), margin premium
lebih kecil daripada pertalite ataupun pertamax. Skenario Pertamina ini
nyata-nyata bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah yang dengan tegas
tidak akan menaikkan harga BBM (dan tarif listrik) karena mempertimbangkan
daya beli masyarakat (27/12/2017).
Dua kasus di atas menambah
bukti bahwa pengelolaan BBM di negeri ini ”semrawut”. Kesemrawutan ini
menyimpan potensi destruktif bagi kesejahteraan bangsa. Potensi destruktif
itu meluas sedemikian rupa. Tak urung, pihak-pihak paling menderita karena
kasus Pertamina adalah masyarakat (jasa angkutan, nelayan, dan industri
kecil).
Karena itu, demi keadilan
restoratif (restoratif justice),
penyelesaian kasus Pertamina mestinya tidak berhenti pada pemecatan Dirut
Pertamina dan beberapa jajarannya, serta menggantinya dengan person-person
baru. Kebijakan internal Pertamina tersebut, betapapun bagus—diambil cepat
dan tegas—tetapi menyisakan ketidakadilan bagi masyarakat pengguna premium
dan rusaknya lingkungan hidup. Sebagai korban kasus Pertamina, mereka tidak
memperoleh imbalan apa pun dengan kebijakan pemecataan dan pergantian Dirut
Pertamina. Kerugian-kerugian mereka itu perlu dipikirkan lebih lanjut.
Bukanlah hal baru bahwa
dalam rangka pemulihan hak-hak korban dan pemulihan ekosistem, yang terjadi
karena kebijakan buruk dan/atau kejahatan, dikenal keadilan restoratif, yakni
keadilan memperhatikan secara utuh dan menyeluruh tanggung jawab pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu kasus. Keadilan restoratif mencakup: tanggung jawab
pelaku kejahatan, hak-hak korban mala-kebijakan dan/atau kejahatan, hak-hak
masyarakat, dan lingkungan hidup terkait. Keadilan restoratif itu melampaui
keadilan retributif (menekankan pada pembalasan), dan keadilan restitutif
(menekankan pada ganti rugi).
Bertolak dari UUD 1945
adalah kewajiban pemerintah untuk: ”melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dst”. Dalam perspektif konstitusi, perlindungan
bagi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dapat diderivasikan menjadi
upaya perwujudan keadilan restoratif bagi korban- korban kelangkaan premium
dan kerusakan lingkungan hidup akibat kasus Balikpapan.
Perlu
langkah progresif
Langkah-langkah progresif
mesti dilakukan pemerintah, antara lain, pertama, sistem pengelolaan BBM yang
cenderung memberikan otoritas berlebihan kepada Pertamina perlu dikaji ulang
agar tidak terjadi perilaku sejumlah kecil orang mengakibatkan penderitaan
orang banyak. Wewenang Pertamina mesti disinkronkan dengan: (1) Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945 berbunyi: ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”; (2) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. PUU: 002/PUU-I/ 2003, bahwa
pengertian ”dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara yang luas yang bersumber dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk merumuskan kebijakan, pengurusan, pengaturan,
pengelolaan, dan pengawasan untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kedua, perlu
langkah-langkah afirmatif, yakni penegakan hukum secara kolektif terhadap
segala bentuk kebijakan buruk dan/atau kejahatan yang berseberangan dengan
upaya penyejahteraan rakyat. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara,
dan pihak-pihak terkait kasus Pertamina berkolaborasi melakukan investigasi
sekaligus menghitung kerugian korban kelangkaan BBM dan rusaknya lingkungan
hidup Balikpapan dan sekitarnya.
Ketiga, upaya mewujudkan
keadilan restoratif senantiasa berpedoman pada prinsip-prinsip: (1) pelibatan
partisipasi semua pihak melalui pendekatan musyawarah-mufakat; (2)
berorientasi demi pemenuhan hak-hak korban, serta restorasi lingkungan hidup;
(3) pemenuhan hak-hak korban dan pemulihan keseimbangan ekosistem dilakukan
secara akuntabel, transparan, dan konkret; (4) secara simultan ada upaya
memperbarui kebijakan agar kasus
serupa tidak terulang lagi.
Ciri menonjol keadilan
restoratif bahwa terwujudnya kebijakan yang akuntabel dipandang sebagai
kesatuan antara masalah sosial, masalah lingkungan, dan karena itu menjadi
tanggung jawab bersama. Secara futuristis, keadilan restoratif dapat menjadi
pembelajaran agar pemerintah lebih hati-hati dalam membuat kebijakan dan
menyelesaikan kasus hukum terkait kebijakan tersebut.
Kita tunggu realisasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar