Masa
Depan Energi dan Migas
Pri Agung Rakhmanto ; Pengajar di Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi
Universitas Trisakti
|
KOMPAS,
23 April
2018
Dalam Rencana Umum Energi
Nasional (RUEN), sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun
2017, ditetapkan sasaran bauran energi nasional pada 2025 adalah porsi energi
terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen, gas bumi 22 persen, dan batubara
30 persen. Sementara sasaran bauran energi untuk 2050 ditetapkan dan
diproyeksikan, porsi energi baru dan terbarukan 31 persen, minyak bumi 20
persen, gas bumi 24 persen, dan batubara 25 persen.
Dari angka-angka tersebut
ada dua hal yang dapat kita lihat dengan sangat jelas. Pertama, energi baru
terbarukan penting dan diproyeksikan serta ditargetkan akan secara signifikan
mewarnai bauran energi nasional ke depan. Kedua, energi fosil, migas dan
batubara, tetap penting dan tetap akan jadi tulang punggung bauran energi
nasional.
Energy Information
Administration (EIA—Departemen Energi Amerika Serikat, 2017) memproyeksikan
komposisi bauran energi global pada 2040 lebih kurang minyak bumi 30 persen,
gas bumi 25 persen, batubara 22 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen.
BP Energy Outlook (2017) memproyeksikan komposisi bauran energi global pada
2035 lebih kurang minyak bumi 29 persen, gas bumi 26 persen, batubara 24
persen, energi baru dan terbarukan 21 persen. International Energy Agency
(IEA) dalam World Energy Outlook 2017 memproyeksikan komposisi bauran energi
pada 2040 lebih kurang minyak bumi 27 persen, gas bumi 25 persen, batubara 22
persen, energi baru dan terbarukan 26 persen.
Migas
tetap energi utama
Di dalam proyeksi-proyeksi
tersebut telah dimasukkan skenario pertumbuhan energi baru dan terbarukan
yang terbilang sangat progresif. Di antaranya pertumbuhan konsumsi energi
terbarukan yang berasal dari energi angin, matahari, panas bumi, biomassa,
dan bahan bakar nabati untuk sektor kelistrikan secara stabil 7 persen per
tahun. Juga proyeksi penggunaan jumlah kendaraan listrik global yang melonjak
sangat signifikan dari kisaran 1 juta-2 juta kendaraan pada 2016 menjadi
lebih dari 200 juta kendaraan pada 2030-2040.
Dari rentang angka-angka
proyeksi tersebut, terlihat kisaran yang lebih kurang mirip satu dengan
lainnya dan hal tersebut pada dasarnya memang menggambarkan hal yang sama.
Bahwa energi baru dan terbarukan penting untuk masa depan energi di tingkat
global, tetapi energi fosil, migas dan batubara, juga tetap akan berperan penting.
Migas khususnya, di semua proyeksi yang ada porsinya diperkirakan tetap akan
di atas 50 persen.
Jadi, keliru jika ada
pandangan umum yang mengatakan bahwa di masa yang akan datang migas bukan
lagi sumber energi yang penting. Dalam hal pandangan umum ini, argumen untuk
meluruskannya sebenarnya dapat sederhana saja. Penggunaan minyak bumi sebagai
sumber energi komersial dan modern yang mulai berkembang pada abad ke-19 itu
tak kemudian menghilangkan penggunaan batubara yang telah lebih dahulu
berkembang satu abad sebelumnya. Prinsip dasar yang perlu dipahami adalah
bahwa hubungan satu sumber energi terhadap lainnya tak hanya substitusi, tapi
juga komplementer.
Maka, menjadi sangat tidak
tepat ketika hanya karena produksi dan cadangan migas kita yang (sedang)
terus menurun lalu dikatakan bahwa migas memang sudah jadi energi masa lalu
dan bukan lagi energi masa depan kita. Juga tidak proporsional ketika
dikatakan bahwa karena migas adalah sumber energi tak terbarukan, maka dengan
hadirnya energi terbarukan energi migas dan industri perminyakan sudah
memasuki senja kala dan tak lagi akan berperan penting dalam energi ke depan.
Coba tengok negara besar
dan maju seperti AS dan Rusia. Keduanya, bersama Arab Saudi, ke depan akan
berlomba menjadi produsen dan pemasok terbesar migas untuk pasar dunia. Saat
ini, gabungan produksi minyak ketiga negara ini mendekati 30 juta barrel per
hari atau lebih kurang setara dengan 30 persen lebih kebutuhan dan pasokan
minyak dunia.
Revolusi teknologi produksi shale oil dan shale gas di AS akan
menjadikan pasokan migas di dunia secara teknikal melimpah dan seperti
menjadikan migas sebagai sumber energi ”terbarukan” untuk rentang periode
yang akan cukup panjang.
Departemen Energi AS
(2017) memperkirakan setidaknya ada 345 miliar barrel minyak dan 7.299
triliun kaki kubik gas yang secara teknologi dapat diproduksi di dunia. Angka
itu jauh melebihi cadangan minyak Arab Saudi yang ”hanya” 267 miliar barrel
dan 299 triliun kaki kubik gas. Pertimbangan kompetisi pasar migas di dunia
itulah yang utamanya melatarbelakangi Arab Saudi mengubah visi dan arah
langkahnya ke depan untuk tidak lagi hanya mengandalkan migas sebagai
penerimaan negara, tetapi bukan karena migas tak akan jadi penting lagi bagi
energi di masa depan.
Mesti
proporsional
Jadi, ketika kita
sebetulnya baru dalam tahap sebatas mencoba- coba kendaraan listrik,
sebaiknya tidak perlu melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa pada 2040
mobil BBM akan hilang atau dilarang. Negara lain saja, yang sudah jauh lebih
progresif daripada kita dan tercatat sebagai kontributor utama di dalam
pengembangan kendaraan listrik, seperti AS, China, dan negara-negara maju di
Eropa Barat, mereka realistis dalam memproyeksikan ke depan dan tidak
meninggalkan kendaraan BBM.
Juga ketika sejatinya kita
baru dalam tahap seremonial penandatanganan kontrak jual-beli pembangkit
listrik energi terbarukan skala puluhan megawatt (MW) atau pengoperasian
pembangkit listrik energi terbarukan skala kilowatt (KW), sebaiknya juga tak
perlu melebih-lebihkan dengan seolah-olah mengklaim bahwa kita sudah memasuki
era energi masa depan yang tidak lagi konvensional, tetapi terbarukan.
Menurut pandangan saya,
hal itu sangat tidak proporsional. Belum lagi kalau dalam beberapa tahun
mendatang pembangkit- pembangkit itu ternyata mangkrak, tidak dapat
beroperasi lagi, karena sifatnya sebatas proyek (bukan program) yang tidak
berkelanjutan. Negara yang paling maju dalam pengembangan energi listrik
terbarukan, seperti Jerman, porsi pembangkit listrik batubaranya masih 37
persen dan porsi dari gasnya 13 persen. Janganlah karena ketidakmampuan kita
mengelola sektor migas lalu kita meninggalkannya dan mencari-cari ”prestasi”
di sektor energi lain, seolah kita sudah melakukan lompatan besar.
Sebaliknya, di sektor
migas, janganlah ketika lelang penawaran wilayah kerja baru sebatas diminati
lima perusahaan dengan komitmen investasi 23,6 juta dolar AS, lalu kita
mengklaim bahwa masa depan sektor migas nasional akan cerah kembali. Tentu
ini masih sangat jauh panggang dari api. Sebab, angka ini sebetulnya
sangat-sangat kecil untuk skala industri hulu migas dan belum berarti apa-apa
karena belum tentu juga direalisasikan nantinya.
Sekadar pembanding, biaya
pengeboran satu sumur eksplorasi di lepas pantai Indonesia saat ini pada
kisaran 40 juta-150 juta dollar AS, bergantung pada kedalaman dan tingkat
kesulitannya. Investasi hulu migas Indonesia secara keseluruhan pada 2017
yang besarnya 9,33 miliar dollar AS juga tercatat masih turun 16,7 persen
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Padahal, di tingkat global investasi
hulu migas pada 2017 mencapai 400 miliar dollar AS lebih dan rata-rata sudah
tumbuh positif 3 persen lebih dibandingkan dengan tahun sebelumnya, seiring
pemulihan harga minyak yang sudah terjadi sejak 2016. Jadi, sejatinya kita
tidak cukup kompetitif dan tertinggal di dalam menarik investasi hulu migas.
Maka, tidak proporsional jika hanya dengan diminatinya lelang wilayah kerja
migas dengan magnitude seperti itu lalu kita mengklaim sudah mencapai
prestasi signifikan di sektor migas.
Oleh karena itu, akan
lebih baik untuk masyarakat dan bangsa ini jika kita dapat lebih
proporsional, baik dalam melihat maupun menyampaikan sesuatu. Sebagai sumber
energi, migas tetap akan berperan penting dalam energi ke depan, baik di
skala global maupun nasional, dan karena itu jangan diabaikan.
Dalam pengelolaan sektor
hulu migas, saat ini kita juga masih tertinggal dan tidak cukup menarik bagi
investasi skala besar yang kita perlukan untuk penyediaan migas di masa
mendatang. Angka-angka pencapaian yang kita dapatkan, baik dalam energi
terbarukan maupun investasi hulu migas, sangat belum signifikan untuk
menjawab tantangan energi masa depan yang ada. Jangan dilebih-lebihkan karena
dikhawatirkan nanti dapat dinilai sebagai ”pengibulan”. ●
|
flange murah
BalasHapusflange murah
flange murah
flange murah
flange murah
flange murah