Kamis, 26 April 2018

Darurat Miras Oplosan

Darurat Miras Oplosan
Rahma Sugihartati ;  Dosen FISIP Universitas Airlangga
                                                         KOMPAS, 20 April 2018



                                                           
Kasus minuman keras (miras) oplosan belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat karena kembali memakan korban yang tidak sedikit. Di berbagai daerah puluhan warga masyarakat dilaporkan tewas sia-sia gara-gara mengonsumsi miras oplosan.

Dalam berbagai kasus, kita tahu miras oplosan yang dikonsumsi orang-orang itu tidak hanya membuat mabuk. Racikan miras dengan menggunakan campuran etanol 96%, tinner, krim oles anti-nyamuk, sitrun dan masih ditambah oleh para peminumnya dengan korek api, dan benda-benda tak wajar yang lain, menjadikan minuman keras itu tak ubahnya racun berbahaya.

Dan, yang menarik didiskusikan: kenapa orang-orang tahu minuman itu sangat berbahaya, tetapi mereka tetap mengonsumsinya?

Subkultur menyimpang

Dari sekian banyak kasus miras oplosan yang menewaskan puluhan korban, yang menarik adalah kenapa hampir semua korban anak-anak muda yang marginal? Kenapa anak muda sepertinya tidak takut menghadapi kematian, dan menganggap aktivitas mereka minum miras oplosan justru sebagai bagian dari cara mereka memperlihatkan identitas sosialnya?

Lebih dari sekadar ketidaktahuan anak muda pada risiko minum miras oplosan, banyaknya kasus anak muda tewas gara-gara minum miras oplosan tampaknya telah berkembang jadi bagian dari subkultur kelompok yang menyimpang. Artinya, perilaku menyimpang ini tidak lagi dilakukan oleh perseorangan, tetapi telah berkembang jadi bagian dari aktivitas dan identitas kelompok, yang kemudian berkembang menjadi subkultur yang menyimpang.

Yang dimaksud subkultur menyimpang adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan atau gaya hidup yang berbeda dari kultur dominan. Para anggota subkultur kelompok yang menyimpang ini memiliki perasaan saling pengertian dan memiliki jalan pikiran, nilai dan norma serta aturan bertingkah laku yang berbeda dengan norma-norma sosial masyarakat pada umumnya.

Implikasinya, pertama, aktivitas minum miras oplosan dikonstruksi anak muda marginal yang jadi anggota kelompok sebagai cara mereka melawan ideologi dominan. Artinya, sejumlah anak muda dengan sengaja meracik minuman keras oplosan yang tak lazim dengan tujuan untuk memperlihatkan bahwa mereka berbeda dengan kelas masyarakat mapan: yang minum anggur, vodka, bir, yang “aman-aman” saja. Makin tidak masuk akal dan kian berbahaya miras oplosan yang diracik, justru di situlah mereka mencoba memperlihatkan identitas sosialnya yang berbeda.

Anak muda yang tergabung dalam kehidupan geng atau kelompok marginal tertentu, berusaha tidak peduli dengan cap menyimpang yang disematkan masyarakat. Dengan melakukan hal-hal berbahaya mereka justru ingin memperlihatkan eksistensi sekaligus sebagai cara untuk menghindari hukuman atau stigma masyarakat.

Kedua, aktivitas mengonsumsi miras oplosan tidak dimaknai sebagai tindakan yang berisiko dan berbahaya, tetapi justru dikonstruksi sebagai tindakan heroik yang merupakan bagian dari proses inisiasi kelompok. Anak muda yang terlibat dalam aktivitas minum miras oplosan umumnya akan menganggap apa yang dilakukan sebagai cara memperlihatkan dirinya, dan menjadi bagian dari proses inisiasi agar mereka bisa diterima dan dihargai oleh anggota yang lain.

Sebuah tindakan yang dianggap masyarakat tak masuk akal atau dikategorikan aparat sebagai tindakan melanggar hukum, bagi anak muda marginal justru sering dipandang bagian dari tes kelulusan untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelompoknya. Makin berbahaya dan makin dalam perilaku menyimpang yang dilakukan, justru di sanalah mereka merasa kehadirannya diakui.

Dalam banyak kasus, anak muda yang tergabung dalam kelompok yang menyimpang, tidak hanya melakukan satu-dua aktivitas yang menyimpang, tetapi juga melakukan berbagai praktik perilaku menyimpang (multiple deviance). Minum-minuman keras, miras oplosan, berjudi, main perempuan, berkelahi dan menjalani kehidupan kriminal sering jadi bagian dari aktivitas anak muda yang tergabung dalam subkultur kelompok yang menyimpang.

“Chicago School”

Guna mencegah agar kasus tewasnya anak muda karena miras oplosan tidak terus berlanjut, harus diakui belum atau tidak banyak yang dilakukan aparat penegak hukum. Kasus miras oplosan ini biasanya baru menjadi perhatian ketika sudah ada puluhan korban yang tewas. Di berbagai daerah, razia yang menyasar warung penjual miras oplosan memang sudah berkali-kali digelar dengan tujuan memutus mata rantai peredaran miras oplosan. Tapi, kejadian pun seperti terus berulang.

Lebih dari sekadar pendekatan legal-punitif yang baru bergerak ketika korban sudah tewas, upaya untuk menangani kasus miras oplosan ada baiknya jika memahami perspektif Chicago School. Seperti dikatakan Cohen (1955) bahwa muncunya perilaku menyimpang, termasuk minum miras oplosan sesungguhnya adalah bagian dari cara individu kelas bawah yang terpinggirkan yang berusaha mencari cara untuk mengatasi permasalahannya agar dapat berbaur dengan masyarakat luas.

Menurut Cohen, frustrasi yang dialami penduduk miskin di wilayah perkotaan dikarenakan status sosial mereka yang rendah menyebabkan “reaksi formasi”, sehingga mereka membalik nilai-nilai budaya dan norma-norma yang dominan untuk melegitimasi tindakan tertentu. Daripada bekerja untuk memenuhi tujuan budaya masyarakat (misalnya, bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat dari masyarakat umum), subkultur yang terbangun di kalangan anak muda marjinal justru berusaha membalik tujuan tersebut dengan secara sengaja tidak mencapai tujuan tersebut (misalnya, melakukan tindakan vandalisme untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain).

Dengan memahami subkultur anak muda marjinal seperti dikaji Cohen di atas, diharapkan ke depan upaya penanganan kasus miras oplosan akan lebih membumi dan kontekstual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar