Darurat
Miras Oplosan
Rahma Sugihartati ; Dosen FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
20 April
2018
Kasus minuman keras (miras)
oplosan belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat karena kembali memakan
korban yang tidak sedikit. Di berbagai daerah puluhan warga masyarakat
dilaporkan tewas sia-sia gara-gara mengonsumsi miras oplosan.
Dalam berbagai kasus, kita tahu
miras oplosan yang dikonsumsi orang-orang itu tidak hanya membuat mabuk.
Racikan miras dengan menggunakan campuran etanol 96%, tinner, krim oles
anti-nyamuk, sitrun dan masih ditambah oleh para peminumnya dengan korek api,
dan benda-benda tak wajar yang lain, menjadikan minuman keras itu tak ubahnya
racun berbahaya.
Dan, yang menarik didiskusikan:
kenapa orang-orang tahu minuman itu sangat berbahaya, tetapi mereka tetap
mengonsumsinya?
Subkultur menyimpang
Dari sekian banyak kasus miras
oplosan yang menewaskan puluhan korban, yang menarik adalah kenapa hampir
semua korban anak-anak muda yang marginal? Kenapa anak muda sepertinya tidak
takut menghadapi kematian, dan menganggap aktivitas mereka minum miras
oplosan justru sebagai bagian dari cara mereka memperlihatkan identitas
sosialnya?
Lebih dari sekadar ketidaktahuan
anak muda pada risiko minum miras oplosan, banyaknya kasus anak muda tewas
gara-gara minum miras oplosan tampaknya telah berkembang jadi bagian dari
subkultur kelompok yang menyimpang. Artinya, perilaku menyimpang ini tidak
lagi dilakukan oleh perseorangan, tetapi telah berkembang jadi bagian dari
aktivitas dan identitas kelompok, yang kemudian berkembang menjadi subkultur
yang menyimpang.
Yang dimaksud subkultur menyimpang
adalah sekumpulan norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan atau gaya hidup yang
berbeda dari kultur dominan. Para anggota subkultur kelompok yang menyimpang
ini memiliki perasaan saling pengertian dan memiliki jalan pikiran, nilai dan
norma serta aturan bertingkah laku yang berbeda dengan norma-norma sosial
masyarakat pada umumnya.
Implikasinya, pertama, aktivitas
minum miras oplosan dikonstruksi anak muda marginal yang jadi anggota
kelompok sebagai cara mereka melawan ideologi dominan. Artinya, sejumlah anak
muda dengan sengaja meracik minuman keras oplosan yang tak lazim dengan
tujuan untuk memperlihatkan bahwa mereka berbeda dengan kelas masyarakat
mapan: yang minum anggur, vodka, bir, yang “aman-aman” saja. Makin tidak
masuk akal dan kian berbahaya miras oplosan yang diracik, justru di situlah
mereka mencoba memperlihatkan identitas sosialnya yang berbeda.
Anak muda yang tergabung dalam
kehidupan geng atau kelompok marginal tertentu, berusaha tidak peduli dengan
cap menyimpang yang disematkan masyarakat. Dengan melakukan hal-hal berbahaya
mereka justru ingin memperlihatkan eksistensi sekaligus sebagai cara untuk
menghindari hukuman atau stigma masyarakat.
Kedua, aktivitas mengonsumsi miras
oplosan tidak dimaknai sebagai tindakan yang berisiko dan berbahaya, tetapi
justru dikonstruksi sebagai tindakan heroik yang merupakan bagian dari proses
inisiasi kelompok. Anak muda yang terlibat dalam aktivitas minum miras
oplosan umumnya akan menganggap apa yang dilakukan sebagai cara
memperlihatkan dirinya, dan menjadi bagian dari proses inisiasi agar mereka
bisa diterima dan dihargai oleh anggota yang lain.
Sebuah tindakan yang dianggap
masyarakat tak masuk akal atau dikategorikan aparat sebagai tindakan
melanggar hukum, bagi anak muda marginal justru sering dipandang bagian dari
tes kelulusan untuk dapat diterima menjadi bagian dari kelompoknya. Makin
berbahaya dan makin dalam perilaku menyimpang yang dilakukan, justru di
sanalah mereka merasa kehadirannya diakui.
Dalam banyak kasus, anak muda yang
tergabung dalam kelompok yang menyimpang, tidak hanya melakukan satu-dua
aktivitas yang menyimpang, tetapi juga melakukan berbagai praktik perilaku
menyimpang (multiple deviance). Minum-minuman keras, miras oplosan, berjudi,
main perempuan, berkelahi dan menjalani kehidupan kriminal sering jadi bagian
dari aktivitas anak muda yang tergabung dalam subkultur kelompok yang
menyimpang.
“Chicago School”
Guna mencegah agar kasus tewasnya
anak muda karena miras oplosan tidak terus berlanjut, harus diakui belum atau
tidak banyak yang dilakukan aparat penegak hukum. Kasus miras oplosan ini
biasanya baru menjadi perhatian ketika sudah ada puluhan korban yang tewas.
Di berbagai daerah, razia yang menyasar warung penjual miras oplosan memang
sudah berkali-kali digelar dengan tujuan memutus mata rantai peredaran miras
oplosan. Tapi, kejadian pun seperti terus berulang.
Lebih dari sekadar pendekatan
legal-punitif yang baru bergerak ketika korban sudah tewas, upaya untuk
menangani kasus miras oplosan ada baiknya jika memahami perspektif Chicago
School. Seperti dikatakan Cohen (1955) bahwa muncunya perilaku menyimpang,
termasuk minum miras oplosan sesungguhnya adalah bagian dari cara individu
kelas bawah yang terpinggirkan yang berusaha mencari cara untuk mengatasi
permasalahannya agar dapat berbaur dengan masyarakat luas.
Menurut Cohen, frustrasi yang
dialami penduduk miskin di wilayah perkotaan dikarenakan status sosial mereka
yang rendah menyebabkan “reaksi formasi”, sehingga mereka membalik
nilai-nilai budaya dan norma-norma yang dominan untuk melegitimasi tindakan
tertentu. Daripada bekerja untuk memenuhi tujuan budaya masyarakat (misalnya,
bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat dari masyarakat umum), subkultur
yang terbangun di kalangan anak muda marjinal justru berusaha membalik tujuan
tersebut dengan secara sengaja tidak mencapai tujuan tersebut (misalnya,
melakukan tindakan vandalisme untuk mendapatkan rasa hormat dari orang lain).
Dengan memahami subkultur anak
muda marjinal seperti dikaji Cohen di atas, diharapkan ke depan upaya
penanganan kasus miras oplosan akan lebih membumi dan kontekstual. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar